Thursday, November 25, 2010

PERJANJIAN DENGAN TUHAN

Pak Ustadz berjalan tertatih-tatih. Malam itu, saat gerimis mulai tumpah di tanah. Bukan karena sakit di kaki, juga bukan karena tak ingin lekas sampai. Pak Ustadz tertatih-tatih karena di sampingnya hadir Eyang Sukro.

Pak Ustadz menemani Eyang Sukro kembali dari rumah Pak Said. Mereka sengaja bersilaturahim ke rumah keluarga Pak Said setelah mendengar kabar bahwa Pak Said meninggal dunia di Mekah. Ya, Pak Said meninggal di tanah suci saat menunaikan ibadah haji. Hal yang sebenarnya dianggap percaya dan tidak oleh Eyang Sukro. Lho?

"Said itu sebenarnya pergi ke Mekah tidak semata-mata naik haji, Pak Ustadz. Dia hendak melakukan perjanjian dengan Tuhan di sana...."

Eyang Sukro mulai membuka rahasia. Pak Ustadz kaget. Tapi, dia percaya. Dia tahu bagaimana akrabnya Eyang Sukro dan Pak Said. Bahkan Pak Said sudah menganggap Eyang Sukro ibarat orang tuanya sendiri. Tapi, perjanjian dengan Tuhan? Apa maksudnya?

Pak Ustadz tak menanggapi. Eyang Sukro melanjutkan ceritanya.

"Pak Ustadz tahu sendirikan kondisi Said. Tubuhnya ringkih. Tidak sekuat dulu lagi. Tubuhnya setiap waktu digerogoti penyakit yang entah kapan bisa sembuhnya. Segala cara sudah ia tempuh. Tapi, penyakit yang dideritanya tak juga mau pergi."

"Lalu..." Pak Ustadz mulai tertarik.

"Maka Said meniatkan haji tahun ini untuk melakukan perjanjian dengan Tuhan...."

"Maksudnya?"

"Kata Said kepada saya. Jika Tuhan menyembuhkan sakitnya, sepulang dari haji ia berjanji akan menjadi sebaik-baiknya manusia. Segala amalan yang diperintahkan oleh Allah dan rasulnya akan ia tunaikan. Namun, sebaliknya, jika sepulang dari Haji, Tuhan tidak juga menyembuhkan sakitnya, ia berjanji akan menjadi manusia yang paling buruk dari seburuk-buruknya manusia."

Pak Ustadz terkejut dengan ucapan Eyang Sukro. Ia seperti tidak percaya.

"Benar itu Eyang?"

"Benar. Dia bilang sendiri ke saya satu hari sebelum ia berangkat."

Pak Ustadz terpekur. Benaknya berkelana. Ah, selalu saja manusia memiliki kehendak untuk berencana, tapi Tuhan selalu menentukan yang terbaik bagi umatnya. Apakah ini yang menyebabkan manusia memiliki ribuan niat saat hendak berhaji ke tanah suci hingga perlu muncul sikap "meluruskan niat"? * * *

Tuesday, November 23, 2010

KENTUT BATAL

Selalu saja ada kenikmatan yang tidak mungkin mampu dituangkan ke dalam kata-kata jika Pak Ustadz pergi ke masjid. Apalagi dilakukan bersama kedua anaknya yang masih kanak-kanak. Di kedua tangannya yang menggenggam jari-jari anaknya seolah menguak harapan.

Jelang matahari terbit. Di pagi subuh. Mulanya memang agak susah, tapi lama kelamaan Fakih dan Abdan mampu mengikuti irama yang dimainkan oleh Pak Ustadz. Bahkan keduanya sangat menikmati pergi ke masjid di saat orang lain masih terlelap dalam tidur.

"Abi, Adik tadi sholatnya nggak sah," cetus Fakih tiba-tiba. Nada suaranya seperti menggoda. Pak Ustadz hanya tersenyum mendengar ucapan anaknya yang pertama itu.

Namun, tidak dengan Abdan. Adiknya itu tampaknya tidak suka "belangnya" diketahui orang lain, apalagi sampai dikoar-koarkan.

"Bohong. Kakak bohong, Abi. Sholat Adik sah," balas Abdan dengan wajah sedikit cemberut.

"Memang Adik kenapa?" tanya Pak Ustadz berusaha menengahi.

"Adik kentut."

"Tidak. Adik tidak kentut."

Fakih dan Abdan mulai ribut. Keduanya tak mau kalah. Masing-masing bersikeras dengan tuduhan dan penolakannya. Pak Ustadz paham kalau dibiarkan keduanya bisa bertikai tanpa akhir.

"Kok Kakak tahu kalau Adik kentut."

"Baunya. Kakak hafal banget bau kentut Adik. Ya seperti bau yang ada di masjid tadi."

