Monday, December 28, 2009

MANAJEMEN KELUARGA

Rumah yang sederhana. Rumah yang terpencil. Pada sebuah kampung di pinggiran desa. Selalu saja Pak Ustadz merasa mendapatkan banyak ilmu ketika datang dan bersilaturahim ke rumah kediamannya. Mbah Rahmat, lelaki yang renta, tapi terlihat masih sehat.

Mbah Rahmat bukan siapa-siapa. Ia hanya orang biasa. Pekerjaan sehari-harinya bertani. Namun, jangan ditanya kesibukannya. Setiap hari ia seperti tak kenal lelah menerima tamu yang hilir mudik datang ke rumahnya. Pagi, siang, sore, malam.

Mbah Rahmat bukan petani sembarangan. Keluasan ilmunya melampaui masalah padi, musim panen, atau hama wereng. Tak bisa disangkal, semua yang ada pada diri Mbah Rahmat memang menunjukkan bahwa dia pribadi yang mumpuni. Wajahnya tenang. Bicaranya tertata.

"Sehatkan, Mbah.... "

"Ya, beginilah Pak Ustadz. Sehatnya orang tua. Selalu saja ada masalah yang membuat badan ini mesti beristirahat. Tidak dipaksa."

Pada sebuah bangku di bawah rindangnya pohon sawo, Pak Ustadz dan Mbah Rahmat saling bersapa. Akrab. Tak ada jarak.

"Jadi anak-anak pulang, Mbah?"

"Ha..ha... Saya tidak tahu pasti. Tapi, biarlah mereka menentukan sendiri. Mau pulang, monggo. Tidak pulang ya tidak apa-apa. Mereka sudah punya kewajiban sendiri-sendiri. Tugas saya sudah selesai."

"Mbah Rahmat nggak kangen?"

"Kangen? Oh, itu pasti. Karena mereka anak-anak yang hebat."

Pak Ustadz tersenyum mendengar ucapan terakhir Mbah Rahmat. Sebab ucapan itu adalah ucapan yang justru sering disuguhkan Pak Ustadz kepada Mbah Rahmat. Anak-anak Mbah Rahmat adalah anak-anak yang hebat! Sebab bagaimana tidak hebat bila delapan anak Mbah Rahmat semua jadi "orang penting". Ada yang jadi pejabat, wiraswasta, politisi, dan lain-lain.

"Apa Mbah dulu tidak repot mengurus anak begitu banyak. Saya dan istri saja kerepotan mengurus tiga anak."

"Ha...ha....ha...."

Lagi-lagi Mbah Rahmat tertawa. Entah apa yang ditertawakan. Bagi Pak Ustadz, tertawa Mbah Rahmat seolah menyindir kemampuan dirinya dalam mengurus keluarga.

"Rahasianya apa Mbah kok bisa ngurus anak banyak tanpa kerepotan?"

"Ah, bohong kalau ngurus anak tidak repot. Berapapun anak yang kita punyai kerepotan pasti akan datang. Cuma yang penting bagaimana mengurusnya..."

"Memang bagaimana cara Mbah dulu mengurusnya?" potong Pak Ustadz.

Mbah Rahmat terdiam. Tapi, tangannya menyentuh Pak Ustadz supaya mendekat. Di telinga Pak Ustadz Mbah Rahmat berbisik. Lirih. Tak terdengar. Pak Ustadz tertawa terbahak-bahak. Apa yang dibisikkan Mbah Rahmat?

Kata Mbah Rahmat, ia mengurus anak dengan manajemen keluarga ala Mbah Rahmat. Karena delapan anak, maka anak pertama bertanggung jawab menjaga anak kelima, anak kedua menjaga anak keenam, ketiga menjaga yang ketujuh, anak yang keempat menjaga yang kedelapan. * * *

Wednesday, November 25, 2009

SEPERTI MATAHARI

Ruangan Masjid Abubakar terasa panas. Pengap. Semua orang merasakannya. Mereka gerah. Keringatan. Padahal, malam itu udara sangat dingin. Angin berhembus keras, tanpa bisa dicegah oleh dinding-dinding masjid. Angin itu bahkan langsung menghantam tubuh-tubuh yang bersila.

Pukul delapan. Sekitar 15 orang hadir. Campur aduk. Ada yang tua, ada pula yang muda. Ada yang pegawai negeri, ada pula yang swasta. Ketegangan sangat terasa. Tak hanya tegang, rasa marah seperti menerkam semua orang yang hadir.

Masalahnya sepele. Malam itu mereka tengah membicarakan persoalan pergantian pengurus masjid. Suara mereka terpecah menjadi dua. Pertama, golongan muda. Kedua, golongan tua. Suara mereka sangat berbeda. Golongan tua berharap mereka dapat terpilih kembali, sebaliknya golongan tua berharap ada regenerasi. Di tangan golongan tua, program masjid dinilainya mandeg.

"Apakah akan kita lanjutkan rapat ini hingga muncul kesepakatan?" tanya Pak Ustadz yang hari itu memposisikan dirinya sebagai penasihat.

Orang-orang saling berpandangan. Mereka seperti kebingungan menangkap maksud suara Pak Ustadz.

"Kita lanjutkan saja Pak Ustadz. Kalau bisa kita voting saja!" sergah Hanif yang dipersepsikan sebagai wakil golongan muda. Namun, suara Hanif terancam oleh usulan Pak Dadang yang tiba-tiba sudah bersuara keras.

"Saya tidak setuju Pak Ustadz!" kata Pak Dadang sambil mengancungkan tangan. "Kita makhluk yang beradab. Tidak patut kita meminta voting sedangkan musyawarah saja masih terus kita usahakan. "

Perkataan "makhluk beradab" membuat Hanif panas. Ia tidak menerima dirinya dituduh sebagai tidak beradab. Katanya kemudian.

"Voting bukan menunjukkan beradab dan tidaknya seseorang. Voting justru menunjukkan cakap dan tidaknya seseorang dalam mengelola masalah. Orang yang takut dengan voting sebenarnya orang yang lemah."

Kali ini gantian Pak Dadang yang panas.

"Kamu memang tak punya sopan santun terhadap orang tua!

Hanif tak mau kalah.

"Bapak yang tidak menghargai suara orang muda!"

"Kamu....!"

"Bapak....!"

Pak Ustadz bertindak cepat. Ia tidak mau keributan terjadi di rumah Allah. Ia langsung menghentikan pertikaian itu sebelum sampai muncul keributan yang lebih besar. Musyawarah dibubarkan. Ditunda. Semua orang bergegas pulang.

Pak Ustadz menatap langit-langit masjid. Hari ini ia begitu kecewa. Ah, ternyata tidak mudah bersikap layaknya matahari saat berbicara tentang kedudukan atau jabatan. Matahari tahu kapan ia muncul, menyinari alam raya ini, untuk kemudian tenggelam. Sedangkan kita? * * *

Friday, November 20, 2009

PENGEMIS ITU MEMBERI

Nadia berlari-lari kecil menuju teras rumah. Tangannya menenteng pecahan uang seribuan. Matanya berbinar. Hatinya berbunga-bunga. Gadis yang manis, gadis yang solehah.

Tiba di depan pintu hatinya tertegun. Ini lagi! Ini lagi! Hatinya berontak. Wajahnya berubah kecut. Masam. Sangat tidak enak dilihat. Tapi, Nadia tak punya daya. Ia menyerahkan pecahan ribuan itu kepada si pengemis.

Dari jauh Pak Ustadz memperhatikan tingkah Nadia yang berubah. Setelah pengemis menghilang dari pandangan dan Nadia berbalik, Pak Ustadz bertanya lembut.

"Kenapa wajahmu, Nak. Kok tiba-tiba berubah kecut?"

Nadia, gadis terkecil, putri Pak Ustadz mulanya tak mau menjawab. Namun, setelah ayahnya agak mendesak, ia akhirnya mau berbicara.

"Abi, Nadia tuh kesel sama pengemis itu. Sering banget deh ia ke sini. Kayaknya baru kemarin ia ke sini, eh sekarang sudah ke sini lagi...."

"Memang kalau ke sini terus kenapa?"

"Lho, kan Abi sendiri yang sering bilang kalau 'memberi itu lebih baik daripada meminta'. Kalau pengemis itu terus-terusan ke sini, kapan pengemis itu punya waktu untuk memberi ke kita. Masa meminta terus?!"

Pak Ustadz tersenyum melihat ucapan Nadia. Dalam hatinya ia bersyukur Allah memberikan gadis yang cerdas kepadanya. Semoga ia menjadi anak yang sholehah, batin Pak Ustadz.

"Nadia, pengemis itu juga memberi kepada kita. Setiap kedatangannya selalu memberi. Kita dan pengemis itu sebenarnya saling memberi."

Nadia tertegun. Ia bingung dengan ucapan ayahnya.

"Pengemis itu memberi....." gumam Nadia.

"Ya benar! Pengemis itu memberi kesempatan kepada keluarga kita untuk memberikan sedikit rezeki yang kita punyai. Coba Nadia pikir, bagaimana kalau pengemis itu tidak datang ke sini? Kita jadi tidak memberi-kan?"

Nadia manggut-manggut
mendengar ucapan ayahnya.

"Dan ingat Nadia, tidak sedikit pengemis yang datang memberi doa kepada kita."

Nadia kini tersenyum. Hatinya lega.


"Anakku, "kata Pak Ustadz kemudian. "Setiap makhluk ciptaan Allah itu ditakdirkan untuk 'memberi'. Matahari memberi cahaya. Angin memberi hawa sejuk. Laut memberi ikan. Lebah memberi madu. Indahkan kalau kita memberi."

Nadia memeluk ayahnya. Ah, betapa bahagianya ia memiliki ayah yang baik hati. * * *

ILMU ITU CAHAYA ALLAH

Dua muda mudi itu tersipu malu. Mereka meninggalkan rumah Pak Ustadz dengan wajah bersemu merah. Tak mereka nyana, tak mereka kira. Keinginan untuk meminta nasihat malah membuat mereka menjadi tak nikmat.

Dari jauh Pak Ustadz termenung. Ia tak tahu mesti berbuat apa. Menangis? Tertawa? Sedih? Malu? Ah, muda-mudi sekarang memang umumnya begitu. Ingatan Pak Ustadz membayang beberapa menit yang lalu.

Dua muda-mudi bertamu di rumah Pak Ustadz. Mereka memperkenalkan diri sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Pak Ustadz tinggal. Si perjaka berwajah tampan, modis, dan terkesan anak orang berpunya. Si gadis berpakaian muslimah, sederhana, dan tampak cerdas.

Mereka mengutarakan keresahannya. Kata si gadis itu, akhir-akhir ini dirinya merasakan hal yang aneh. Setiap ilmu yang diajarkan oleh dosennya tidak pernah bisa masuk ke otaknya. Setiap pengetahuan yang didapat dari buku yang dibacanya tidak mampu ia serap. Hilang begitu saja. Ilmu dan pengetahuan itu seperti lenyap tak berbekas.

Akibatnya, nilai kuliahnya turun drastis. Tak hanya itu. Ia juga terancam tidak lagi mendapatkan beasiswa setiap semesternya dari sebuah Yayasan Islam. Padahal dulu-dulunya tidak seperti itu. Si gadis menginginkan otak dan daya ingatnya kembali seperti semula.

"Jadi, apa yang Anda berdua inginkan dari saya?" tanya Pak Ustadz setelah mendengarkan kisah gadis itu.

Dua muda mudi itu saling berpandangan. Mereka seolah bingung. Mereka tak tahu mesti berkata apa. Pak Ustadz mengerti keadaan. Katanya kemudian.

"Barangkali adik sedang punya masalah?"

"Oh, tidak, Pak Ustadz. Tidak."

"Mungkin lagi sakit?"

"Tidak juga. Saya sehat selalu. "

"Mungkin tidak senang dengan dosen atau buku yang Adik baca?"

