Thursday, June 25, 2009

BOLEH IRI (II)

Pak Ustadz dan Zada meninggalkan rumah Bang Salim. Mereka tidak bertemu Bang Salim. Kata istrinya, Bang Salim sudah satu minggu tidak pulang. Entah ke mana, tidak ada yang tahu. Ia hanya pergi berdua bersama sopirnya. Pesan Bang Salim, tak usah ditunggu dan dicari karena ini urusan bisnis.

Sebagai seorang perempuan, istri Bang Salim tahu ia dibohongi. Namun, sebagai seorang istri ia tidak ingin ribut. Malu sama tetangga, malu sama anak-anak, malu sama keluarga besarnya. Istri Bang Salim hanya menginginkan keluarganya tetap utuh dan harmonis. Ia tidak ingin anak-anaknya menjadi korban dari keegoan dia dan suaminya.

Tetapi, istri Bang Salim menyadari bahwa dia hanya seorang istri biasa. Ia dapat marah dan sedih, kecewa dan menangis. Maka di hadapan Pak Ustadz dan Zada, istri Bang Salim menumpahkan segalanya. Kata istri Bang Salim, seorang perempuan yang lebih muda dari dirinya telah mengoyak-oyak keharmonisan keluarganya yang telah dibangun hampir 20 tahun.

"Bang Salim mungkin sedang lupa ya Pak Ustadz?" gumam Zada.

"Saya tidak tahu apa Bang Salim sedang lupa atau malah sengaja lupa..." timpal Pak Ustadz.

Pak Ustadz dan Zada terus berjalan meninggalkan kediaman Bang Salim yang agak mewah untuk ukuran desanya. Dalam benak mereka terbayang kegigihan seorang Bang Salim dalam berusaha. Tanpa kenal lelah setiap pagi sebelum bedug subuh berbunyi rumah Bang Salim sudah penuh dengan aktivitas.

Para penjual ayam potong di pasar berebut di rumah Bang Salim demi mendapatkan ayam potong yang hendak dijualnya ke pasar. Padahal, pada awalnya, Bang Salim mesti meyakinkan para penjual ayam potong di pasar agar mau mengambil ayam potong darinya. Kini mereka malah berbodong-bondong ke rumahnya tanpa Bang Salim perlu meyakinkannya lagi.

Bang Salim sudah sukses. Tapi, kesuksesan itu telah membuatnya lupa. Ia lupa masjid yang dulu sering dikunjunginya untuk sekadar sholat berjamaah. Ia lupa untuk kembali duduk dalam majelis taklim yang kerap mendatangkan kedamaian dalam hatinya. Ia lupa terhadap anak dan istrinya yang kerap menjadi tumpah kasih dan sayang demi hilangnya rasa lelah.

"Ah, saya jadi tak ingin seperti Bang Salim, Pak Ustadz. Takut lupa..." kata Zada getir.

Pak Ustadz tersenyum. Katanya kemudian.

"Kau boleh merengkuh dunia. Kau boleh mengambil segala isinya agar kau bisa disebut kaya, bahkan kaya raya. Tapi, setelah kau rengkuh, jangan kau letakkan dunia itu dalam hatimu. Sekali kau taruh dunia di hatimu, maka dua penyakit akan langsung mendatangimu. Tanpa bisa dicegah."

"Dua penyakit?"

"Ya. Cinta dunia dan takut mati!"

Zada merinding mendengar perkataan Pak Ustadz. Ia kini sadar apa yang sebenarnya ia inginkan dalam hidup.* * *

Tuesday, June 23, 2009

BOLEH IRI (I)

Pak Ustadz hendak pergi ke rumah Bang Salim. Lama sekali ia tidak berjumpa dengannya. Mungkin sudah lebih dari satu bulan. Sejak terdengar kabar bahwa bisnis jual beli ayam potongnya sukses besar, Bang Salim tak pernah lagi tampak di masjid.

Pak Ustadz tidak pergi sendirian. Ia mengajak Zada, anak muda yang selalu rindu kepada masjid. Dengan Zada di sampingnya Pak Ustadz merasa memiliki teman bicara di sepanjang jalan yang dilaluinya.

"Kira-kira Bang Salim seperti apa ya sekarang?" tanya Pak Ustadz membuka pembicaraan.

"Banyak orang bilang sekarang Bang Salim sudah makmur, Pak Ustadz. Usahanya sukses. Karyawannya bertambah terus," jawab Zada.

"Baguslah kalau begitu. Saya senang kalau salah satu jamaah kita berhasil. Sebab itu membuat nama jamaah masjid kita terangkat."

Pak Ustadz tersenyum. Zada manggut-manggut.

"Kau ingin seperti Bang Salim?" tanya Pak Ustadz tiba-tiba.

Zada tergeragap. Ia bingung bagaimana menjawabnya. Katanya kemudian.

"Ah, saya tidak tahu, Pak Ustadz. Tapi, siapa
sih yang tidak ingin berhasil. Semua juga ingin sukses."

"Kau iri dengan kesuksesan Bang Salim?" tanya Pak Ustadz lagi.

Kembali Zada tergeragap. Kali ini ia benar-benar tak mampu menjawabnya. Ia ingin seperti Bang Salim, tapi ia tidak tahu apakah ia dilingkupi rasa iri atau tidak. Pokoknya, kalau bisa ia ingin seperti Bang Salim. Titik!

"Kau tidak boleh iri terhadap Bang Salim. Kau hanya boleh iri terhadap dua orang...."

"Dua orang?"

"Ya. Kau hanya boleh iri terhadap orang kaya yang menginfakkan hartanya di jalan Allah. Kau juga boleh iri terhadap orang berilmu yang tidak pernah putus menyebarkan ilmunya ke tengah masyarakat. Selain kepada dua orang itu, kau tidak boleh iri."

Zada mengangguk-angguk mendengar perkataan Pak Ustadz. Tapi, di manakah dua orang yang boleh ia irikan itu? Zada ingin sekali bertemu. * * *

Monday, June 22, 2009

ISLAM YANG SEDERHANA

Sore ini Pak Ustadz kedatangan tamu. Simon namanya. Usia Simon masih muda. Sekitar tiga puluhan. Meski sudah menginjak usia tigapuluh, Simon belum lagi menikah. Ia masih suka melajang.

Alasan Simon melajang membuat Pak Ustadz tertawa. Katanya, ia belum mau menikah karena ia masih mengejar ilmu keagamaan. Lucunya, demikian kata Simon selanjutnya, semakin ia belajar agama, semakin bingung ia.

"Memang Bang Simon belajar agama ke mana kok malah bingung?" tanya Pak Ustadz.

"Oh, semua acara agama pasti saya datangi Pak Ustadz, " jawab Simon tegas.

Simon lalu menceritakan kegiatannya. Setiap hari tidak ada acara keagamaan yang tidak ia ikuti. Dari mulai majelis zikir, majelis taklim, liqo, halaqah; semua ia ikuti. Dari mulai aliran Islam yang "lembut" hingga yang paling "keras" sekalipun, ia datangi.

Tetapi, semakin ia bersemangat, semakin ia tidak paham, mana yang benar dan mana yang keliru. Mana ajaran yang harus diikuti dan mana yang mesti diabaikan.

"Saya jadi jengkel Pak Ustadz. Semangat saya mengaji jadi turun..."

Pak Ustadz tersenyum.

"Kok Pak Ustadz malah tersenyum," protes Simon.

Pak Ustadz kali ini tertawa. Simon menjadi semakin tidak enak hati. Tapi, Pak Ustadz langsung memupus ketidakenakan hati Simon dengan berkata.

"Kalau Bang Simon tak mau bingung syaratnya hanya dua....?"

"Apa itu Pak Ustadz?" sergah Simon.

"Niatkan hati Bang Simon mengaji semata-mata karena Allah, jangan karena yang lain. Ikhlas! Yang kedua, ikutilah jejak Nabi dalam beragama, jangan mengikuti yang macem-macem. Itiba'! Kalau Nabi tidak memberi contoh ya jangan diikuti, bikin susah nanti."

"Hanya itu?"

Pak Ustadz mengangguk lembut.

"Sederhana sekali Pak Ustadz?" Simon tersenyum.

"Ya. Islam memang agama yang sederhana. Islam tidak diciptakan untuk membuat sulit umatnya..."

Kali ini Pak Ustadz berdoa, semoga dengan penjelasannya itu Simon tidak bingung lagi sehingga ia segera dapat mengakhiri masa lajangnya. * * *

Sunday, June 21, 2009

ANAK DOA

Pak Ustadz pulang dari pemakaman. Hatinya haru. Ratusan pelayat rela mengantarkan jenazah ibunya hingga ke pemakaman. Sepanjang jalan menuju pulang, tak henti-hentinya ia bersalaman dan berucap terima kasih kepada para pelayat.

Pak Ustadz merasakan letih. Derita sakit sang ibu hingga kematian menjemput telah mendera Pak Ustadz lahir batin. Hatinya memang ikhlas dan tulus. Tapi, Pak Ustadz tak mungkin mengingkari kenyataan bahwa dirinya teramat letih.

Hampir sebulan ia menjaga ibunya. Hampir sebulan Pak Ustadz lebih banyak membuka mata dibanding menutup mata. Hampir sebulan ia menyadari bahwa kasih ibu memang sepanjang hayat, sedangkan kasih anak cuma sepanjang hasta.

Pak Ustadz masuk ke rumahnya. Ia terkejut karena masih banyak pelayat yang antre menunjukkan rasa bela sungkawanya. Kebanyakan dari mereka para ibu. Ada yang sudah duduk, ada yang masih berdiri, ada pula yang malah baru datang.

"Terima kasih. Terima kasih."

Pak Ustadz menyapa para pelayat dengan senyum ramah. Ia berusaha tidak menampakkan keletihannya. Bagaimanapun juga tamu adalah orang-orang yang terhormat. Siapa lagi yang akan menghormati tamu kalau bukan si tuan rumah?

Pak Ustadz menarik kursi untuk duduk. Belum lima menit ia menyapa para pelayat, Pak Ustadz dikejutkan oleh melayangnya sebuah botol air minum ke kepalanya. Ups! Untung Pak ustadz menghindar. Lalu...

"Abi! Abi! Kakak nakal!"

Sebuah tangisan kecil ada dalam dekapan Pak Ustadz. Nadia, putri bungsu Pak Ustadz yang baru berusia lima tahun. Ia tersedu-sedan. Pak Ustadz tahu apa yang terjadi. Dari dalam rumah keluar tiga anak hampir sebaya yang saling bercanda, tertawa. Lepas. Liar. Merusak.

Fakih, Abdan, dan Zaki. Mereka adalah anak-anak pertama hingga ketiga Pak Ustadz. Mereka saling melempar botol minuman. Tubuh Zaki basah kuyup. Juga Abdan. Si sulung Fakih tergelak dalam tawa kemenangan.

Para pelayat tak mampu berucap. Mereka seolah takjub dengan pemandangan yang sangat tidak biasa itu. Entah apa yang ada dalam benak mereka.

"Fakih, Zaki, Abdan. Duduk di sini kalian, dekat Abi."

Ajaib! Hanya dalam beberapa kata perintah yang bernada lembut, dan bahkan terasa halus, ketiga anak itu beringsut duduk di dekat ayah mereka. Tak bersuara. Diam.

"Bapak-bapak. Ibu-ibu. Tolong aminkan doa saya ini...."

Maka Pak Ustadz segera menengadahkan tangannya. Lisannya berucap dengan doa-doa berbahasa Arab yang ditutup dengan kata-kata.

"Ya Allah, jadikanlah putra-putra kami layaknya Ismail putra Ibrahim dan putri kami layaknya Fathimah putri Muhammad..."

"Amin. Amin."

Para pelayat seolah tersihir dengan doa Pak Ustadz. Namun, mereka lebih terpesona dengan cara Pak Ustadz mendidik putra-putrinya. Sungguh elok!* * *

Saturday, June 20, 2009

MAKAM INDAH

Ibu Pak Ustadz dimakamkan sore itu. Tidak perlu menunggu keesokan harinya. Terlalu lama nanti. Sesudah dimandikan, dikafani, dan disholatkan, ratusan pelayat mengantar jenazah ibu Pak Ustadz ke tempat pemakaman.

Sepanjang jalan menuju makam, semua larut dalam duka. Beberapa kerabat bahkan masih menyisakan kesedihan yang mendalam. Ibu Pak Ustadz memang ibarat dewi. Segala kebaikan dan ketulusan, keramahan dan kelembutan seperti tidak lekang dimakan waktu.

Maka sepanjang jalan yang terdengar dari bibir para pelayat adalah kebaikan. Kalau tidak mengabarkan kebaikan ibu Pak Ustadz, bibir mereka bergumam, menyebut nama kebesaran Sang Khalik. Mereka seakan ingin bicara, ibu Pak Ustadz, kebaikan, dan Sang Khalik adalah tiga hal yang menyatu. Tak mungkin terpisah.

"Ibu Pak Ustadz memang perempuan hebat. Hatinya yang bersih sukar untuk dilupakan."

"Iya. Hatinya selalu tertambat pada masjid. Ibadahnya tak pernah putus."

"Setuju. Tapi, hati beliau juga selalu menyapa orang kecil yang kesusahan."

"Allahu Akbar! Allahu Akbar!"

Ibu Pak Ustadz diistirahatkan di pemakaman keluarga. Jarak dari rumah keluarga menuju pemakaman hanya sekitar satu kilometer. Tidak terlalu jauh. Karena itu, para pelayat tidak perlu berpeluh saat mengantarkan jenazah.

Saat berada di pemakaman, mereka tertegun sesaat. Sebagian besar dari mereka tidak percaya bahwa mereka berada di pemakaman. Sebab mereka tidak melihat makam yang umumnya kerap mereka lihat.

Makam itu lebih mirip sebuah taman. Bersih. Indah. Menyegarkan. Rumput yang tumbuh terlihat jelas ditata rapi. Batu-batu kecil terhampar sebagai pijakan kaki. Teratur. Memang terdapat beberapa pohon besar, tapi pohon besar itu amat menyatu dengan lingkungan makam. Tak ada kesan menakutkan apalagi angker saat berada di situ.

Para pelayat terpesona dengan makam keluarga Pak Ustadz. Mereka seperti tidak ingin meninggalkannya. Mereka merasa betah. Dalam hati mereka bahkan muncul kerinduan untuk datang ke situ lagi.

Tiba-tiba seorang pelayat berucap lirih.

"Oh, pantas dulu Pak Ustadz pernah berkata. Nabi menganjurkan kita untuk sering melakukan ziarah kubur. Kenapa kita memberlakukan makam sebagai tempat yang angker hingga kita takut mengunjunginya?!"

Para pelayat kini mengerti apa arti sebuah makam bagi Pak Ustadz. Makam memang bukan sekadar kuburan bagi yang mati. Makam juga adalah "perpustakan" bagi yang hidup, tempat semua orang bisa belajar dari kisah kematian seseorang. * * *

Thursday, June 18, 2009

IBU (II)

Hari ini Pak Ustadz berduka. Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit ibu Pak Ustadz akhirnya berpulang ke hadirat Ilahi Robbi. Tidak ada yang menyangka kepergian ibu Pak Ustadz akan secepat itu.

Beberapa hari terakhir kondisinya malah terlihat semakin baik.
Kesadaran ibu Pak Ustadz sudah mulai pulih. Matanya tidak terpejam lagi. Bibirnya telah menyunggingkan senyum. Wajahnya berbinar tulus. Tapi, semua tidak menyangka bahwa itu adalah pertanda. Pertanda untuk yang terakhir kalinya.

Semua merasakan kehilangan. Untuk beberapa saat Pak Ustadz tak henti-hentinya meneteskan air mata. Bahkan Pak Ustadz seolah tidak berniat menghentikannya. Ia seperti ingin menunjukkan bahwa kehilangan seorang ibu ibarat sebuah bencana yang maha hebat.

"Ibu adalah sumur kelembutan bagi kami semua. Ia marah, tapi tidak memerah. Ia benci, namun tidak membabi. Dengan kelembutan itu ibu menyapa kami. Anak-anak, cucu-cunya...."

Bibir Pak Ustadz bergetar. Ia terbata-bata dengan hati membuncah.

"Kami selalu ingat. Pada ibulah kami semua bergayut manja. Juga pada ibulah kami memeluk memohon perlindungan. Pada ibulah kami memohon agar ia mau membuka pintu hatinya hingga bibirnya berucap doa untuk anak-anaknya."

Mata Pak Ustadz menerawang ke langit. Jelang senja itu. Tapi, hatinya tak lepas dari wanita yang telah melahirkannya itu.

"Ibu telah membuat anak-anaknya menjadi manusia. Seutuh-utuhnya manusia. Tak henti-hentinya ibu mendorong kami semua untuk berbagi. Dengan berbagi, kami tahu bahwa kami telah menjadi manusia."

Pak Ustadz mengenang dengan segenap jiwa. Tapi, tiba-tiba ia bertanya dengan penuh gugatan.

"Tahukah kalian semua, kenapa aku harus begitu bersedih untuk seorang manusia yang dipanggil ibu?"

Para peziarah saling berpandangan. Mereka tak tahu harus menjawab apa. Kata Pak Ustadz kemudian.

"Karena Allah telah menutup satu lubang amal pada diriku. Maka berbahagialah kalian semua yang masih memiliki ibu. Buat ia menangis! Buat ia menangis dengan kasih sayangmu, tapi jangan buat ia menangis dengan kedurhakaanmu."

Air mata Pak Ustadz membajir. Para peziarah menunduk haru. Tapi, dari getar tulus suaranya, para peziarah tahu, Pak Ustadz adalah mutiara yang dicetak tangan lembut seorang ibu.
* * *

IBU (I)

Hari ini Pak Ustadz terus berjaga di rumah sakit. Ibunya sudah beberapa hari dirawat. Penyakit sepuh telah menghalangi ibunya untuk terus dapat sehat seperti sediakala. Pak Ustadz sudah pasrah dengan keadaan ibunya.

Namun, Pak Ustadz tak mau kehilangan kasih dari orang yang melahirkannya. Maka setiap hari Pak Ustadz tidak pernah tidak berdiam di rumah sakit. Ia selalu berada di rumah sakit! Setiap malam ia memilih berjaga demi ibunya.

"Apakah Pak Ustadz selalu tidur di sini?" tanya seorang ibu penjenguk yang merupakan jamaah pengajian bimbingan Pak Ustadz.

"Iya, ibu. Saya berusaha untuk selalu dekat dengan ibu saya. Selalu dekat. Momen-momen seperti ini membuat saya selalu ingat bahwa apa yang saya lakukan untuk ibu, tidak sebanding dengan apa yang ibu saya lakukan untuk saya, " jawab Pak Ustadz.

Mata ibu Pak Ustadz terpejam. Tidak membuka dan sama sekali tidak pernah membuka. Sejak dibawa ke rumah sakit setelah terjatuh di kamar mandi saat hendak mengambil air wudhu.

"Pak Ustadz tidak bergantian dengan adik atau kakak Pak Ustadz?" tanya jamaah yang lain.

Pak Ustadz menggeleng. Bibirnya tersenyum.

"Adik dan kakak saya selalu ke sini. Tapi, saya berusaha untuk terus menunggui ibu saya. Tidak peduli apakah kakak atau adik saya berada di sini."

Bibir ibu Pak Ustadz mengerang. Ia seperti merasakan sakit. Tubuhnya mengeluarkan keringat. Banyak. Amat banyak. Tubuh ibu Pak Ustadz seolah bermandi keringat. Pak Ustadz bergegas menghampiri ibunya.

Pak Ustadz menyeka keringat itu dengan penuh welas. Penuh kasih. Ia ingin ibunya merasakan kasih tulus darinya. Bibir Pak Ustadz terus berdoa. Tanpa henti. Ia tak ingin ibunya merasakan derita.

"Karena ibuku ini pintu masuk ke surga akan terbuka untukku hingga bisa aku masuki, " ucap Pak Ustadz dengan bibir bergetar.

Semua pembesuk menunduk. Takjub. * * *

Wednesday, June 17, 2009

DAKWAH MALU

Malam sudah merambat ke tengah. Pak Ustadz hendak pulang ke rumah. Dakwah yang dilakukannya sejak pagi hingga sore telah menyita perhatiannya. Dampaknya, ia mesti pulang larut.

Angkot bersliweran di depan Pak Ustadz. Meski malam, jalan raya di daerahnya tetap ramai. Namun, hingga hampir setengah jam, ia belum menemukan angkot yang dicarinya. Hati Pak Ustadz sedikit gundah.

"Alhamdulillah..." batin Pak Ustadz tak lama setelah melihat angkot yang hendak dinaikinya muncul juga.

Pak Ustadz menghentikan angkot itu. Ia langsung naik dan mencari tempat duduk yang kosong. Diperhatikannya para penumpang yang ada. Oh, tidak terlalu penuh. Hanya ada lima orang termasuk dirinya.

Angkot melaju perlahan-lahan. Pak Ustadz berharap angkot berjalan cepat. Ia sudah tak sabar ingin sampai di rumahnya. Namun, belum lama angkot melaju, Pak Ustadz mulai terganggu dengan suara cekikikan di pojok.

Sepasang muda-mudi tampak asyik bercanda ria. Mereka asyik bermesraan. Beberapa kali sang pemudi mencubit manja pasangannya. Sedangkan yang pemuda tak berhenti menggoda sang pemudi. Sesudah itu mereka saling berpandangan. Mesra sekali. Tangan keduanya saling menggenggam, tak bisa dilepaskan.

Pak Ustadz gelisah. Ia paham muda-mudi itu telah mengganggu penumpang yang lain. Ia juga paham apa yang dilakukan keduanya merupakan perbuatan yang tidak semestinya. Tapi, Pak Ustadz sendiri bingung apa yang mesti dilakukannya.

Tiba-tiba ia memiliki akal. Ia tahu dakwah harus dilakukan dengan lembut dan membawa hikmah. Lembut artinya dakwah dilakukan dengan kata-kata yang sopan dan tindakan serta sikap yang santun. Hikmah, artinya dakwah itu mampu memberi pencerahan, baik kepada orang yang didakwahi maupun sang pendakwah.

Pak Ustadz menyapa ramah kepada sepasang muda-mudi itu.

"Dik, putranya berapa?"

Sepasang muda-muda itu terkejut. Mereka tidak menyangka ada orang yang bertanya seperti itu. Mereka tidak menjawab. Namun, mereka amat malu. Buru-buru sang pemuda meminta sopir untuk menghentikan angkotnya. Lalu, ia menarik pasangannya turun.

Melihat itu, Pak Ustadz hanya bisa tersenyum simpul. Juga penumpang yang lain. * * *

ORANG BANGKRUT

Pak Ustadz kedatangan tamu. Pak Amir namanya. Ia adalah juragan kayu yang ternama. Perusahaannya berkembang pesat. Karyawannya ratusan. Mobilnya puluhan. Kekayaannya bejibun.

Meski kaya, Pak Amir orang yang rendah hati. Ia juga terkenal dermawan. Ia tidak pernah memamerkan kekayaan miliknya. Ia juga tidak pernah menghardik peminta-minta atau pencari sumbangan yang mampir ke rumahnya.

Kali ini Pak Amir datang ke rumah Pak Ustadz dengan muka tertunduk. Mukanya ditekuk. Parasnya kuyu. Seperti ada beban di pundak.

"Oh, Pak Amir. Bagaimana kabarnya?" tanya Pak Ustadz ramah.

"Buruk, Tadz. Usaha saya hancur. Saya ketipu habis-habisan. Mitra bisnis saya yang selama ini amat saya percayai ternyata tega berbuat nista. Ia menerima kiriman kayu saya, tapi tanpa mau membayarnya..." keluh Pak Amir.

Pak Ustadz terkejut. Ia tidak menyangka nasib Pak Amir akan seperti itu.

"Lalu?"

"Saya tidak tahu harus berbuat apa. Para karyawan satu persatu sudah mulai meninggalkan saya. Sedangkan pihak bank mulai mengancam. Kalau tidak segera dilunasi utang-utang saya beserta bunganya, maka saya harus siap-siap angkat kaki dari rumah yang saya tinggali. Mobil-mobil saya pun hendak disita."

Pak Ustadz manggut-manggut.

"Saya kasihan dengan istri dan anak-anak saya. Akibat kebodohan bapaknya, mereka mesti menanggung akibatnya. Coba kalau saya tidak terlalu percaya dengan mitra bisnis saya itu, mungkin kejadian ini tak akan terjadi...."

Pak Ustadz hanya diam. Ia tak mampu berkata-kata. Ia paham dirinya bukan seorang pebisnis. Jadi, mana mungkin ia mampu memberi jalan keluar atas kesulitan yang dialami Pak Amir.

"Saya kini telah menjadi orang yang bangkrut...."

Pak Ustadz terkejut mendengar ucapan Pak Amir.

"Tidak, Pak Amir. Pak Amir bukan orang yang bangkrut. Pak Amir hanya orang yang sedang diuji, " kata Pak Ustadz tegas. "Sebab orang yang bangkrut adalah orang yang amal kebaikannya tidak mampu menutupi perbuatan buruknya."

Pak Amir mendongak dan memandang Pak Ustadz. Mata Pak Ustadz membalasnya lembut.
* * *

TONGKAT MUSA

Udin dan Joko asyik berdebat di gardu ronda. Mereka ramai memperdebatkan persoalan mi'raj Nabi. Kedua-duanya saling bersikeras dengan pendapatnya masing-masing. Keduanya tidak ada yang mau mengalah.

"Tidak benar kalau Nabi pergi ke langit dengan badannya. Ini tidak masuk akal. Bagaimana logika kita bisa menerimanya?" sergah Joko.

Udin tak mau kalah. "Lho bisa saja. Apa yang tidak mampu dilakukan oleh Allah. Tinggal bilang kun fa yakun, jadi maka jadilah. Ya, sudah Nabi sudah berada di langit ke tujuh."

"Ah, kacau pendapatmu. Saya lebih percaya kalau yang naik ke langit hanya ruhnya. Sedangkan badannya tertinggal. Sebab, kalau ke langit dengan badannya, pasti badan Nabi akan hancur."

"Hancur bagaimana? Bukankah Allah yang akan melindungi Nabi? Dengan kekuasaan Allah yang Maha Segalanya, tubuh Nabi akan tetap utuh, baik saat pergi maupun saat pulang."

"Ok. Aku setuju tentang ke-Maha Segalanya- Allah. Tapi, seharusnya tafsiran agama mesti bisa diterima akal. Kalau akal susah menerima, bagaimana kita mau percaya agama itu..."

"Lho,tafsiran mana yang tidak masuk akal?! Tafsiran ruh dan tubuh Nabi ke langit juga masuk akal. Bukankah Muhammad seorang Nabi yang pasti akan dilindungi Allah?"

"Benar. Muhammad memang seorang Nabi. Tapi, Muhammad juga manusia biasa, seperti manusia yang lain."

"Iya. Nabi memang manusia biasa. Tapi, dia ma'shum, terlindung dari dosa."

"Tapi, dia manusia!"

"Iya! Tapi, manusia yang luar biasa!"

"Iya, manusia!"

"Iya, manusia luar biasa!"

Udin dan Joko terus berdebat tanpa akhir. Masing-masing kukuh dengan pendapatnya.

Tidak lama, Pak Ustadz lewat di depan keduanya. Joko dan Udin meminta pendapat Pak Ustadz untuk menengahi. Pak Ustadz manggut-manggut mendengar curahan hati keduanya. Lalu, Pak Ustadz menerangkan masalah itu sejelas-jelasnya.

Di akhir pembicaraan, sambil berlalu Pak Ustadz berucap.

"Kita memang rajin berdebat tentang tongkat Musa yang terbuat dari kayu atau besi. Namun, kita selalu malas merengkuh pelajaran tentang semangat Musa dalam mendakwahi kaumnya."

Joko dan Udin saling berpandangan. Mereka menerka-nerka apa maksud ucapan Pak Ustadz. * * *

Tuesday, June 16, 2009

MATA YANG SELAMAT

Sore itu Pak Ustadz hendak menengok Bang Muhar yang sedang dirawat di rumah sakit. Bang Muhar terjatuh dari motor saat menuju kantornya. Bang Muhar bekerja sebagai satpam di sebuah instansi pemerintah.

Ketika sedang berada dalam pembaringan, Bang Muhar terkejut mendapati Pak Ustadz sudah berada di depan pintu kamar.

”Eh, Pak Ustadz. Masuk, pak. Masuk!” seru Bang Muhar setelah menjawab salam Pak Ustadz. Pak Ustadz tersenyum mendengar seruan Bang Muhar.

”Lho, kok nggak ada yang jaga?” tanya Pak Ustadz. ”Sendirian saja, nih.”

Bang Muhar tersenyum kecil. Ia tahu Pak Ustadz ingin menggoda dirinya karena bukankah dirinya memang belum menikah. Masih sendiri. Belum ada yang mau.

Pak Ustadz memperhatikan sekujur tubuh Bang Muhar. Semua tampak tidak ada masalah, kecuali matanya. Mata yang sebelah kiri bahkan tertutup rapat karena diplester.

Kata Bang Muhar, mata itu terkena sodokan setang motor miliknya. Ia jatuh terjerembab setelah gagal menghindari lubang yang berada di depannya.

”Setang motormu sukses menyentuh matamu. Tapi, aku doakan, api neraka tidak mampu menyentuh kedua matamu,” kata Pak Ustadz setengah serius, setengah bercanda.

Bang Muhar merasa tersanjung.

”Ah, Pak Ustadz ada-ada saja. Memang mata seperti apa yang tidak akan terkena api neraka, Pak?”

”Mata yang tidak tersentuh api neraka ada dua. Pertama, mata yang selalu meneteskan air mata karena takut kepada azab Allah. Kedua, mata yang selalu begadang sebab berjaga di jalan Allah.

Hati Bang Muhar berbunga. Ia tersenyum.” * * *