Pak Ustadz geli mendengar jawaban Fakih. Tak ingin memperpanjang, Pak Ustadz lalau bertanya kepada Abdan.

"Benar, Adik tadi kentut?"

"Adik memang merasa ada bau yang aneh tadi. Tapi, Adik nggak kentut. Bener, Adik nggak kentut. Lagian, itu bukan bau kentut."

Pak Ustadz kini tahu masalahnya. Pak Ustadz kemudian menyudahi masalah itu dengan berucap.

"Abi percaya kalau ada bau yang aneh tadi seperti yang Kakak omongkan. Tapi, Abi juga percaya kalau Adik tadi nggak kentut. Sebab, Adik tadi sudah bilang. Dan tandanya orang kentut itu bukan pada baunya...."

"Lho, pada apanya, Abi?" tanya Fakih dan Abdan hampir berbarengan.

"Tandanya kita kentut
sehingga kita batal sholat itu ada dua. Pertama, ada suara yang keluar dan kedua ada angin yang juga keluar dari lubang belakang kita. Bau itu hanya akibat."

Fakih mengangguk-angguk. Abdan tersenyum puas. Sangat puas. * * *

Tuesday, October 19, 2010

DRAMA ARISAN

Pulang arisan. Sore yang berkabut. Istri Pak Ustadz masuk rumah dengan wajah yang kusut. Tak enak dilihat. Jilbab putih yang dikenakannya menjadi terlihat suram. Bahkan kelam. Pak Ustadz tahu diri.

"Pulang-pulang kok malah kusut. Ada apa sih?"

Istri Pak Ustadz tak menjawab. Diam. Langkahnya tertuju ke dapur. Pasti minum! Pak Ustadz sudah hafal dengan kebiasaan istrinya. Setiap ada masalah yang hendak diungkapkan, tapi dirasakan mengganjal di hati, pasti istri Pak Ustadz meminum air dulu. Seteguk atau dua teguk.

"Sudah? Sekarang ceritakan!"

Istri Pak Ustadz mengambil napas. Lalu, keluarlah dari bibirnya keluhan yang dari waktu-waktu seolah itu-itu melulu. Pak Ustadz seperti sudah hafal. Karena setiap pulang arisan, istrinya selalu mengeluhkan hal yang sama. Ibu-ibu yang suka pamer!

Kali ini ia mengeluhkan sikap Ibu Andre yang baru membeli mobil baru. Diceritakan bagaimana enak dan nikmatnya mobil yang mereka miliki. Ke mana-mana jadi gampang. Tak perlu naik angkot. Topik arisan pun beralih ke soal mobil.

"Kalau setiap bulan seperti itu terus, mendingan saya tak berangkat arisan. Buat apa. Tujuannya arisan. Silaturahim dengan tetangga. Ujung-ujungnya pamer!"

Istri Pak Ustadz ngedumel. Pak Ustadz tersenyum kecut. Hatinya tidak mempermasalahkan sikap ibu-ibu di arisan. Tapi, ada rasa khawatir pada dirinya terhadap sikap istrinya. Hasud! Ya, hasud! Lama kelamaan sikap istrinya jengkel, marah akan bisa berubah menjadi hasud. Dendam!

"Bagaimana menurut, Abi?" tanya istri Pak Ustadz.

"Aku tidak peduli dengan mereka. Tapi, aku khawatir dengan sikap kamu. Sebab, tanpa terasa kamu bisa terhinggapi oleh hasud. Padahal, hasud adalah watak yang paling berbahaya jika sudah melekat dalam jiwa seseorang..."

"Ah, tidak mungkin. Tidak mungkin. Masa soal pembicaraan arisan bisa jadi hasud."

Pak Ustadz terdiam. Kali ini wajahnya berubah serius. Ia lontarkan pandangan matanya ke wajah istrinya.

"Sekarang, tolong dijawab. Apakah kamu tidak suka dengan kenikmatan yang mereka peroleh?"

"Iya. Sebab, kenikmatan itu membuat mereka lupa diri. Cerita tak ada ujung pangkalnya."

"Apakah kamu ingin kenikmatan itu hilang dari mereka?"

"Iya. Sebab, silaturahim dalam arisan akan menjadi baik jika kenikmatan itu dihilangkan."

"Apakah kamu ingin kenikmatan itu berpindah kepada dirimu?"

"Ehm... Kalau bisa, iya. Sebab, aku pasti tidak akan seperti mereka."

Pak Ustadz menutup wajahnya. Matanya memerah. Ia tahu, istrinya telah dihinggapi perasaan hasud. Dendam terhadap kenikmatan yang dimiliki orang lain. Mulut Pak Ustadz berucap lirih, memohon ampun. * * *

Monday, October 11, 2010

UTANG NERAKA

”Abi, ada Kang Giman di luar....”

Suara lembut menyentil telinga Pak Ustadz yang tengah memanjakan matanya; membaca buku. Tubuh Pak Ustadz malas bergerak. Baru setelah istri Pak Ustadz menyentil untuk kedua kalinya, Pak Ustadz beranjak.

Kang Giman. Ah, Kang Giman. Selalu saja hati Pak Ustadz tergetar jika nama itu disebut. Ada semacam perasaan tergores yang dalam. Padahal nama itu tidak pernah melukainya. Padahal nama itu terdengar kelam karena mulut orang-orang.
”Sehat, Pak Ustadz?” sapa Kang Giman dengan keramahan yang sengaja dibuat.

Pak Ustadz tersenyum. Kecut. Rasa curiga menyentak dadanya. Seperti tak mau berhenti. Pak Ustadz berusaha melawan. Namun, semakin keras dilawan, sentakan curiga itu malah semakin keras.
Dugh! Benar. Kang Giman datang untuk meminjam uang. Lumayan besar. Tentu untuk kantong Pak Ustadz yang tidak tergolong dalam, bahkan bisa dikatakan pas-pasan. Satu juta rupiah. Katanya untuk berobat.

Benak Pak Ustadz langsung berkelana. Ia tidak ingin menyakiti hati Kang Giman. Tapi, ia juga tak mau tertipu seperti orang-orang yang pernah bercerita kepadanya. Kang Giman tukang tipu! Ia penipu ulung!

”Kang Giman, saya tidak keberatan meminjami uang. Tapi, kapan Kang Giman mampu melunasi pinjaman itu?”

Kang Giman terkejut. Hatinya berbisik, lho kok seperti ini? Biasanya kalau pinjam uang tak pernah ditanya kapan mengembalikannya. Jadi, asyik-asyik saja. Pura-pura tak ingat. Bahkan kalau bisa melupakannya. Ah, Pak Ustadz aneh!

”Sebulan. Ya, sebulan. Ehm, tanggal tujuh,” jawab Kang Giman sekenanya.

”Nah, kalau sebulan dan tanggal tujuh, apa jaminannya?”

Gila! Ini sih gaya rentenir! Mosok meminjam uang ke Pak Ustadz ditanya jaminan segala. Persis bank. Edan! Kang Giman berontak. Ribet amat pinjam uang sama Pak Ustadz. Padahal cuma sejuta.
”Saya punya sertifikat rumah, Pak Ustadz....”

”Oh, ya. Kalau punya sertifikat, bawa ke sini. Nanti uang itu saya berikan.”

”Kalau uangnya dulu, gimana. Nanti saya antar sertifikatnya. Saya perlu banget.”

”Rumah Kang Giman-kan dekat. Tinggal bawa ke sini dan tunjukkan. Sertifikat itu juga tidak saya minta kok.”

Kang Giman melongo. Ia tak menyangka Pak Ustadz yang bijak dan budiman bisa sesulit itu tatkala dipinjami uang. Padahal, ia berharap Pak Ustadz tidak terlalu cerewet. Bukankah meminjamkan uang termasuk kebaikan?

Jangan keliru Kang, batin Pak Ustadz. Pinjam-meminjam uang bukan masalah ringan. Betapa banyak orang yang begitu mudahnya meminjamkan uang ke orang lain, tapi mereka justru enggan menagihnya. Malu. Pekewuh. Tak enak hati.

Akhirnya, menyebarlah fitnah. Keliru. Ini keliru. Piutang harus menagih orang yang terutang agar pintu surga terbuka bagi orang yang terutang untuk masuk ke dalamnya. Kasihan dia kalau tidak ditagih!

Di ruang tengah istri Pak Ustadz mencegat Pak Ustadz.

”Abi, katanya Abi tak punya uang. Kok mau pinjami uang ke Kang Giman?”

”Ah, mosok aku mesti menceritakan kesusahan kita kepada orang lain....”

Istri Pak Ustadz tertegun. Bingung. * * *

Friday, October 08, 2010

MENJEMPUT KEMATIAN DENGAN SENYUM

Ia lari tergopoh-gopoh. Kakinya seperti diseret. Napasnya tersengal-sengal. Mang Jani, pria yang sudah tidak muda lagi. Pak Ustadz memperhatikan dari jauh. Ia menunggu karena Mang Jani seolah hendak mendatanginya. Ada apa gerangan?

"Pak Ustadz! Pak Ustadz!"

Mang Jani melambai-lambaikan tangannya. Pak Ustadz mendekat.

"Ada apa, Mang?"

"Fadli! Fadli, Pak Ustadz! Fadli meninggal...."

Ucapan berduka langsung muncul dari bibir Pak Ustadz. Wajahnya menampakkan rasa terkejut yang luar biasa. Pikirannya langsung membayang kepada sesosok anak muda berkulit bersih dengan wajah yang tidak bisa dibilang jelek. Fadli, ya Fadli.