"Tidak, Pak Ustadz. Saya suka sekali dengan dosen-dosen di tempat saya kuliah. Buku-buku yang saya baca juga mengasyikkan."

Pak Ustadz termenung sejenak. Ia ikut bingung dengan kebingungan yang dialami dua muda-mudi itu. Namun, tiba-tiba tebersit pertanyaan di benak Pak Ustadz.

"Maaf, adik berdua sudah menikah?"

Muda-mudi itu terkejut. Mereka tak menyangka Pak Ustadz akan menanyakan seperti itu. Dengan malu-malu mereka menggelengkan kepalanya. Mereka berkata bahwa mereka adalah sepasang kekasih.

Pak Ustadz tersenyum. Ia kini tahu apa yang menjadi penyebabnya. Namun, Pak Ustadz tak tahu ia mesti mulai dari mana. Tiba-tiba saja sudah meluncur dari bibir Pak Ustadz kata-kata.

"Adik berdua, ilmu itu cahaya Allah. Dan cahaya Allah itu akan diberikan kepada orang-orang yang menjauhi maksiat. Jadi, kalau Adik berdua ingin pintar, cerdas, dan punya daya ingat tinggi, jauhilah maksiat...." * * *

Sunday, November 15, 2009

HILANG MARAH, HILANG SETAN

Pak Ustadz berjalan agak tergesa-gesa. Ia takut terlambat. Sebentar lagi acara pengajian di masjid akan dimulai. Dari jauh ia melihat jalanan sudah sepi. Wah, pasti orang-orang sudah duduk rapi di masjid, batinnya.

Malam merambat naik. Di sebuah tikungan jalan, sebuah suara membuat langkah Pak Ustadz terhenti. Di kegelapan. Sejenak.

"Buru-buru amat, Pak Ustadz...."

Usman dan Jamal, dua dedengkot kampung. Si
trouble maker, pembuat keonaran. Mereka asyik duduk di bangku tepi jalan. Sebuah botol minuman tergeletak di samping mereka berdua. Pak Ustadz sudah menduga-duga. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Pak Ustadz aku mau nanya...." Jamal membuka suara. Nada bicaranya terdengar parau. Badannya agak limbung.

"Bagaimana
sih cara menghilangkan rasa marah?"

Pak Ustadz memandang tajam keduanya. Ia tahu, mereka sudah di ambang batas kesadaran. Air botol yang tergeletak di dekatnya adalah bukti. Tapi, Pak Ustadz tidak ingin menyakiti perasaan mereka berdua.

"Ambil napas panjang. Begitu saja. Terus menerus," jawab Pak Ustadz sabar.

"Kalau cara ini gagal, bagaimana Pak Ustadz?"

"Kalian berdua tak usah banyak bicara. Diam saja. Insya Allah rasa marah kalian pelan-pelan akan hilang dengan sendirinya."

Usman dan Jamal sepertinya tidak puas. Entah karena pengaruh minuman keras atau karena rasa ingin tahu yang berlebihan mereka kembali bertanya.

"Kalau dua cara ini juga gagal, bagaimana Pak Ustadz?"

"Kalian bisa duduk-duduk sambil berdiam diri. Kemudian usahakan berbaring dengan santai sehingga syaraf-syaraf kita menjadi kendor."

Pak Ustadz senang Jamal dan Usman sudah tidak lagi bicara. Namun, ia kecele. Rupanya, Usman belum puas juga. Bahkan bicaranya seperti tak terkontrol lagi.

"Nah, kalau cara ini juga gagal, rasa marah tetap saja masih ada, bagaimana Pak Ustadz?"

Pak Ustadz terdiam. Ia memperhatikan keduanya. Usman tak sabar.

"Bagaimana Pak Ustadz?"

Pak Ustadz berkata singkat.

"Bacalah taawuds. A'udubillahiminnassyaithonirrojim. Bismillahirrohmanirrohim."

Usman tak puas juga.

"Nah, kalau ini juga gagal. Saya marah terus-terusan, bagaimana?"

Pak Ustadz mulai hilang kesabarannya. Ia kini percaya, susah memang bicara dengan orang yang mabuk. Hilang sadarnya.

"Ambillah air dan berwudhulah. Kalau bisa segeralah sholat....."

"Tapi, kalau ini gagal juga, terus saya bagaimana?"

Usman tersenyum-senyum. Seperti mengejek. Pak Ustadz sudah hilang kesabarannya.

"Berarti kalian telah menjadi setan!"

Pak Ustadz berlalu dengan cepat. Usman dan Jamal terkejut. Tapi, hanya sesaat. Samar-samar Pak Ustadz mendengar Usman dan Jamal saling berceloteh.

"Ha..ha... Kita setan! Setan! Ha...ha....!!!" * * *

Saturday, November 14, 2009

AYO, SENYUMLAH!

"Pak Ustadz!"

Sebuah teriakan keras menyengat telinga Pak Ustadz. Sore itu, sehabis sholat asar. Pak Beni. Lelaki tegap yang mudah sekali tersenyum. Ramah. Ramah sekali. Semua orang tahu Pak Beni. Tahu, karena Pak Beni terkenal murah senyum dan ramah.

Ia berlari-lari dengan ketergesaan yang sungguh. Hampir terjatuh ia. Menyalami Pak Ustadz dengan kukuh dan memperlihatkan giginya yang putih teratur rapi.

"Pak Ustadz, bisakan nanti malam datang ke rumah saya? Oh ya, saya mau syukuran. Alhamdulillah, berkat doa restu Pak Ustadz dan warga di sini, saya terpilih menjadi ketua partai, "tutur Pak Beni.

Ada kebahagiaan di wajah Pak Beni. Pak Ustadz tahu, Pak Beni aktif di salah satu partai politik yang ada di negeri ini. Kemarin Pak Ustadz memang mendengar Pak Beni mencalonkan dirinya sebagai ketua partai di tingkat kota. Syukur, kalau Pak Beni menang dan akhirnya terpilih.

Itu cerita beberapa bulan yang lalu.

Kini, Pak Beni sudah muncul lagi di rumah Pak Ustadz dengan kebahagiaan serupa. Juga undangan yang serupa kepada Pak Ustadz.

"Pak Ustadz, saya meminta Pak Ustadz hadir nanti malam di rumah saya. Saya mau syukuran..."

"Syukuran?! Syukuran apa, Pak Beni?" tanya Pak Ustadz sedikit kaget.

"Alhamdulillah, berkat doa restu Pak Ustadz, juga seluruh warga di sini, saya terpilih menjadi anggota DPRD di kota kita ini..."

Pak Ustadz langsung berucap syukur. Ia menyalami Pak Beni kembali. Pak Ustadz senang ada salah seorang tetangganya yang kini menjadi wakil rakyat. Pak Ustadz berharap Pak Beni mampu menjalankan amanah yang dipikulnya itu.

"Saya minta doanya saja Pak Ustadz. Moga-moga saya mampu menjalankan tugas dan tanggung jawab yang berat ini. Saya berharap Pak Ustadz tidak berhenti mendoakan saya, " pinta Pak Beni beranjak pergi.

Pak Ustadz manggut-manggut. Ia yakin bila mau bekerja keras Pak Beni pasti akan mampu melaksanakan tanggung jawab itu.

Senyum terus terukir di bibir Pak Beni. Sepanjang jalan yang dilalui. Demi mengabarkan warta gembira ke setiap warga yang diundang.

Jabatan telah mengundang Pak Beni untuk mendudukinya. Pak Beni senyum, Pak Beni teramat bahagia. Namun, dalam hati Pak Ustadz sebenarnya sangat merindukan senyuman Pak Beni yang lain. Ya, senyuman Pak Beni yang lain! Senyuman Pak Beni saat panggilan adzan memanggilnya. Bukan jabatan yang memanggil, tapi Allah yang memanggil!

Kenapa demikian? Karena Pak Beni memang sulit sekali tersenyum ketika Allah memanggilnya. Ia bahkan kerap cemberut. Kapan ya Pak Beni mau tersenyum kepada panggilan Allah.... * * *

DIK, CUKUPLAH DIA JADI PENOLONGKU

Pak Ustadz tak mampu menyembunyikan kesedihannya. Ia serasa ingin menangis. Keras-keras. Biarlah seisi dunia, dan bahkan Allah sekalipun mendengarnya. Tidak apa-apa. Yang penting beban di dada lenyap tak berbekas.

Duabelas tahun sudah ia menikah dengan istrinya, tapi segalanya masih saja tertatih-tatih. Tak ada kenyamanan, apalagi kenikmatan. Rumah megah dan mobil sangat jauh dari itu. Padahal anak sudah tiga. Baru kali ini Pak Ustadz merasa begitu bersalah. Bukan kepada siapa-siapa, melainkan kepada dirinya sendiri.

Mulanya hanya masalah sepele. Istri Pak Ustadz bercerita kalau Mak Iyem, tetangga sebelah baru membeli kulkas baru. Warnanya abu-abu, kulkas dua pintu. Kulkas itu dibeli setelah hampir tiga tahun ia tak membelinya.

"Jangankan tiga tahun, kita malah tak punya sama sekali ya, Bi. Padahal Mak Iyem hanya jualan sayur-mayur di depan rumah, tapi kulkas terbeli."

Pak Ustadz tergetar. Meski pendek ucapan istrinya begitu menohok perasaannya. Perih. Namun, Pak Ustadz tak menyahut. Ia asyik membaca deretan huruf pada sebuah buku yang baru beberapa hari dibelinya.

"Yang lucu lagi, Mas Ribut. Setiap hari ia lewat di depan rumah kita. Ayam-ayam yang hendak dibawa ke pasar nyantel di motornya. Eh, beberapa tahun kemudian, motornya lenyap. Berganti dengan mobil bak yang penuh dengan ayam-ayam. Sukses juga Mas Ribut."

Pak Ustadz tergores. Sakit. Ada luka yang mulai menganga di hatinya. Ia tahu, istrinya sedang membanding-bandingkan kehidupan dirinya dengan orang lain. Entah sadar entah tidak. Ucapan itu telah melukai suaminya sebagai kepala keluarga, sang pencari nafkah.

"Nah, yang hebat tentu Pak Kamal. Ia bareng-bareng dengan kita sewaktu pertama kali pindah ke kampung ini. Malah duluan kita. Motornya butut seperti kita. Rumah ngontrak. Eh, sekarang. Rumah sudah terbeli, dibangun megah. Motor dua, mobil gonta-ganti. Pemborong sih...."

Pak Ustadz sudah tidak tahan lagi. Hatinya tersudut. Pada sebuah tempat yang membuat dirinya tak mampu bergerak, terjepit.

"Dik, apakah kamu ingin semua itu? Kulkas, motor, rumah megah, mobil?!" tanya Pak Ustadz dengan bibir bergetar.

Istri Pak Ustadz terperanjat. Ia sangat kaget dengan ucapan suaminya. Matanya langsung menyelidik. Ia melihat ada bayang-bayang wajah dirinya di bola mata suaminya. Genangan air mata! Pak Ustadz menangis.

Istri Pak Ustadz terperanjat. Ia merasa bersalah. Ia sadar bahwa ucapan dirinya telah melukai perasaan suaminya.

"Dik, seandainya ada orang-orang yang mengajak engkau berlomba-lomba dalam kehidupan dunia, ajak dia supaya berlomba-lomba dalam kehidupan akhirat. Cukuplah Allah menjadi penolong kita," tutur Pak Ustadz dengan bibir yang masih bergetar.

Pak Ustadz masuk ke kamar. Ia ingin sendiri. * * *

Tuesday, November 10, 2009

BANGGA DENGAN KEDURHAKAANNYA

Bunda Fifi tak kuasa menyembunyikan kesedihannya. Sepanjang jalan. Air matanya serasa tak terbendung. Mengalir terus. Jalan yang ditapakinya seolah basah.

