Tuesday, July 14, 2009

UBAN OMPONG BONGKOK

Pak Ustadz memandangi lelaki di hadapannya. Ia seolah tak percaya. Ia seakan tak percaya bahwa lelaki yang berdiri di hadapannya adalah orang yang pernah akrab dengannya selama belasan tahun.

"Bener kamu Kang Sarbini?!" tanya Pak Ustadz tetap dengan pandangan tak percaya. Lelaki itu mengangguk lemah. Pak Ustadz menggeleng-gelengkan kepalanya.

Kang Sarbini adalah sahabatnya dulu, saat masih
mondok di pesantren. Tapi, Kang Sarbini bukan santri. Ia penduduk kampung yang biasa main di lingkungan pesantren. Umur Kang Sarbini sedikit lebih tua dibanding Pak Ustadz.

Namun, ya Allah! Kang Sarbini sudah berubah. Ia jauh dari Kang Sarbini yang dulu. Kang Sarbini sekarang terlihat renta. Rambutnya memutih di hampir seluruh kepala. Giginya ompong, tinggal sedikit yang tersisa. Tubuhnya membungkuk, bongkok.

"Kang, bagaimana mungkin rambutmu memutih? Apa yang terjadi?" tanya Pak Ustadz prihatin.

Kang Sarbini tersenyum. Wajahnya menatap lembut.

"Allah telah mengingatkan saya agar segera bersiap menemuinya. Saya sudah tua. Alhamdulilah... Dia sudah memberi tanda. Bukankah lebih enak bagi kita bila Allah sudah memberi sinyal daripada Dia datang tiba-tiba dengan mengirim malaikat-Nya?"

Pak Ustadz terkejut. Ia tak menyangka bila Kang Sarbini akan menjawab seperti itu. Namun, ia tak mempermasalahkannya.

"Lalu, kenapa gigimu habis seperti tak bersisa?" tanya Pak Ustadz lagi.

Kang Sarbini kembali tersenyum. Wajahnya tak berubah. Lembut.

"Inilah siklus kehidupan. Allah telah mencabut sedikit demi sedikit kenikmatan raga yang sebelumnya pernah aku rasakan. Ini juga pertanda! Pertanda bahwa saya sudah saatnya mencari kenikmatan jiwa yang lebih...."

Pak Ustadz mengangguk. Ia membenarkan jawaban Kang Sarbini. Namun, ia masih dibelit rasa penasaran.

"Tapi, kenapa tubuhmu berubah bongkok?"

Lagi-lagi Kang Sarbini tersenyum lembut.

"Tubuh ini sudah sedemikian rindu dengan tanah, makanya ia bongkok. Ia ingin berjumpa, bersama, dan menyatu dengannya. Adakah yang lebih rindu selain kerinduan tubuh untuk berjumpa dengan tanah, sang pemula itu...."

Pak Ustadz tak kuasa membendung keharuan. Ia memeluk sahabatnya itu erat. Ia seperti tidak ingin berpisah. * * *

No comments: