Tuesday, January 25, 2011

ANAK-ANAK MUDA JOMPO

Pagi subuh. Pak Ustadz bergegas hendak pergi ke masjid. Entah masjid apa. Pak Ustadz tidak tahu. Ia hanya mendengar panggilan sholat itu terus bergema di atas langit menjelang fajar. Pada sebuah daerah yang Pak Ustadz sendiri tidak terlalu memahaminya. Akibat mobilnya mogok di tengah perjalanan, Pak Ustadz terpaksa terlambat pulang.

Pak Ustadz masuk ke sebuah masjid yang agak jauh dari sebuah gang. Mobilnya diparkir di pinggir jalan dan ia berjalan kaki. Setelah berwudhu, Pak Ustadz melaksanakan sholat sunnah dua rakaat. Beberapa orang masuk ke dalam masjid. Hanya beberapa, ya beberapa. Mungkin sekitar lima atau enam orang. Tak lebih.

Di masjid itu Pak Ustadz melemparkan pandangannya. Hatinya sedikit tergetar. Pak Ustadz hanya bertemu orang-orang yang sudah tua. Rata-rata mereka sudah berumur enampuluh tahun ke atas. Bahkan Pak Ustadz masih sempat melihat ada seorang lelaki yang seolah terhuyung-huyung saat masuk ke masjid. Renta. Ah, pasti lebih dari tujupuluh tahun.

Ke mana anak-anak muda di kampung ini? Adakah kampung ini masih memiliki anak-anak muda yang kekar, berotot, dan punya vitalitas tinggi? batin Pak Ustadz bertanya. Tapi, hingga iqamah dan sholat jamaah berlangsung, Pak Ustadz tak menemukan anak-anak muda di situ. Anak-anak muda di situ seolah ditelan kelam malam.

Seusai sholat, iseng-iseng Pak Ustadz bertanya kepada orang tua yang menjadi imam. Saat berjalan menuju pulang.

"Maaf, Pak. Aneh, kenapa ya sholat subuh di masjid ini hanya terisi oleh orang tua saja? Ke mana anak-anak muda di kampung ini?"

Orang tua yang tadi menjadi imam itu tersenyum kepada Pak Ustadz. Mulutnya sama sekali tidak mengeluarkan suara. Pak Ustadz menjadi sedikit penasaran.

"Kenapa ya, Pak?" ulang Pak Ustadz. Sedikit menegaskan.

Kini, senyum di bibir orang tua itu lenyap. Wajahnya seperti mendung. Gelap. Lalu dari mulutnya keluar kata-kata keras.

"Anak-anak muda di sini tak ubahnya keledai di siang hari. Lambat, malas, dekat dengan kebingungan. Tapi, di malam hari mereka layaknya bangkai. Tidur tak bergerak, enggan untuk bangun, dan susah untuk bangkit."

Pak Ustadz terkejut. Ia tak menyangka orang tua itu bisa berkata begitu keras, tajam, seolah tanpa tedeng aling-aling. Hatinya menjadi semakin penasaran.

"Kok bisa?"

"Bisa saja. Sebab anak-anak muda di sini adalah anak-anak muda yang sudah menjadi jompo."

Pak Ustadz kembali terkejut. Hatinya sedikit terluka. Anak muda jompo? Ah, pasti begitu banyak di negeri ini anak-anak muda yang tidak mau kalah dengan para orang tua. Menjadi jompo! * * *

Wednesday, January 19, 2011

CERITA ANAK TENTANG KEMESRAAN ORANG TUA

Nadia, si bungsu Pak Ustadz sedang bermain di teras depan rumahnya. Ia bermain bersama Husna, Alysa, dan Ajma. Mereka bermain congklak. Nadia berhadapan dengan Husna, Alysa menghadapi Ajma. Semua anak tampak menikmati permainan itu.

Dari ruang depan Pak Ustadz melihat keempat anak itu. Ah, anak-anak yang manis. Moga kalian menjadi anak-anak yang salehah nantinya, batin Pak Ustadz. Congklak, ah permainan yang baik. Ada sedekah di situ. Ada kejujuran di situ.

"Husna, bapak ibu kamu kalau sayang-sayangan di rumah seperti apa?"

Pak Ustadz terbelalak. Tiba-tiba mulut Ajma berucap seolah tak teratur. Anak usia TK, lima tahun, mengapa mereka berbicara seperti itu? Pak Ustadz hendak keluar dan menegur Ajma. Tapi, hatinya tiba-tiba berbisik, jangan! Jangan! Biarkan mereka berbicara!

Pak Ustadz seperti dicegah dasar hatinya. Ia justru kini menunggu ucapan Husna. Ia penasaran dengan kelanjutan pembicaraan anak-anak itu. Seperti tanpa bersalah Husna berucap ringan.

"Ya, gitulah. Ayah dan ibu paling salaman doang. Nggak ngapain-ngapain."

"Sama seperti bapak dan ibuku dong, " cetus Ajma menyela. "Mereka kalau sayang-sayangan juga salaman aja. Itupun jarang. Pernah aku melihat bapak mencium pipi ibu. Eh, bapak sama ibu malu banget."

"Kalau bapak-ibu kamu, gimana Alysa? Apa mereka seperti aku dan Husna?"

Alysa terdiam. Tapi, wajahnya seperti menunjukkan rasa tak enak untuk bicara.

"Nggak pernah. Ayah dan bundaku nggak pernah sayang-sayangan. Kalau di rumah ya biasa saja. Bicara, bercanda."

Hening sejenak.

"Kalau ayah dan ibu kamu gimana, Nadia?"

Pak Ustadz gemetar. Ia seperti sedang menunggu vonis hakim. Dadanya seolah tak enak. Ia agak takut jika rahasia diri dan istrinya keluar dari anak bungsunya. Tapi, hatinya meyakinkan. Tidak! Tidak mungkin!

Nadia tersenyum manis. Dari mulut kecilnya terlontar kata-kata sejuk.

"Abi dan Umi kalau sayang-sayangan suka berpelukan. Awalnya mereka bersalaman. Lalu, Abi memeluk dan mencium kening Umi."

"Memeluk? Ayah dan ibumu berpelukan?"

"Iya, malah sering. Kayaknya setiap hari Abi dan Umi berpelukan."

Husna, Alysa, dan Ajma melongo. Mereka seperti bingung. Berpelukan setiap hari? Ah, aneh. Mungkin begitu pikir anak-anak itu.

Pak Ustadz memaklumi ketidapahaman teman-teman Nadia. Mereka belum paham bahwa setiap pelukan sayang dari seorang suami kepada istrinya atau sebaliknya akan mampu menambah angka harapan hidup pasangannya setiap hari.

Tak percaya? Buktikan saja! * * *

Monday, January 10, 2011

MISTERI BAU TUBUH KYAI KASAN

Namanya singkat, Hasan, tapi banyak orang memanggilnya Kasan. Dia bukan kyai yang punya pesantren, namun orang menyapanya dengan sebutan kyai, panggilan khas orang berpengaruh di pesantren. Konon, panggilan kyai itu diperoleh Kasan karena sikapnya yang mirip ulama; taat beribadah, saleh, santun, lembut, jauh dari marah. Maka lengkaplah panggilan namanya sebagai Kyai Kasan.

Usia Kyai Kasan sekitar enampuluh tahun. Sudah cukup untuk pensiun dari pekerjaannya. Namun, kata pensiun sepertinya tidak dikenal oleh Kyai Kasan. Pada ujung usianya menuju batas, ia masih tetap setia dengan pekerjaannya, yakni
ngider alias keliling.

Ngider? Ya, Kyai Kasan adalah penjual pisang keliling dari kampung ke kampung. Dengan gerobak yang dimilikinya, beberapa tandan pisang yang dijual Kyai Kasan tak pernah tidak laku. Selalu habis. Bahkan kalau Kyai Kasan belum kelihatan ngider, puluhan ibu-ibu sudah antre menunggu di depan rumah masing-masing.

Ada satu hal ganjil yang dimiliki Kyai Kasan yang tidak dimiliki orang lain. Bau tubuhnya. Ya, bau tubuh Kyai Kasan terlalu harum untuk ukuran orang seperti dirinya yang sederhana dan tidak terlalu mempedulikan persoalan tubuh. Bau tubuh Kyai Kasan juga unik. Bau itu kadang seperti melati, tapi lain waktu bisa seperti mawar.

Pak Ustadz secara serius pernah bertanya kepada Kyai Kasan mengenai bau tubuh dirinya yang harum. Tapi, Kyai Kasan malah menertawakan Pak Ustadz sambil menunjukkan bajunya yang berkeringat..

"Ah, Pak Ustadz ini ada-ada saja. Mana mungkin bau tubuh saya seperti melati atau mawar. Tiap hari saja badan saya basah kuyup seperti ini."

"Aku tidak bohong, Kyai, " kata Pak Ustadz tetap dengan keyakinannya. "Bau badanmu harum seperti bunga. Wangi. Aku jadi penasaran, apa parfum yang kamu pakai hingga badanmu bau seperti itu?"

"Saya tidak memakai apa-apa, Pak Ustadz."

"Ayo, jujurlah. Bau itu wangi sekali. Dan sepertinya awet. Tidak mudah luntur. Aku ingin punya bau yang seperti itu."

Kyai Kasan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia benar-benar tidak paham dengan ucapan Pak Ustadz. Namun, ketidakpahaman inilah yang sedang merasuki benaknya. Sebab, tak hanya Pak Ustadz, tetapi juga ibu atau bapak-bapak yang lain.

"Pak Ustadz, demi Tuhan, saya tidak tahu kenapa bau tubuh saya harum seperti yang Pak Ustadz dan orang lain bicarakan. Sebab, saya mandi dua kali sehari seperti orang lain mandi. Pakai sabun yang dibeli di pasar oleh istri saya. Malah saya tak tahu apa itu parfum."

Pak Ustadz manggut-manggut. Jawaban Kyai Kasan malah membuatnya penasaran. Ia ingin tahu apa yang terjadi di balik itu semua. Pak Ustadz yakin ada "tangan" tak terlihat yang menjadikan Kyai Kasan seperti itu.

"Apa Kyai Kasan punya amalan-amalan yang mungkin dulu diberi oleh seseorang hingga membuat tubuh Kyai berbau harum?"

Kyai Kasan mengingat-ingat segalanya. Namun, benaknya tak mampu menjawab.

"Tidak, Pak Ustadz. Saya tak kenal amalan-amalan. Saya sholat seperti orang lain sholat. Saya puasa seperti orang lain puasa. Saya juga coba berbuat kebaikan seperti orang lain berbuatnya. Tidak ada yang aneh pada diri saya."

"Benar nih?"

"Demi Allah."

Pak Ustadz mengangguk-angguk. Dia percaya dengan jawaban Kyai Kasan. Tapi, dia tetap penasaran dengan bau tubuh Kyai Kasan. Dari mana sebenarnya bau harum itu muncul? Apa yang menyebabkannya?

Bahkan ketika jasad Kyai Kasan sudah terbujur kaku, bau harum itu tetap merebak. Pak Ustadz baru sedikit mengerti tentang itu sesudah istri Kyai Kasan bercerita kepadanya.

"Itulah, Pak Ustadz. Dia sebenarnya sudah saya larang pergi ke rumah Haji Sahal karena dia sendiri juga lagi sakit. Tapi, dia ngotot. Tak bisa diomongin. Sebagai istri saya sudah menyerah kalau Dia sudah bicara silaturahim. Katanya, setiap orang boleh masuk surga melalui pintu manapun, tapi aku ingin masuk melalui jalan silaturahim. Karena ini yang aku mampu..."

Silaturahim? Ah, Pak Ustadz kini sedikit tahu jawabannya. * * *

Friday, January 07, 2011

SENYUM SI MAYIT

Kampung Pak Ustadz gempar. Puluhan orang meniupkan suara dari jalan ke jalan, gang ke gang, dan rumah ke rumah. Gara-garanya Mbah Kisrun. Kematiannya yang tidak diduga-duga dan tanpa didahului sakit telah meninggalkan bekas di benak semua orang.

"Jenazah, Mbah Kisrun tersenyum!"

Puluhan orang yang melihat dengan mata kepala sendiri wujud jenazah Mbah Kisrun berusaha menyimpulkan tanpa membesarkan-besarkan.

"Iya. Aku yang pertama kali mengangkat jenazah Mbah Kisrun saat pertama kali terlentang di kamar mandi. Nggak ada luka, tapi nafasnya sudah tak berdetak. Saat dipindah ke kamar tidur tiba-tiba bibir Mbak Kisrun sudah membuka seperti tersenyum."

Kardi yang paling dulu melihat peristiwa meninggalnya Mbah Kisrun memberi kesaksian. Amin tak mau kalah. Ia juga berusaha menambahkannya.

"Bener omongan Kardi. Bahkan ketika disholatkan, jenazah itu tetap tak berubah. Meninggalkan senyum yang bagi semua orang terasa misteri."

"Misteri? Misteri apa?" tanya Kosim yang sedari tadi diam.

"Lho, bagaimana nggak misteri, bukankah sakaratul maut dan kematian itu sesuatu yang menyakitkan?" bantah Amin dengan nada cukup keras. "Kata Pak Ustadz, sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang."

"Iya. Pak Ustadz bahkan pernah menerangkan bahwa kematian yang paling ringan-pun dapat diibaratkan sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang tersobek?"

Kosim terdiam, tak membantah. Tapi, tiba-tiba mulutnya bergetar.

"Lalu, kenapa jenazah Mbak Kisrun tersenyum?"

Kardi dan Amin kini yang ganti terdiam. Ia seperti tak mampu menjawab pertanyaan Kosim. Namun, benak dan hatinya menari-nari berusaha untuk menjawab pertanyaan itu dengan cara mengingat-ingat kembali sosok Mbah Kisrun.

"Ah, pasti karena Mbah Kisrun rajin sholat berjamaah di masjid dan hadir pengajian-pengajian."

"Mungkin juga karena Mbah Kisrun suka menolong dan menyantuni anak yatim dan orang terlantar."

"Atau mungkin karena Mbah Kisrun tak suka bermusuhan dengan siapapun juga."

Kardi dan Amin berusaha menerka-nerka. Namun, semua jawaban itu seolah tak memuaskan Kosim, bahkan juga bagi diri Kardi dan Amin. Senyum Mbah Kisrun di saat ajal menjemput tetap menjadi misteri sampai kemudian Kosim nyeletuk ringan.

"Jenazah Mbah Kisrun tersenyum, pasti karena saat menjalani hidup dan kehidupannya Mbah Kisrun memang tak pernah tidak tersenyum."

Kardi dan Amin kali ini tersenyum. Benar! Benar sekali! Mereka memang tak pernah melihat Mbah Kisrun marah, sedih, jengkel, iri, atau dengki. Ia seolah menjalani hidup dengan ikhlas, apa adanya. Apakah ini yang menyebabkan jenzah Mbah Kisrun tersenyum? * * *