Bunda Fifi masih saja tak percaya dengan kenyataan yang dialaminya. Seto, anak tunggalnya. Bertahun-tahun ia mengasuh dan mendidiknya. Tak lepas dari kasih sayang dan cinta kasih. Faktanya, Seto menjadi orang yang paling dicari. Kriminal. Kriminal akut!

Mulanya, di usia SMP Seto sudah coba-coba merokok. Sembunyi-sembunyi. Di usia SMA ia sudah terang-terangan. Tanpa rasa takut. Di masa kuliah ia kecanduan narkoba. Akibatnya, kuliahnya berantakan.

"Ya Allah, jangan Engkau uji hambamu ini dengan ujian yang hamba tidak kuat menanggungnya..."

Kuliah berantakan Seto balik ke rumah. Namun, narkoba jalan terus. Kini, ia bahkan berani menipu ibunya sendiri. Bilangnya sudah sembuh, tapi semua harta di rumah diraupnya hingga habis. Tape, televisi, ponsel, motor, bahkan mobil peninggalan bapaknya.

Bunda Fifi tak mampu mencegah. Ia sudah tak berdaya. Bahkan ketika pada suatu hari beberapa orang polisi datang ke rumahnya. Mereka mencari Seto. Mereka menangkap Seto. Tak hanya dituduh terlibat sebagai pemakai narkoba, Seto juga disangka masuk dalam jaringan bisnis barang haram itu dan terlibat penipuan.

"Ya Allah, apa hikmah di balik ini semua...."

Bunda Fifi telah mencap Seto sebagai anak durhaka. Ia sudah melupakan bahwa Seto pernah lahir dari rahimnya. Biarlah Seto menjadi urusan Tuhan semata, sang empunya sesungguhnya. Namun, haruskah kasih sayang ibu terus terbenam saat anaknya diberitakan pulang dan takut untuk menemuinya? Tidak! Tidak! Bunda Fifi memilih tidak.

Di rumah Pak Ustadz. Bunda Fifi melihat Seto dengan perasaaan bercampur aduk. Rindu, dendam, sayang, benci. Ia tak mampu berkata-kata. Ia hanya berdiri mematung dengan tangis tak berhenti. Bahkan ketika anak yang dianggapnya durhaka itu memeluk dan bersujud di kakinya.

"Bunda Fifi, Seto tetaplah Seto yang dahulu. Ia tetap anak yang durhaka...."

Bunda Fifi terkejut. Seto apalagi. Keduanya memandang Pak Ustadz dengan pandangan tak percaya. Tapi, Pak Ustadz tetap menyunggingkan senyum. Ia serasa tak bersalah dengan perkataannya.

"Seto kini adalah Seto yang durhaka terhadap segala bentuk kemaksiatan. Seto durhaka terhadap minuman keras dan narkoba. Seto durhaka dengan praktik penipuan. Seto durhaka terhadap kebencian dan kemunafikan. Sekarang Bunda, Seto amat bangga dengan kedurhakaannya itu."

Bunda Fifi tersenyum mendengar ucapan Pak Ustadz. Tapi, Pak Ustadz tidak paham apa makna di balik senyuman Bunda Fifi. Ia hanya sekadar meraba. * * *

IBU...IBU....IBU.....!!!

Pak Ustadz tak mampu memejamkan matanya. Sejak tadi dua orang pria yang duduk di belakangnya terus berbicara. Ngalor-ngidul. Tak karuan. Laju mulus kereta api eksekutif yang membawanya pergi ke Jakarta tak bisa membuat Pak Ustadz tertidur. Walau barang sejenak.

Uniknya, telinga Pak Ustadz tiba-tiba serasa ditarik kekuatan untuk terus mendengarkannya. Ah, pembicaraan yang menarik buat sebuah pelajaran, batin Pak Ustadz. Dalih Pak Ustadz, bukan salah saya kalau saya mendengarkannya.

"Jadi, kamu benar-benar sudah kawin lagi. Dua dong kalau gitu..."

Seorang pria bersuara kecil tertawa lirih sembari menuding ke arah pria yang duduk di sebelahnya. Pria yang duduk di sebelahnya yang -ternyata- memiliki suara besar langsung bereaksi.

"Sssst. Jangan keras-keras. Malu. Semua orang tahu nanti. Apa kata orang kalau tiba-tiba di kereta api ini ada tetanggaku. Mati aku!"

"Lho, kenapa harus malu? Bukankah kamu mesti siap menghadapi setiap konsekuensi dari pilihan hidupmu itu. Kalau malu kenapa kamu lakukan ?"

Si suara besar tak membalas. Ia hanya diam. Tapi, sejenak. Ia kemudian berkata lagi.

"Yang penting adil. Kalau kita merasa mampu berbuat adil. Ya, sudah laksanakan. Aku nggak mau munafik. Aku memang pingin beristri lagi. Dan aku merasa mampu berbuat adil. Jadi, apa yang ditunggu?"

"Adil semuanya, termasuk hati?"

"Ah, ya tidak. Adil dalam pengertian materi. Bukankah ini yang dicontohkan Rasulullah? Rasul saja selalu tak bisa melupakan Khadijah, istri pertama yang begitu dikasihinya. Tentu, maknanya adil materi."

"Itu saja alasanmu?"

"Oh, tidak."

"Apalagi?"

"Ada hadist nabi yang berbunyi. Siapa yang harus saya hormati? Ibu. Lalu, siapa? Ibu. Siapa lagi? Ibu. Jelaskan, hadist ini secara tegas menyiratkan ada lebih dari seorang istri dalam keluarga. Nabi bahkan menyebutkan hingga tiga kali...."

Si suara kecil tertawa ngakak mendengar alasan si suara besar. Si suara besar tak ketinggalan. Mereka larut dalam canda.

Di depannya, Pak Ustadz hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya mendengarkan percakapan keduanya. Kalau nafsu sudah bicara selalu saja ada akal untuk melogikakannya sebagai dalih. Ah, manusia! Manusia! * * *

Thursday, October 29, 2009

KAPAN ISRAEL KEOK?

Fajar, Dadi, dan Gilang sedang bersiap-siap pergi. Mereka hendak turun ke jalan, bergabung dengan massa yang lain. Umbul-umbul, mikropon dan bekal yang lain sudah mereka persiapkan. Pokoknya tinggal jalan dan teriak-teriak.

Semangat 45. Begitu mereka menyebutnya. Hari ini mereka akan menyuarakan protes. Protes keras terhadap Israel. Ya, negara zionis itu kembali menyerang bangsa Palestina yang sudah terdesak. Padahal, apa sebenarnya yang dimaui Israel. Ia punya segalanya dan ia menguasai segalanya.

Sepanjang jalan Fajar, Dadi, dan Gilang tak henti-hentinya berbicara persoalan yang terjadi di kawasan Timur Tengah itu.

"Amerika biang keroknya. Coba kalau Amerika bisa bersikap adil, pasti Palestina tidak mengalami nasib yang demikian, " kata Gilang mulai berapi-api.

"Benar. Amerika memang tukang bikin perkara, " dukung Fajar kepada Gilang. "Ngakunya polisi dunia, tapi perilakunya seenak udelnya sendiri. Afganistan diserang. Irak dihabisin. Jangan-jangan tak lama lagi Iran."

"Makanya nanti di sana kita protes sama Amerika. Biar tahu dunia ini bahwa kita nggak suka sama bangsa yang sok pinter dan sok kuasa itu. Amerika kita setrika, Inggris kita linggis."

Fajar dan Gilang tertawa keras.

"Dadi, benarkan pendapatku?" tanya Gilang kepada Dadi yang sedari tadi hanya mendengarkan kedua temannya bicara.

Dadi tersenyum tipis. Kata Dadi kemudian.

"Benar. Tapi, kita tidak boleh melupakan bahwa musuh kita sebenarnya adalah Israel. Israel yang biadab, Israel yang tak beradab. Apa yang dilakukan di Palestina menunjukkan bahwa mereka adalah bangsa yang tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan."

"Kalau Amerika?" tanya Gilang.

"Amerika hanya berusaha menjadi penengah yang tidak mungkin bisa adil karena mereka selalu punya agenda tersendiri di kawasan yang kaya minyak itu. Amerika tetap tidak bisa diharapkan perannya. Mereka lebih condong kepada Israel."

Fajar seperti tidak setuju dengan pendapat Dadi. Tapi, dia tak kuasa mendebatnya. Dadi di mata Gilang dan dirinya memang memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih luas. Karena itu, ia sering menjadi tempat bertanya bagi banyak orang.

Pak Ustadz lewat di depan mereka. Ah, kesempatan, kata Fajar dalam hati. Ini kesempatan bagi Fajar untuk paham, siapa sebenarnya yang harus diprotes. Amerika atau Israel.

"Pak Ustadz, siapa sebenarnya musuh kita dalam konflik di Palestina, Amerika atau Israel?" tanya Fajar.

Pak Ustadz memandang mereka dalam-dalam. Ia merasakan semangat yang membara terhadap nasib umat Islam di Palestina dari ketiga anak muda itu. Sayang, mereka seringkali lupa membekali dirinya dengan pemahaman dan ilmu.

"Amerika musuh, itu benar. Israel musuh, itu juga benar!" tegas Pak Ustadz. "Tapi, musuh yang paling besar sebenarnya adalah diri kita sendiri."

"Ha...?!"

"Makanya kalau kita sudah mampu mengalahkan diri kita sendiri, mudah bagi umat Islam untuk mengalahkan Israel atau Amerika sekalipun."

Fajar, Dadi, dan Gilang melongo mendengarkan penuturan Pak Ustadz. Setengah percaya mereka bertanya kepada Pak Ustadz.

"Memang kita mampu mengalahkan Israel dan Amerika, Pak Ustadz?"

"Lho, ya mampu!" tegas Pak Ustadz. "Tapi, ada syaratnya."

"Apa syaratnya Pak Ustadz?" tanya Fajar dan Gilang berbarengan.

"Syaratnya kalau barisan sholat subuh umat Islam sudah seperti barisan sholat Jumat, maka Israel dan Amerika pasti bisa kita kalahkan."

Fajar, Dadi, dan Gilang saling berpandangan mendengar jawaban Pak Ustadz. Mereka terpana, bahkan saat Pak Ustadz sudah beranjak pergi, juga untuk berdemo. * * *

Wednesday, October 28, 2009

SI PEMBERI NAFKAH, SANG PEMBERI REZEKI

Ba'da asar Pak Ustadz mengajak istrinya menengok Bang Jali. Hampir seminggu Bang Jali tidak kelihatan batang hidungnya. Terakhir ia masih terlihat keliling kampung menjajakan dagangannya, mie ayam. Sesudah itu, semua warga kampung tak bisa lagi menikmati mie ayam Bang Jali yang luar biasa enak.

Pak Ustadz terkejut. Di rumah Bang Jali. Ia tak menyangka Bang Jali menderita sakit yang cukup parah. Stroke! Ah, stroke sekarang ternyata bisa menyerang siapa saja, termasuk Bang Jali yang hidupnya terbilang sederhana. Stroke bukan lagi penyakit spesialis orang berpunya.

Tubuh Bang Jali kaku, sama sekali tak bisa digerakkan. Tangan, kaki, mulut, leher; semua seolah mati rasa. Hanya pandangan mata Bang Jali yang terlihat hidup. Pak Ustadz prihatin. Ujian yang sungguh berat, batin Pak Ustadz, bagi Bang Jali, lebih-lebih bagi istrinya.

"Sabar...Sabar..." istri Pak Ustadz terus menyemangati istri Bang Jali yang tak henti-hentinya menangis sedih. Entah apa yang dirasakan istri Bang Jali kini. Beban berat mesti dipikulnya. Beban menyangga kehidupan Bang Jali dan tiga orang anak yang menjelang remaja.

"Saya tidak tahu lagi harus bagaimana Pak Ustadz..." tangis istri Bang Jali tak pernah surut. Seperti ada aliran air mata yang tak mungkin dibendung.

Pak Ustadz terdiam. Ia termenung sejenak. Sungguh bukan pekerjaan yang mudah untuk menyelesaikan persoalan yang menimpa keluarga Bang Jali. Pertama, sakitnya Bang Jali yang tentu harus disembuhkan. Kedua, kehidupan keluarga Bang Jali yang tidak boleh ambruk akibat sakitnya Bang Jali.

Optimis! Optimis! Pak Ustadz menyemangati dirinya sendiri. Otaknya terus berputar mencari pemecahan masalah. Ia memang sedang menengok Bang Jali yang sakit. Namun, ia tak mau yang ia lakukan hanya sekadar melihat keprihatinan dan kesusahan orang. Pak Ustadz ingin lebih dari itu.

"Beban ini sungguh teramat berat...." kembali tangis istri Bang Jali terdengar.

"Saya tahu, tapi ibu mesti kuat. Kalau ibu tidak kuat, kasihan Bang Jali. Kasihan anak-anak. Saat ini yang dibutuhkan adalah ketabahan dan kekuatan ibu. Mereka semua menanti tampilnya ibu. Ibu yang kuat, ibu yang berani."

"Tapi, saya sepertinya sudah tidak mampu lagi, Pak Ustadz...."

Dugh! Pak Ustadz kaget. Tak percaya. Ia tak percaya melihat istri Bang Jali benar-benar putus asa. Bagi istri Bang Jali, seperti tidak ada celah untuk keluar dari jalan yang buntu ini. Padahal Pak Ustadz tahu benar, siapa istri Bang Jali. Ia adalah muslimah yang tidak pernah absen dalam majelis-majelis ilmu yang diselenggarakan di masjid. Ternyata, ujian sakitnya Bang Jali telah membuatnya lemah.

"Ibu, tanggung jawab lelaki memang memberi nafkah. Tapi, tanggung jawab Allah adalah memberi rezeki kepada makhluknya. Lalu, kenapa kita mesti khawatir dan takut saat si pemberi nafkah sudah tak berdaya. Bukankah masih ada sang Pemberi Rezeki?" kata Pak Ustadz lembut.

Kali ini gantian istri Bang Jali yang terkejut. Mulutnya segera berucap memohon ampun. Wajah istri Bang Jali seolah muncul cahaya. Binar matanya tak lagi redup. Kini hidup. Amat hidup.

Pak Ustadz melangkah pulang bersama istrinya. Di benaknya sudah muncul puluhan cara yang hendak dicobanya untuk menolong keluarga Bang Jali. Pak Ustadz tersenyum. * * *

Tuesday, October 27, 2009

BIARKAN DIA BERSUJUD

Bisik-bisik itu semakin keras. Tak bisa dicegah. Mulanya dua orang, lalu tiga, kemudian empat, selanjutnya hampir semua jamaah yang hadir di masjid. Bisik-bisik itu serupa ribuan laron kecil yang melingkari lampu.

"Sstt, dia mulai sholat. Ada angin apa ya?"

"Mimpi kali. Dia tak sadar kalau sedang sholat. Coba kalau sadar, dia pasti tak jadi sholat."

"Moga-moga seterusnya. Tidak malam ini saja. Sebab, bagaimanapun juga kehadirannya sangat ditunggu orang-orang. Kalau saja dia mau sholat,
ah pasti masjid ini merasakan manfaat langsung dari kehadirannya."

Pak Farid menjadi bahan perbincangan. Malam itu. Di saat menjelang sholat isya. Mereka seolah melihat Pak Farid sebagai hantu. Aneh. Ganjil. Ya, karena sejak-sejak sebelumnya Pak Farid memang tidak pernah masuk masjid. Jangankan masuk, melihat pun ia tak mau.

Pak Farid orang yang kukuh. Pekerja keras. Tak mudah goyah. Maka kesuksesannya membuat banyak orang begitu menghargainya. Kekayaannya merambah semua sektor. Transportasi, pertanian, perdagangan. Dan, keberhasilannya itu, ia yakini sebagai buah kerja kerasnya selama ini.

Pak Farid tak percaya ada tangan Tuhan di sana. Bahkan ketika ia didera sakit yang parah tanpa diketahui sebabnya, ia tetap tak percaya Tuhan. Ia percaya sakitnya itu karena buah kesalahannya yang tidak pernah hidup secara sehat. Berminggu-minggu. Berbulan-bulan.

Maka, malam itu, di saat ia berjalan sendirian dengan tertatih-tatih menuju masjid, semua orang terpana. Tak percaya. Bahkan ketika ia pulang dan hilang lenyap dari pandangan mata, semua jamaah masih tak percaya dengan kehadirannya tadi.

"Seperti mimpi ya..." cetus seseorang.

"Iya. Abisnya, jarang-jarang sih. Malah nggak pernah sama sekali, "timpal yang lain.

"Alaaa, itukan karena dia sudah sakit. Coba kalau nggak sakit, mana mau dia masuk masjid dan sholat. Jadi, dia mulai takut mati. Karena takut mati dan dosanya seabreg, lalu dia sholat. Siapa tahu saat mati dosanya dapat ampunan...ha...ha..."

Suara keras membahana di seluruh ruangan masjid. Namun, suara itu seolah hilang lenyap saat seseorang berkata lembut, tapi tegas. Pak Ustadz.

"Syukur.... Akhirnya ia mau ruku' dan sujud juga. Semoga bukan karena semata-mata rasa takut akibat sakit yang sedang mendera. Tapi, bukankah ruku' dan sujud juga boleh dikarenakan rasa takut, selain harap dan cinta terhadap Yang Maha Tinggi?"

Suasana senyap. Sunyi. Sepi. * * *

Sunday, October 25, 2009

PERSAHABATAN INDAH

Pak Ustadz terus memperhatikan dua pria yang beranjak menjauh darinya. Keduanya terlihat sangat mesra. Mereka saling bergandengan. Mereka saling menggoda. Tak ada batas di antara keduanya.

Pak Ustadz menghela napas panjang. Mulutnya terus memohon ampun kepada Allah. Ia tak berdaya menyaksikan kedua pria yang telah lenyap dari hadapannya. Hatinya menangis. Sedih.

Semua daya dan upaya telah dilakukan, tapi kini Pak Ustadz tahu, Allah belum memberikan jalan kebenaran. Nasihat telah diucapkan. Peringatan sudah dilontarkan. Namun, Pak Ustadz memang harus menyerah. Ia memasrahkan segalanya kepada Sang Khalik.

"Menyerah Pak Ustadz...."

Sebuah suara lirih menyapanya. Pak Ustadz menolehkan wajah. Firman, salah satu pemuda yang sering menemaninya bepergian. Ke mana saja.

Pak Ustadz kembali menghela napas panjang.

"Saya sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Kemampuan saya sangat terbatas. Dia sudah kukuh dengan kehidupannya. Dia merasa benar. Jadi, buat apa saya memberikan perhatian yang berlebih kepadanya."

"Tapi, kasihan Pak Ustadz...."

"Hidup adalah pilihan, Firman. Semua ada konsekuensinya. Aldi telah memilih hidupnya. ia tahu ia keliru. Salah. Ia tahu itu. Tapi, ia menerima konsekuensinya meski ia sebenarnya tidak menyadari konsekuensinya. Ia lupa dan lalai."

Pak Ustadz kembali terbayang wajah anak sahabatnya. Aldi yang lembut, Aldi yang manis. Namun, sejak remaja, Aldi berubah. Ayahnya terperanjat saat kelembutan Aldi berubah menjadi "selembut-lembutnya". Ibunya menangis ketika manisnya Aldi berganti menjadi Aldi yang "semanis-manisnya". Ayah dan ibunya pingsan tatkala Aldi berubah menjadi pencinta pria.

"Apa yang mesti dilakukan Aldi sekarang, Ustadz?" tanya Firman lirih.

Pak Ustadz menunduk. Ia tak tahu harus menjawab apa. Tapi, Firman mengerti saat Pak Ustadz berkata tegas.

"Andai sebuah pertemanan atau persahabatan hanya menjadikan kita dekat dengan maksiat dan semakin jauh dari Allah, maka putuskanlah!" * * *

DOA YANG (TIDAK) TERKABUL

Akbar marah kepada dirinya sendiri. Ia merasa Pak Ustadz membohonginya. Segala nasihat yang diberikan Pak Ustadz telah ia laksanakan. Tapi, satupun tak ada yang sukses. Semua seolah tak membekas sama sekali.

Maka ini hari ia harus bertemu Pak Ustadz. Ia hendak menyampaikan protes. Pokoknya protes! Keras! Sekeras-kerasnya. Biar Pak Ustadz sadar bahwa nasihatnya banyak yang tidak membawa keberhasilan pada umatnya.

Di persimpangan jalan, Akbar tertegun. Dari jauh ia melihat sesosok tubuh yang amat dikenalnya. Nadira? Ya, Nadira. Gadis tercantik di kompleks perumahannya.

Dada Akbar berdesir. Mukanya memerah jambu. Ah, andai aku berhasil memilikinya, pasti senang hati ini. Mata Akbar tak berkedip, bahkan ketika Nadira sudah menegurnya.


"Mari Mas Akbar....." sapa Nadira ramah.

Akbar tergeragap. Hatinya limbung. Matanya mengerjap bagai burung hendak terbang lepas.

"Oh, ya...Mari...Mari...."

Nadira tertawa terkekeh. Akbar mengutuki dirinya sendiri. Sialan! Kurang ajar! Hei, bukankan aku hendak ke rumah Pak Ustadz buat protes?

Akbar mempercepat langkahnya. Kebetulan, Pak Ustadz sedang membakar sampah dedaunan di halaman. Ia tersenyum melihat Akbar mendatanginya.

"Pak Ustadz, saya mau protes!" kata Akbar keras.

"Oh, ya. Protes masalah apa, Akbar?" tanya Pak Ustadz tenang. Bibirnya tak lepas dari senyum.

"Saya sudah berdoa terus-menerus Pak Ustadz, tapi satupun doa yang saya inginkan tidak ada yang terkabul."

"Oh, ya?"

"Saya sudah berusaha jujur dalam berucap. Saya tak pernah bohong. Tapi, rezeki yang saya inginkan saat berdoa, macet melulu. Bisnis tak pernah lancar. Saya juga tak pernah makan makanan yang haram. Saya selalu memakan makanan yang halal. Namun, anak yang saya inginkan belum juga lahir dari rahim istri saya. Terus...."

"Terus, bagaimana Akbar?"

"Saya juga berusaha menjaga pandangan..."

Akbar tidak meneruskan ucapannya. Bayangan peristiwa pertemuan dengan Nadira masih membekas. Indah, begitu indah. Tapi, ia sadar, dirinya tidak berusaha menjaga pandangan. Bahkan mimpi untuk memiliki Nadira masih terus bersemayam, meski ia sudah beristri sekalipun. Ah, Nadira.

"Oh, ya. Pak Ustadz yang ketiga ini paling sulit. Saya belum mampu...."

Akbar tersenyum malu. Benar! Ia didera rasa malu. Pak Ustadz terkekeh. Ia memaklumi perasaaan Akbar. Perasaan seorang laki-laki yang begitu susah menjaga pandangan mata dari perempuan cantik yang bukan muhrimnya.

Akbar ngeloyor pergi. Malu. Ia membatalkan protesnya. * * *

KURIKULUM KELUARGA

Pak Ustadz berjalan cepat-cepat. Ia tidak mau terlambat. Sore ini ia mesti mengisi pengajian di rumah dr. Anhar. Malu kalau sampai terlambat! Selain rumahnya dekat dan dipandang sebagai tokoh masyarakat, dr. Anhar adalah juga orang yang sukses dalam mendidik putra-putrinya.

Dr. Anhar memiliki empat anak, tiga putra dan satu putri. Keempatnya sudah dewasa. Tiga yang pertama, laki-laki sudah menikah dan berprofesi sebagai dokter. Sedangkan si bungsu, perempuan baru saja diwisuda sebagai sarjana teknik.

Rumah dr. Anhar sudah penuh dengan jamaah. Ini hari dia sengaja mengundang Pak Ustadz untuk sekedar merayakan syukuran atas keberhasilan si bungsu. Pak Ustadz diminta berceramah.

"Terus-terang saya bingung untuk berbicara di depan keluarga pak dokter dan para jamaah sekalian," kata Pak Ustadz mengawali ceramahnya. Para jamaah memandang Pak Ustadz dalam-dalam.

"Justru semestinya pak dokter yang berbicara di depan kita semua. Pak dokter mesti memberikan kiat-kiat atau rahasia mendidik anak sehingga anak-anak kita menjadi anak yang berhasil. Sebab hal ini tidak mudah dilakukan. Banyak dari kita yang merasa mampu mendidik anak, pada kenyataannya gagal."

Para jamaah terdiam menyimak keterusterangan Pak Ustadz. Semua seperti mengangguk setuju.

"Kata banyak orang, anak mesti diberi fasilitas agar sukses. Buku, komputer, motor diberikan. Tapi, yang terjadi anak kita malah menjadi anak yang liar. Alasannya belajar komputer, kenyataannya main kebut-kebutan di jalan...."

Para jamaah di rumah dr. Anhar terus menyimak ceramah Pak Ustadz. Ia memberikan penjelasan bagaimana mendidik anak yang berhasil. Kata Pak Ustadz, kunci keberhasilan mendidik anak ada tiga, yakni keikhlasan, keteladanan, dan kasih sayang.

Keikhlasan, karena anak adalah amanah, tapi juga fitnah yang diberikan Allah. Rasa ikhlas akan mengantarkan kita pada sikap ketundukan dan kepasrahan dalam mendidik. Keteladanan, sebab anak perlu contoh, bukan teguran atau makian. Teladan akan membuat anak yakin bahwa kebenaran yang diteladankan orang tua adalah betul adanya. Kasih sayang, karena anak lahir sebagai buah cinta kedua orang tuanya. Kasih sayang menjadikan anak memahami arti persahabatan, pertemanan, dan rasa toleran.

Pak Ustadz selesai memberikan ceramahnya. Ia sengaja duduk berlama-lama di rumah dr. Anhar. Jamaah sudah pulang semua.

"Pak dokter, apa sih kunci keberhasilan Pak dokter dalam mendidik anak?" tanya Pak Ustadz mengagetkan Pak dokter. Pak dokter terkejut sesaat. Ia tak menyangka Pak Ustadz bertanya seperti itu. Bukankah tadi Pak Ustadz sendiri yang sudah menjelaskannya?

Pak dokter memandang wajah Pak Ustadz. Ia melihat ketulusan pada mata Pak Ustadz.

"Kurikulum keluarga!" kata Pak dokter singkat.

"Kurikulum keluarga?"

Pak dokter mengiyakan. Kata pak dokter kemudian.

"Saya menginginkan anak-anak menjadi dokter seperti saya. Maka saya membuat kurikulum keluarga terhadap anak saya agar ia menjadi dokter. Sejak dini anak-anak saya kenalkan dengan profesi dokter agar tumbuh rasa cinta. Kemudian, mereka mesti suka pelajaran sains. Hafalannya harus kuat. Tidak takut darah....."

Pak Ustadz mengangguk-angguk. Ia tahu apa yang mesti dilakukan. Karena ia menginginkan anak-anaknya menjadi anak saleh, ia akan membuat kurikulum keluarga anak saleh. Sholat berjamaah, baca Qur'an bersama, hadir dalam majelis tak'lim, hidup bersih, dan lain-lain adalah persoalan yang mesti masuk dalam kurikulum keluarganya.

Pak Ustadz berjalan pulang. Kurikulum keluarga? Ia tersenyum-senyum. Sendirian.* * *

Wednesday, September 02, 2009

MEREMEHKAN AMAL

Sudah beberapa hari ini Pak Ustadz tidak lagi pernah melihat Mang Karma. Entah ke mana. Tak pernah lagi kelihatan batang hidungnya. Pagi, siang, sore, atau malam. Akibat Mang Karma raib, masjid menjadi sangat kotor. Tak terurus.

Masjid sudah tak nyaman lagi buat beribadah. Lantai masjid jarang disapu dan dipel. Karpet penuh debu. Tempat wudhu tertempel daki. Toilet baunya tak
ketulungan. Pak Ustadz tak tahu, bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi. Ah, gara-gara Mang Karma!

Seusai sholat subuh Pak Ustadz mampir ke rumah Mang Karma. Minggu pagi itu. Ia ingin tahu alasan Mang Karma mengabaikan tanggung jawab kebersihan di masjid. Apalagi, tak hanya kebersihan, Mang Karma kini juga jarang ke masjid.

"Alhamdulillah... ada!" batin Pak Ustadz saat melihat Mang Karma sedang asyik ngopi.

"Kok nggak pernah kelihatan lagi, Mang. Ke mana
wae selama ini?" sapa Pak Ustadz ramah setelah terulur salam dari bibirnya.

"Di rumah saja, Ustadz " jawab Mang Karma singkat.

Pak Ustadz manggut-manggut. Istri Mang Karma datang membawa secangkir teh dan pisang goreng. Pak Ustadz mencicipinya setelah ia dipersilakan.

"Begini, Mang...." kata Pak Ustadz membuka cakap. "Itu masjid
kok kotor banget ya. Seperti tak terurus. Sampah ada di mana-mana. Debu seperti melingkari ruangan. Pengap rasanya. Pokoknya tak nyaman...."

Mang Karma tahu, ia yang menjadi pokok masalahnya. Gara-gara saya, masjid jadi kotor! Batin Mang Karman. Ah, tapi peduli amat.

Mang Karma tak bersuara. Bibirnya hanya tersenyum. Tipis. Mang Karma tak mau membuka mulutnya.

"Ada apa memang, Mang?"

Mang Karma tetap tersenyum.

"Ayo, sampaikan kepada saya. Siapa tahu saya bisa bantu."

Mang Karma ragu. Namun, melihat ketulusan hati dan mata Pak Ustadz, Mang Karma luluh juga. Ia pun bicara. Saat pertama bicara, nadanya terdengar seperti tertekan. Semenit kemudian ia seolah meledak.

"Pak Ustadz, saya tidak peduli bila para jamaah tidak menghargai tugas dan tanggung jawab saya. Saya terima jika mereka menghina saya. Tukang jaga masjid! Tukang kebersihan masjid! Apa saja, silakan. Saya ikhlas. Tapi, jangan sekali-sekali mereka meremehkan tanggung jawab saya itu. Bagi saya, jika mereka meremehkan tugas itu, sama saja dengan mereka meremehkan amal perbuatan saya. Soal amal, biarlah Allah yang menilai."

Oh, jadi ini yang membuat Mang Karma mangkir dari tugasnya. Pak Ustadz tersedak. Ia kini yang tak mampu bicara. Mang Karma seolah memprotes dirinya. Karena kelalaian Anda dalam berdakwah, jamaah masjid menjadi lupa berakhlak mulia.


Pak Ustadz merasa bersalah. Pak Ustadz membatin. Mang Karma benar! Betapa banyak orang di sekeliling kita yang seolah alim, seolah ahli ibadah. Padahal, mereka niscaya orang yang lalai. Mereka lalai karena mereka suka meremehkan amal. Amal yang kecil! Amal yang tersembunyi! * * *

Thursday, August 27, 2009

Ibadah Egois

Mata Pak Ustadz lurus ke jamaah. Ia masih duduk bersila di tempatnya. Untuk kesekian kali pandangan matanya tertumbuk pada lelaki yang keluar dari jamaah sholat maghrib. Begitu terburu-buru, seolah ada pekerjaan yang menanti. Badi, nama lelaki itu.

Pak Ustadz tidak pernah melupakan Badi. Badi yang di masa kecil terkenal bandel karena suka menyembunyikan sandal milik temannya di masjid. Badi yang hingga kini tetap menjadi perbincangan orang karena kegemarannya langsung beranjak pergi setelah salam sholat dikumandangkan sang imam.

"Badi, jangan pulang dulu....!"

Badi berhenti sebelum ia sempat mengambil sandalnya. Wajahnya terheran-heran. Ia tahu siapa yang memanggilnya. Pak Ustadz! Badi berdiri tegak pada tangga masjid. Tapi, tak lama. Ia kemudian masuk ke masjid lagi dan mengambil tempat duduk di pojok.

Pak Ustadz menghampiri dengan senyum ramah. Para jamaah seperti tak peduli. Ada apa ya, batin Badi. Hatinya bertanya-tanya. Baru kali inilah Pak Ustadz menahannya sepulang sholat maghrib. Pak Ustadz dan Badi duduk berhadap-hadapan.

"Di, aku mau tanya....." Pak Ustadz menghentikan pertanyaannya. Ia seperti berusaha menunggu reaksi Badi. "Tidak apa-apakan aku bertanya?"

"Oh, nggak Pak Ustadz. Silakan saja. Ada apa memang?"

Pak Ustadz membetulkan letak kopiahnya. Matanya lurus memandang Badi.

"Jangan marah ya. Kenapa
sih setiap selesai sholat kamu seperti terburu-buru keluar. Selalu begitu. Ada apa memang?"

Badi terhenyak. Ha?
Kok Pak Ustadz tahu saja. Badi sadar itu memang selalu ia lakukan. Prinsipnya, yang penting ikut sholat berjamaah. Abis itu ya langsung pulang. Tak ada keinginan untuk sekadar duduk berzikir atau berdoa sesudahnya.

"Aduh... saya juga tidak tahu, Ustadz. Pokoknya habis sholat jamaah, pinginnya keluar
aja," jawab Badi sekenanya. Rasa malu dan bersalah tak bisa ditutupinya.

Pak Ustadz manggut-manggut. Ia mengerti.

"Cobalah....Belajar jadi orang yang memberi. Jangan egois. Berbagilah dengan orang lain, termasuk dalam ibadah."

"Maksud Pak Ustadz?"

"Kapan kamu mendoakan kawan-kawanmu?"

Badi menggeleng.

"Kapan kamu mendoakan saudara-saudaramu?"

Lagi-lagi Badi menggeleng.

"Kapan kamu mendoakan orang tuamu sendiri?"

Badi kali ini tertunduk.

"Gunakan waktu sesudah sholat untuk berdoa sebanyak-banyaknya. Buat orang-orang yang kita sayangi. Orang tua, kakek, nenek, teman-teman, saudara. Semuanya! Itu akan melatih kita menjadi orang yang suka berbagi."

Badi mengangguk-angguk. Ia mengerti. Badi paham apa yang mesti ia lakukan selanjutnya. * * *

Monday, August 24, 2009

MELEMBUTKAN HATI

Hari ini hari yang melelahkan bagi Azam. Sepanjang waktu, dari mulai pagi hingga menjelang maghrib, ia mesti mengikuti ajakan Pak Ustadz. Pergi melanglang buana. Ke mana saja? Menuruti kata hati, begitu kata Pak Ustadz.

Awalnya biasa saja. Pak Ustadz mencari Azam seusai sholat Isya berjamaah. Ketemu! Azam langsung ditarik ke sudut masjid. Sambil tersenyum ramah Pak Ustadz bertanya.

"Azam, bisa tidak besok menemani saya keliling-keliling?"

"Ke mana Pak Ustadz?" tanya Azam sedikit penasaran.

"Yah.... ke mana saja. Mau nggak?"

Azam tak mungkin menolak permintaan orang yang sangat dihormatinya itu. Ia hanya mengangguk sembari mulutnya berucap, iya.

Esoknya Pak Ustadz sudah membawa sepeda motor tuanya. Tak lupa dua helm sudah ada di tangan. Sampai di rumah Azam, Pak Ustadz menampakkan senyumnya. Azam seolah kebingungan. Ke mana sebenarnya kita ini? Tapi, ia tidak peduli sebab ia tahu Pak Ustadz pasti mengajak ke jalan kebenaran.

Motor melaju dengan sedikit kencang. Pak Ustadz membawa Azam berkeliling. Ia membawa Azam berkunjung ke sebuah panti asuhan. Di situ Pak Ustadz asyik bermain dan bercanda dengan anak-anak yatim piatu. Pak Ustadz melawak, Pak Ustadz melucu, Pak Ustadz memberi semangat. Anak-anak tertawa gembira.

Tidak sampai dua jam, Pak Ustadz membawa Azam ke rumah sakit. Ia hendak menengok salah seorang temannya yang sedang dirawat karena sakit. Di rumah sakit Pak Ustadz asyik bercengkerama dengan temannya yang dirawat itu. Ia mendengarkan derita sang teman. Sekali-kali ia menghiburnya dengan ucapan-ucapan yang baik. Sang teman terlihat senang dengan kunjungan itu.

Tidak lama, Pak Ustadz sudah melesat kembali di jalanan. Kali ini ia membawa Azam ke kolong jembatan. Di sana Pak Ustadz menemui semua orang. Mereka bercakap-cakap tentang segala hal. Kadang Pak Ustadz bicara panjang lebar. Kadang Pak Ustadz mendengarkan penuh perhatian.

Menjelang sore Pak Ustadz dan Azam pulang. Namun, di tengah jalan ia membelokkan motornya ke sebuah makam. Azam bergidik. Tapi, Pak Ustadz tetap melajukan kendaraannya. Pada sebuah pohon yang rindang, ia berhenti. Pak Ustadz melangkahkan kakinya ke makam. Ia memandang ke seluruh makam. Lama sekali. Selanjutnya, ia berdoa untuk kemudian pulang.

Azam tidak mengerti kenapa ia dibawa ke tempat-tempat seperti itu. Panti Asuhan, rumah sakit, kolong jembatan, dan makam. Azam penasaran.

"Kenapa Pak Ustadz pergi ke tempat-tempat seperti tadi?"

Pak Ustadz terdiam sesaat. Ia tak menjawab. Kemudian....

"Saya sedang belajar melembutkan hati...."

Azam mengangguk. Tak percaya. * * *

Thursday, August 13, 2009

LETAK KEBAHAGIAAN

Pak Ustadz baru saja menyelesaikan sholat Jum'at. Belum lagi ia berbalik dari mihrab, tempat dirinya menjadi khotib dan imam, tiba-tiba datang seorang lelaki menyalaminya. Tak cukup menyalami, lelaki itu kemudian memeluk erat Pak Ustadz kuat-kuat. Seolah tak mau lepas.

Pak Ustadz terkejut. Keterkejutannya semakin besar sesaat dirinya menyadari bahwa pundaknya telah basah oleh air mata. Ya, lelaki yang memeluk Pak Ustadz itu menangis sesenggukan.

"Mari Pak, kita duduk di sana...."

Pak Ustadz mengajak lelaki yang tidak dikenalnya itu duduk di pojok masjid. Pak Ustadz tahu diri. Ia tak ingin mempermalukan lelaki itu dengan tangisannya di hadapan orang banyak.

Mereka duduk berhadap-hadapan. Pak Ustadz membiarkan lelaki itu menyelesaikan tangisannya. Sesekali Pak Ustadz memegang tangan lelaki itu untuk menguatkan hatinya.

Kini Pak Ustadz dan lelaki itu sama-sama terdiam. Tiba-tiba....

"Pak Ustadz, di mana sebenarnya letak kebahagiaan itu?"

Pak Ustadz terkejut dengan pertanyaan lelaki itu. Naluri sebagai orang yang sering menghadapi orang-orang bermasalah mulai muncul. Pak Ustadz tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Pak Ustadz balik menanyakan, ada apa sebenarnya?

Lelaki itu kemudian bercerita bahwa dirinya adalah seorang pengusaha. Perusahaannya memiliki banyak karyawan. Asetnya milyaran. Namun, ia merasakan beban berat yang luar biasa pada hidup dan kehidupannya.

Semua orang di dalam keluarganya seolah menggantungkan hidup dan kehidupan pada dirinya. Semua anggota keluarganya, dari mulai ayah, ibu, mertua, saudara, dan saudara iparnya, tak ada yang coba mengerti dirinya. Mereka seperti hanya mencari keuntungan dari dirinya. Ia merasa sudah tidak kuat lagi.

Pak Ustadz manggut-manggut. Ia mendengarkan cerita lelaki itu dengan takzim. Pak Ustadz lalu memberikan sedikit pencerahan kepada lelaki itu. Di akhir pembicaraan, Pak Ustadz berucap lembut.


"Bapak, kebahagiaan itu letaknya ada pada kebaikan. Jika Bapak ingin bahagia, berbuat baiklah. Karena kebahagiaan itu selalu melekat pada kebaikan."

Pak Ustadz lurus memandang lelaki itu. Lelaki itu hanya terdiam. Khusu'. * * *

Tuesday, July 14, 2009

UBAN OMPONG BONGKOK

Pak Ustadz memandangi lelaki di hadapannya. Ia seolah tak percaya. Ia seakan tak percaya bahwa lelaki yang berdiri di hadapannya adalah orang yang pernah akrab dengannya selama belasan tahun.

"Bener kamu Kang Sarbini?!" tanya Pak Ustadz tetap dengan pandangan tak percaya. Lelaki itu mengangguk lemah. Pak Ustadz menggeleng-gelengkan kepalanya.

Kang Sarbini adalah sahabatnya dulu, saat masih
mondok di pesantren. Tapi, Kang Sarbini bukan santri. Ia penduduk kampung yang biasa main di lingkungan pesantren. Umur Kang Sarbini sedikit lebih tua dibanding Pak Ustadz.

Namun, ya Allah! Kang Sarbini sudah berubah. Ia jauh dari Kang Sarbini yang dulu. Kang Sarbini sekarang terlihat renta. Rambutnya memutih di hampir seluruh kepala. Giginya ompong, tinggal sedikit yang tersisa. Tubuhnya membungkuk, bongkok.

"Kang, bagaimana mungkin rambutmu memutih? Apa yang terjadi?" tanya Pak Ustadz prihatin.

Kang Sarbini tersenyum. Wajahnya menatap lembut.

"Allah telah mengingatkan saya agar segera bersiap menemuinya. Saya sudah tua. Alhamdulilah... Dia sudah memberi tanda. Bukankah lebih enak bagi kita bila Allah sudah memberi sinyal daripada Dia datang tiba-tiba dengan mengirim malaikat-Nya?"

Pak Ustadz terkejut. Ia tak menyangka bila Kang Sarbini akan menjawab seperti itu. Namun, ia tak mempermasalahkannya.

"Lalu, kenapa gigimu habis seperti tak bersisa?" tanya Pak Ustadz lagi.

Kang Sarbini kembali tersenyum. Wajahnya tak berubah. Lembut.

"Inilah siklus kehidupan. Allah telah mencabut sedikit demi sedikit kenikmatan raga yang sebelumnya pernah aku rasakan. Ini juga pertanda! Pertanda bahwa saya sudah saatnya mencari kenikmatan jiwa yang lebih...."

Pak Ustadz mengangguk. Ia membenarkan jawaban Kang Sarbini. Namun, ia masih dibelit rasa penasaran.

"Tapi, kenapa tubuhmu berubah bongkok?"

Lagi-lagi Kang Sarbini tersenyum lembut.

"Tubuh ini sudah sedemikian rindu dengan tanah, makanya ia bongkok. Ia ingin berjumpa, bersama, dan menyatu dengannya. Adakah yang lebih rindu selain kerinduan tubuh untuk berjumpa dengan tanah, sang pemula itu...."

Pak Ustadz tak kuasa membendung keharuan. Ia memeluk sahabatnya itu erat. Ia seperti tidak ingin berpisah. * * *

Sunday, July 12, 2009

PEMIMPIN YANG MENONJOLKAN DIRI

Hiruk pikuk politik usai sudah. Rakyat telah menentukan pilihannya. Lima tahun ke depan rakyat hanya berharap menunggu. Benar berharap! Karena rakyat memang tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh para pemimpinnya kelak.

Pak Ustadz melihat-lihat suasana jalanan. Sore itu, sehabis sholat asar. Ia sengaja menyempatkan diri. Ada keharuan yang senyap di mata Pak Ustadz. Hampir lima bulan ia telah melihat segalanya. Di televisi, di koran-koran, di majalah.

"Ah, betapa sulit dan mahalnya ternyata mencari seorang pemimpin. Berduyun-duyun rakyat berjalan menuju lapangan. Di sana mereka bebas. Bertepuk tangan, berteriak marah, bahkan berjoget sekalipun. Tapi, apa yang sebenarnya rakyat dapatkan?"

Pak Ustadz melayangkan pandangannya ke sudut-sudut jalan. Ia tetap duduk pada sepeda motor tuanya. Mata Pak Ustadz terpaku pada baliho, poster, atau spanduk yang masih menempel pada tempatnya.

"Benar, ini memang sebuah pesta. Pesta rakyat! Karena pesta, semua orang berhak merayakannya. Dan hanya ada satu perasaan yang mesti mengemuka dalam sebuah pesta, yakni perasaan bahagia. Namun, kenapa pesta itu tidak mampu menjadikan rakyat bahagia selamanya?"

Pak Ustadz terus mengarahkan pandangannya. Kali ini matanya tertuju pada potret para calon pemimpin bangsa. Mereka memasang foto dirinya, juga mematut dirinya. Banyak macamnya. Ada yang pakai kopiah, jas, batik, atau pakaian tradisional. Ada yang tersenyum, diam berwibawa, atau nyengir.

Pak Ustadz tersenyum simpul.


"Mereka memang gagah. Yang perempuan-perempuan juga cantik. Ah, pasti mereka telah melakukan banyak hal yang membuat mereka mantap mencalonkan diri sebagai pemimpin bangsa. Mereka pasti tidak semata ingin berkuasa. Tapi, betulkah hati mereka meyakini sedalam-dalamnya bahwa mereka memang pantas untuk dipilih menjadi seorang pemimpin?"


Pak Ustadz tak mengendurkan senyumnya. Mulutnya bahkan kini tersenyum agak lebar. Ia memang ingin tertawa. Tertawa sekeras-kerasnya. Sekencang-kencangnya.

"Mereka pasti orang-orang yang rendah hati. Sebab hanya orang yang rendah hati sajalah yang mampu menjadi pemimpin. Orang yang suka menonjolkan diri hanya akan merengkuh kegagalan saat didaulat menjadi pemimpin. Namun, mengapa kerendahatian kini dilupakan? Kenapa yang muncul justru usaha untuk saling menonjolkan dirinya sendiri...."

Kini Pak Ustadz benar-benar tertawa. Ia tertawa terbahak-bahak. Mulutnya tak mungkin lagi dikunci. Saat foto para calon pemimpin bangsa itu seolah memandangi dirinya dengan tajam, Pak Ustadz menggelengkan kepalanya. Ia bahkan terus menggelengkan kepalanya.

"Ah, betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, tapi mereka tidak tahu caranya...."

Sepeda motor Pak Ustadz melaju, meninggalkan asap yang mengepul dan menutupi foto-foto para calon pemimpin bangsa itu. ***

Friday, July 10, 2009

KENAPA ISLAM?

Usai sholat Jum'at. Hari yang panas tidak menyurutkan langkah Pak Ustadz untuk meluncur ke pasar. Tak perlu heran karena jalan pulang menuju rumah memang melewati pasar. Pak Ustadz suka sekali dengan pasar.

Di pasar Pak Ustadz menyapa ramah siapa saja. Dengan senyum sedikit, tentu. Bukankah senyum adalah bagian dari ibadah? Tapi, bukan itu sebenarnya tujuan utama Pak Ustadz. Di pasar Pak Ustadz dapat belajar apa saja kepada orang-orang yang ditemuinya.

"Ibu, kenapa ibu memeluk agama Islam?" tanya Pak Ustadz kepada seorang ibu yang lagi asyik memilih pakaian anak. Ibu muda berkerudung biru itu tersenyum. Malu. Ia bingung hendak menjawab apa.

"Ah, Pak Ustadz pertanyaannya ada-ada saja. Bingung ibu ini menjawabnya," timpal si ibu penjual baju yang sepertinya sudah kenal akrab dengan Pak Ustadz.

Pak Ustadz mengalihkan pertanyaannya kepada seorang penjual pisang ambon yang nongkrong di depan kios ibu penjual baju tadi.

"Pak, kenapa bapak beragama Islam?"

Sama seperti ibu yang sedang memilih baju, bapak penjual pisang itu juga kebingungan. Ia hanya memegang kopiah hitamnya yang sudah terlihat lusuh. Katanya,

"Wah bingung, Pak. Saya bingung mau jawab apa.
Wong sudah sejak dulu keluarga saya Islam. Kakek Islam, bapak Islam, ya saya juga Islam. Turun temurun Pak Ustadz, jadi saya tinggal ikut."

Pak Ustadz manggut-manggut. Ia berusaha mengerti. Penjual pisang itu ditepuk-tepuknya dengan akrab. Bahkan tanpa canggung Pak Ustadz memeluknya dengan akrab.

Pak Ustadz melangkah lebih jauh. Ia lalu menghampiri seorang pemuda berambut gondrong yang menggunakan kaos hitam bertuliskan "Jihad". Pak Ustadz tersenyum senang. Ada semangat Islam pada dada anak itu.

"Dik, apa alasan Anda memeluk agama Islam?" tanya Pak Ustadz seramah mungkin.

Pemuda itu tersenyum. Ia memandang Pak Ustadz dengan pandangan menyelidik.

"Bapak lebih tahu daripada saya tentang Islam. Kalaupun Bapak bertanya, saya tidak akan mampu menjawab pertanyaan Bapak dengan memuaskan."

"Tentang kaos itu...."

"Oh, saya tidak peduli dengan tulisannya, Pak. Saya suka kaos ini karena saya tertarik dengan desainnya. Unik dan artistik. Bapak suka?"

Hari ini Pak Ustadz disadarkan. Dakwah memang tidak boleh berhenti, terus berlanjut. Pak Ustadz tersenyum sendiri. Langkahnya di jalan dakwah semakin pasti. Allahu Akbar, desisnya. * * *

Thursday, July 09, 2009

Mazhab Cinta

Pak Ustadz sedang memberikan materi kajian tentang rukun ibadah. Kata Pak Ustadz, rukun ibadah itu ada tiga, yakni takut (al khouf), berharap (roja'), dan cinta (mahabbah). Namun, di sela-sela memberikan materi kajian itu, Pak Ustadz beberapa kali diganggu oleh ucapan seorang pemuda yang hadir.

Pak Ustadz mulai jengah. Pertanyaan yang dilakukan seorang pemuda berpakaian lusuh dalam majelis taklim yang dipimpinnya benar-benar telah menyita seluruh perhatiannya. Mulanya Pak Ustadz berusaha sabar. Tapi, setelah berkali-kali pemuda itu memotong percakapannya, Pak Ustadz menjadi jengkel.

"Sebenarnya apa yang saudara inginkan dari saya?" kata Pak Ustadz sedikit keras.

Pak Ustadz tidak tahu siapa pemuda itu. Dari beberapa jamaah yang dikenalnya tidak ada yang seperti dia. Penampilannya ganjil. Ia berambut gondrong ketika yang lain berambut pendek. Ia memakai topi saat jamaah lain memakai kopiah. Ia berkaos ketika yang lain bergamis. Ia bercelana
jeans saat yang lain bersarung.

"Saya ingin menolak secara keras pernyataan Ustadz. Menurut saya hanya
mahabbah atau cinta yang patut kita jadikan sebagai rukun ibadah. Dengan cinta semua akan selesai. Bahkan cintalah yang akan membuat perang menjadi damai, bercerai menjadi satu. Cinta dan cinta. Tidak ada yang lain," kata pemuda itu.

Pak Ustadz berusaha mendengarkan ucapan pemuda itu. Ia terus berusaha memendam kemarahan hatinya. Hati boleh panas, tapi kepala harus dingin. Maka Pak Ustadz membiarkan pemuda itu berbicara panjang lebar.

"Cinta adalah perekat utama keabadian. Tidak sempurna iman seseorang bila ia beribadah kepada Allah tanpa dilandasi cinta. Kalau kita sudah cinta kepada Allah, maka itulah hakikat ibadah yang sesungguhnya."

"Kalau demikian apakah orang yang beribadah kepada Allah karena takut akan azab Allah, ia keliru?" sergah Pak Ustadz.

"Bukan keliru Pak Ustadz, tapi salah. Salah besar!" tegas pemuda itu. "Ia berarti tidak mengenal hakikat ibadah yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin ia menjadi hamba Allah, tapi ia justru takut kepada Allah. Allah bukan untuk ditakuti. Allah untuk dicintai."

Pak Ustadz mencoba memahami ucapan pemuda itu. Namun, kembali lagi Pak Ustadz menyela ucapan pemuda itu sebelum ia melanjutkannya.

"Apakah orang yang beribadah kepada Allah karena ia mengharap keridhoan Allah juga salah?"

"Itu juga salah, Pak Ustadz. Tidak boleh kita beribadah karena kita mengharap keridhoaan dan pahala Allah. Itu akan membuat ibadah kita tidak ikhlas. Hati mesti suci dalam beribadah."

Pak Ustadz manggut-manggut. Ia kini paham pikiran dan alur benak pemuda itu. Melihat pemuda itu Pak Ustadz jadi ingat kepada tokoh perempuan sufi, Rabiah al Adawiyah. Karena dari dialah sepertinya pemikiran pemuda itu bermula. Cinta, ya mazhab cinta!

"Kalau demikian apa yang Anda harapkan dari ibadah yang Anda lakukan?" tanya Pak Ustadz lagi.

Pemuda itu tergeragap. Ia tak menyangka Pak Ustadz akan bertanya seperti itu. Sesaat ia terdiam. Tak mau dirinya tersudut, pemuda itu menjawab dengan sedikit congkak.

"Oh, saya tidak mengharap apa-apa dari Allah. Saya cinta kepada Allah. Karena cinta, maka keinginan saya hanya satu, yaitu bertemu dengan pujaan saya itu. Tidak ada yang lain."

"Kalau demikian, saya pikir Anda keliru," cetus Pak Ustadz.

"Kok keliru?"

" Ya, keliru. Kalau Anda mencintai seorang wanita bukankah Anda menginginkan wanita itu memberikan apa yang Anda inginkan setelah Anda memberikan segalanya untuk dia?"

"Tapi, ini Allah, bukan wanita..."

"Apalagi Allah, zat yang Maha Kaya dan Maha Pemurah, tempat kita meminta dan memohon. Jelas tidak salah kalau kita berharap dari kemurahan Dia setelah kita ikhlas mencintai-Nya. Dan ingat, Allah memberikan kemurahan itu sebab Dia memang sudah berjanji kepada kita semua."

Pak Ustadz sudah tak terbendung. Ia berusaha terus menjelaskan kepada pemuda itu tentang rukun ibadah. Bahkan akhirnya ia juga berusaha menjelaskan hakikat cinta agar pemuda itu tak keliru dalam memahami cinta. * * *

Wednesday, July 08, 2009

ISTRI YANG DITINGGAL SUAMINYA

Hari Minggu. Pak Ustadz, istri, dan keempat anaknya berniat jalan-jalan. Mereka hendak memanfaatkan waktu liburan akhir pekan. Pak Ustadz ingin ke pantai. Istri Pak Ustadz ingin ke gunung. Anak-anaknya tak berubah dari keinginannya; pergi ke pusat perbelanjaan.

Seorang perempuan berkerudung hitam tiba-tiba sudah berdiri di pintu rumah. Pak Ustadz dan istrinya terkejut. Lebih-lebih anaknya. Mereka kaget karena perempuan itu datang seperti tanpa jejak dan suara.

Perempuan itu datang tidak sendirian. Ia datang bersama dua anak balita. Seorang dituntunnya, seorang lagi masih dalam gendongannya. Mereka bukan peminta-minta. Tapi, dari gurat wajahnya, Pak Ustadz tahu bahwa perempuan itu sedang memendam kesedihan.

"Maaf Pak Ustadz, saya menganggu keluarga Bapak...."

Perempuan itu memulai ucapannya dengan getir. Matanya menyipit, seperti telah lama menahan butiran airmata yang jatuh satu-satu. Beberapa kali ia memandang ke atas, lalu turun lagi ke bawah. Bibirnya tak lagi membuka.

"Ada apa ibu? Apa yang bisa saya bantu?" tanya Pak Ustadz ramah.

Perempuan itu menahan suaranya. Bujuk rayu Pak Ustadz agar perempuan itu segera menceritakan keluh resahnya seolah tak mempan. Perempuan itu asyik dengan kesedihannya. Namun, tak lama. Setelah istri Pak Ustadz campur tangan, perempuan berkerudung itu akhirnya membuka suara.

Perempuan itu mengenalkan dirinya sebagai Surti, ibu tiga anak yang baru saja ditinggal mati suaminya. Ia kini tidak punya siapa-siapa. Ia kini tidak memiliki apa-apa. Perempuan empatpuluhan itu harus menanggung beban hidup ketiga anaknya.

Surti hidup tanpa harapan. Ia takut dan bingung. Ia takut menghadapi masa depan yang tidak pasti. Ia bingung bagaimana mengasuh dan mendidik ketiga anaknya. Ia tak tahu mesti berbuat apa. Masa depan dan hidupnya gelap. Kelam.

Pak Ustadz dan istrinya mendengarkan kisah Surti hingga selesai. Mereka tak mampu menahan keharuan. Tapi, hidup memang terus berjalan. Sikap optimis harus dikedepankan. Maka Pak Ustadz dan istrinya berjanji kepada Surti akan membantunya.

"Insya Allah saya akan membantu sebisa mungkin, " janji Pak Ustadz.

"Ibu bisa ke rumah saya setiap hari. Saya dan ibu-ibu di sekitar sini biasa belajar keterampilan untuk mengisi waktu. Belajar memasak, belajar menjahit, dan keterampilan lain. Banyak ibu-ibu yang berhasil mandiri setelah belajar di sini," terang istri Pak Ustadz.

Bibir Surti membelah. Ada sedikit harapan menyeruak dari sana. Tak berapa lama Surti berpamitan. Persis di depan pintu, istri Pak Ustadz berucap tegas.

"Ibu, anak-anak yang sukses biasanya muncul dari seorang istri yang ditinggal suaminya, bukan muncul dari suami yang ditinggal mati istrinya."

Surti tersenyum puas. Pak Ustadz terperanjat. Tapi, hatinya mengamini perkataan istrinya. * * *

Tuesday, July 07, 2009

JATUH, MAKA BANGKIT

Anak-anak TK Assalam itu berlarian ke sana kemari. Bebas. Lepas. Mereka tengah berusaha membebaskan dan melepaskan dirinya masing-masing. Tertawa dan bersorak, menangis dan gembira. Laki-laki dan perempuan.

Tanah yang lapang itu serasa sempit, tak mampu menampung gejolak anak-anak Assalam. Suara lembut nan teduh dari para guru gagal membedungnya. Saran dan nasihat nan mencerahkan dari para orang tua tidak mereka pedulikan. Mereka demikian asyik hingga seperti terlupa.

"Anak-anak memang mata dunia...."

Pak Ustadz dan istrinya memandang dari jauh. Mereka menyaksikan Nadia, putri bungsunya larut dalam kegembiraan. Bersama teman-temannnya, Nadia tengah merayakan piknik liburan akhir sekolah.

Nadia tubuhnya kecil, tidak seperti teman-teman yang lain. Meski sudah merangkak naik ke kelas yang lebih tinggi, tubuh Nadia tak berubah. Ia tetap kecil. Tubuh Nadia tidak seperti tubuh teman-temannya yang naik berat dan tingginya seiring dengan kenaikan kelas di sekolahnya.

Walau kecil, Pak Ustadz selalu bangga dengan Nadia. Nadia tipikal anak yang tidak mau kalah dengan teman-temannya. Bahkan dengan teman yang lebih besar dan lebih tinggi. Nadia juga model anak yang pantang menyerah. Ia tidak mudah patah sebelum berjuang.

Bruk!!!

Pak Ustadz terkejut. Istri Pak Ustadz menjerit. Nadia yang sedang berlomba lari dengan teman-temannya terjatuh. Tubuhnya terjerembab. Nadia meringis. Ia seperti memendam rasa sakit. Juga malu.

Sontak istri Pak Ustadz berdiri. Ia berniat menuju Nadia untuk menolongnya. Di saat kakinya melangkah, tangan Pak Ustadz mencengkeram pergelangan tangan istrinya.

"Biarkan!" perintah Pak Ustadz.

Istri Pak Ustadz berusaha melepaskan diri. Ia tak tega membiarkan Nadia kesakitan. Tapi, Pak Ustadz malah bertambah keras mencengkeram. Istri Pak Ustadz tak berkutik. Ia terbenam dalam tempat berdirinya.

"Lihat! Lihat saja!"

Nadia perlahan bangkit. Ya, bangkit berdiri. Tak berapa lama ia telah berlari kembali. Ia berusaha menyusul teman-temannya yang sudah jauh di depan. Nadia tak putus asa. Ia terus mengejar dan mengejar. Terus mengejar!

"Kau tahu, kenapa Nadia terjatuh?" tanya Pak Ustadz kepada istrinya.

"Mungkin ada benda yang menghalanginya. Atau mungkin karena dia kurang hati-hati," jawab istri Pak Ustadz.

Pak Ustadz menggeleng.

"Bukan. Bukan itu, " terang Pak Ustadz. "Nadia terjatuh karena dia hendak bangkit. Kemudian berdiri. Lalu berlari mengejar...."

Istri Pak Ustadz memandang suaminya. Ia tak mengerti maksud jawaban suaminya itu. Pak Ustadz membalas pandangan istrinya dengan senyum. Tanpa kata. Hanya senyum. * * *

PUASALAH DENGAN HATI!

Agus penasaran dengan kegemaran Pak Ustadz puasa Senin-Kamis. Apa sebenarnya yang dicari? Ibadah lengkap. Akhlak unggul. Ilmu tak tertandingi. Kalau segalanya telah paripurna, mestinya ia tak perlu berbuat "macem-macem".

Maka sepulang dari tempat kerjanya Agus langsung meluncur ke rumah Pak Ustadz. Waktu sudah menjelang maghrib. Alhamdulillah, bisik Agus dalam hati. Ia melihat Pak Ustadz tengah membaca buku di teras rumah.

Tetapi, dari jauh Pak Ustadz sudah menjulurkan senyum. Secara tak sengaja matanya telah melihat bayangan Agus yang sedang berjalan ke rumahnya.

"Baru pulang?" tanya Pak Ustadz ramah setelah menjawab salam Agus.

"Iya, pak. Mumpung lewat, sekalian mampir," sahut Agus.

Pak Ustadz sepertinya sudah siap pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat berjamaah. Itu terlihat dari pakaiannya yang rapi. Sarung, baju gamis, dan kopiah menjadi asesoris yang melekat di tubuhnya.

"Nunggu maghrib, Pak Ustadz?"

Pak Ustadz tersenyum. Mulutnya tidak bersuara. Tapi, dari senyumnya Agus tahu Pak Ustadz sedang menunggu bedug maghrib. Ah, sebuah kenikmatan yang tiada tara. Menunggu bedug magrib untuk segera berbuka puasa setelah seharian bergelut dengan lapar dan dahaga.

"Pak Ustadz, saya kok kalau puasa Senin-Kamis nggak pernah kuat ya?" tanya Agus. Mirip sebuah keluhan.

Pak Ustadz tidak segera menanggapi. Buku yang sedang dibaca ia letakkan di atas paha. Matanya menatap Agus.

"Memang kamu pingin puasa Senin-Kamis juga?"

"Ya kepingin. Tapi, bagaimana lagi wong nggak pernah kuat."

Pak Ustadz tersenyum. Agus merasa senyuman Pak Ustadz lebih mirip sebuah cibiran. Tapi, ia tidak peduli.

"Benar Pak Ustadz, saya tidak bohong. Kalau puasa Ramadhan, saya kuat, tapi kalau puasa Senin-Kamis saya nggak pernah kuat. Batal terus."

Agus terkekeh.Namun, Pak Ustadz jauh dari terkekeh. Matanya tetap terarah ke mata Agus. Katanya kemudian.

"Kamu nggak kuat puasa Senin-Kamis karena kamu belum menyertakan hatimu dalam berpuasa. Kalau kamu sudah menyertakan hatimu, kamu pasti kuat." kata Pak Ustadz.

"Ah, Pak Ustadz ada-ada saja. Mana bisa hati berpuasa...."

"Bisa!Bukankah hatimu yang memutuskan berniat puasa. Kalau hatimu yang memutuskan niat, hatimu pula yang akan melindungi puasamu. Karena itu, puasalah dengan hati! Jangan dengan yang lain...."

"Kalau saya tidak kuat puasa berarti hati saya sebenarnya tidak kuat. Lalu ia kirim rasa tidak kuat itu ke otak dan dari otak lalu ke perut. Dari perut lalu ke kaki dan tangan untuk menuju warung makan hingga makanannya sampai di mulut."

"Nah, itu kamu tahu...."

Agus tersenyum gembira mendengar pujian Pak Ustadz. Tapi, Agus akan lebih gembira lagi bila mulai besok ia sudah mampu puasa Senin-Kamis. Puasa dengan hati!* * *

"I LIKE MONDAY"

Hari Senin. Matahari merekah cerah. Pak Ustadz asyik mengelap motor kesayangannya. Sepeda motor bebek tahun 80-an. Di tangan Pak Ustadz sepeda motor lawas itu masih terlihat kinclong. Jangan heran! Karena Pak Ustadz tak pernah lelah mencintainya.

"Sibuk Pak Ustadz?"

Sebuah suara ramah menyentuh gendang telinga Pak Ustadz. Sesaat Pak Ustadz terkejut. Namun, bibir Pak Ustadz mengembang tipis melihat siapa yang menyapanya. Agus! Preman kampung yang mulai sadar.

"Eh, kamu Gus. Ya beginilah...."

Agus tampak rapi. Kemeja berwarna oranye menyelimuti bajunya. Baju seragam. Ya, sejak satu bulan yang lalu Agus memang telah diangkat sebagai juru parkir di pasar. Sebuah anugerah yang sangat disyukuri Agus.

Semuanya berkat jasa Pak Ustadz. Demikian Agus berkali-kali mengungkapkannya bila ada orang yang bertanya,
kok bisa jadi tukang parkir di pasar. Karena Pak Ustadz telah menawari dirinya bekerja setelah Pak Ustadz melobi kepala pasar.

"Mau berangkat?" tanya Pak Ustadz.

"Ya, pak."

"Baik-baiklah bekerja."

"Terima kasih."

Pak Ustadz menepuk-nepuk pundak Agus. Agus sedikit bergetar. Perhatian dan kasih sayang yang diberikan Pak Ustadz tak pernah berubah. Tetap seperti dulu. Entah bagaimana nasib diriku kalau Pak Ustadz tidak menolongku, batin Agus.

"Ini hari Senin, jangan lupa. Semangat ya...."

"Insya Allah, Pak Ustadz."

"I Like Monday...."

Pak Ustadz tersenyum. Agus juga tersenyum.

"Kenapa memang Pak Ustadz?"

"Karena aku bisa puasa Senin-Kamis."

Agus kembali bergetar. Ah, Pak Ustadz. Tak henti-hentinya Bapak memberikan arti dalam kehidupan ini. Agus melangkah pergi.* * *

Friday, July 03, 2009

JIHAD HUJAN (II)

Irfan benar-benar tak mampu menyembunyikan perasaannya. Peristiwa mengantarkan Pak Ustadz berdakwah di kampung Karangsari membuatnya agak bergidik. Bukan ngeri, tapi takjub. Seumur-umur ia baru pertama kali mengalami kejadian seperti itu.

"Jadi, kamu tidak kehujanan sampai di sana?" tanya Marwan.

"Heeh! Aku juga bingung!" jawab Irfan masih juga dengan kebingungannya.

Sore itu, teras di rumah Irfan sumpek. Penuh ketidakpercayaan. Irfan harus menjelaskan kepada semua yang hadir. Teman-temannya. Ada Marwan yang hobi sekali adzan. Jafar yang bercita-cita mati di medan jihad. Juga Akmal si penggiat ilmu. Mereka tumplek demi mendengarkan cerita menakjubkan dari Irfan.

"Reaksi Pak Ustadz bagaimana saat itu?" selidik Marwan.

"Yah, biasa saja...." terang Irfan.

"Maksud kamu?"

"Ya biasa. Pak Ustadz tidak kaget dengan peristiwa itu. Sepertinya ia sudah biasa mengalami hal itu. Pak Ustadz juga hanya tersenyum saat beberapa orang kebingungan menyaksikan kejadian itu."

Marwan mengangguk-angguk. Ia mulai sedikit mengerti. Tapi, tidak dengan Jafar. Ia masih penasaran dengan Pak Ustadz.

"Apa sebelumnya Pak Ustadz baca doa-doa sebelum ia menembus hujan lebat itu?"

"Tidak. Ia hanya berucap singkat. Bismillah."

"Jangan-jangan Pak Ustadz memelihara jin. Sebab bagaimana mungkin hujan deras itu tidak mampu membasahi tubuhnya. Ajaib sekalikan?"

Semua mata memandang ke arah Jafar. Mereka tidak menyangka Jafar berkata seperti itu. Soalnya, selama ini Pak Ustadz justru sangat melarang para jamaah pengajiannya untuk "bergaul" atau mencoba bergaul dengan makhluk halus. Jadi tidak mungkin Pak Ustadz memelihara jin.

"Oh, maaf. Maaf, "cetus Jafar menyadari kekeliruannya. "Soalnya aku juga bingung
kok Pak Ustadz bisa seperti itu. Kayak orang sakti saja."

"Menurutku itu karomah."

Kali ini semua pandangan tertuju kepada ucapan Akmal. Karomah?

"Bagaimana kamu tahu itu karomah?"

Irfan, Marwan, dan Jafar menunggu jawaban Akmal. Giliran Akmal sekarang memandang lurus ke arah Irfan. Irfan jadi bingung.

"Saat kamu dan Pak Ustadz pulang dari pengajian masih hujan?" tanya Akmal.

"Masih. Tapi hanya gerimis..." jawab Irfan.

"Apa kamu dan Pak Ustadz basah terkena air?"

Irfan mengingat-ingat kejadian itu. Ia ingat benar baju dan celananya agak basah karena air gerimis terus menerpa badannya. Pak Ustadz juga demikian.

"Iya. Aku basah. Juga Pak Ustadz."

Yup! Akmal menjentikkan jarinya. Bibirnya tersenyum. Tapi, senyuman Akmal malah membuat teman-temannya bertambah bingung.

"Kok senyum-senyum?" protes Jafar.

"Lho kalian bagaimana?! Bukankah Pak Ustadz sendiri yang pernah menerangkan bahwa karomah bisa diterima siapa saja asal ia terus berusaha mendekat kepada Allah. Tapi, Pak Ustadz pula yang menjelaskan kalau karomah hanya bisa diterima satu kali pada satu kejadian. Kalau berkali-kali itu pasti perbuatan jin...."

Semua mendengar penjelasan Akmal dengan penuh perhatian. Mereka baru ingat, iya Pak Ustadz memang pernah menerangkan hal itu. * * *