"Tadi siang aku masih omong-omong dengannya setelah ia pulang dari kantor kepolisian. Katanya, mau mengurus surat kelakuan baik sebagai syarat kerja."

"Iya, benar. Sepulang dari sana ia langsung rebahan dan tidur. Ternyata saat dibangunkan, dia sudah tidak bisa bangun untuk selamanya. Sudah ya Pak Ustadz. Saya mau mengurus pemakamannya."

Mang Jani pamit. Pak Ustadz mengangguk. Pak Ustadz berjanji hendak menyusul Mang Jani sesegera mungkin. Tapi, tiba-tiba saja benak dan hatinya seolah tak bisa lepas dari Fadli.

Ah, Fadli! Anak muda yang merindukan kematian. Setiap ketemu Pak Ustadz tak ada topik pembicaraan yang begitu diminatinya selain kematian. Kematian! Ya, kematian! Pak Ustadz sampai bingung dengan sikap Fadli.

"Apa kamu tidak lagi ingin hidup, Fadli?"

"Oh, bukan begitu, Pak Ustadz. Saya mencintai kehidupan. Tapi, tak ada yang lebih saya cintai dan sangat saya rindukan, selain kematian. Masa lalu itu sangat jauh dari kita. Tapi, kematian itu sesungguhnya sangat dekat.

"Kenapa kamu bisa berpikir begitu?"

"Setiap detik, setiap menit, kematian seolah mengintai kita. Jujur, saya tidak ingin diintai oleh kematian. Saya juga tak mau menjadikan kematian sebagai musuh dalam selimut. Saya justru ingin bersahabat dengannya sehingga andai kematian datang, ia datang dengan senyum persahabatan yang tulus."

Ah, apakah ini jawaban dari pertanyaan kenapa Fadli sangat rajin ke masjid akhir-akhir ini? Apakah ini juga jawaban mengapa Fadli begitu sangat sayang dan kasih kepada ibunya? Apakah ini jawaban kenapa Fadli tidak pernah menyakiti hati para tetangga, teman, sahabat, atau kerabat?

Di rumah Fadli, Pak Ustadz melihat Fadli tersenyum. Benar tersenyum. Senyum dalam kematian. Jelang senja itu. * * *

Monday, September 27, 2010

BAWAHAN LEBIH PENTING DIBANDING ATASAN!

Ceramah pesanan. Begitulah Pak Ustadz biasa menjuluki saat seorang utusan menjumpai dan memintanya berceramah di suatu tempat. Tapi, tidak berhenti di situ. Karena, sang utusan kemudian meminta beberapa pesan "kebaikan" kepada Pak Ustadz agar disampaikan di depan jamaah.

Pak Ustadz kadang pusing. Tentu saja, sebab ia mesti mengaitkan pesan itu dengan ayat-ayat yang ada dalam kitab suci. Kadang Pak Ustadz mengabaikan. Namun, Pak Ustadz kadang melakukan, sejauh hal itu tidak bertentangan dengan nuraninya.

"Intinya, Pak Ustadz diminta menyampaikan tentang pentingnya seorang atasan dalam sebuah pekerjaan. Kami berharap Pak Ustadz menyampaikannya dalam ceramah nanti. "

Pak Ustadz manggut-manggut. Dua utusan yang datang terlihat gembira. Mereka senang karena misi yang berasal dari atasannya telah tersampaikan.

"Tapi, kenapa Bapak berpesan seperti ini?" tanya Pak Ustadz mulai sedikit usil. Ia memang penasaran dengan kebiasaan kantor atau perusahaan yang memintanya berceramah, tapi selalu disisipi pesan titipan alias sponsor atawa iklan.

"Oh, nggak kenapa-kenapa, Pak," kata dua orang utusan itu sedikit gagap.

"Kami hanya ingin para bawahan mengerti bahwa tugas atasan itu sangat penting. Suara atasan mesti didengar, dihormati, dan dilaksanakan oleh para bawahan. Jika suara atasan diabaikan, maka entah apa yang terjadi dalam sebuah organisasi."

Pak Ustadz mengangguk. Ia mulai mengerti ke arah mana pembicaraan itu. Tapi, rasa usilnya tetap tak pudar.

"Menurut anda berdua, apakah di kantor, atasan itu memang lebih penting dibanding bawahan?"

Utusan yang pertama menjawab.

"Oh, jelas, Pak Ustadz. Atasan itu ibarat kepala dalam tubuh manusia. Kepala itu isinya otak atau pikiran. Tanpa, kepala, otak, dan pikiran, tak akan mungkin kantor kami akan mampu bergerak. Kami semua sangat tergantung kepada kepala itu."

Utusan yang kedua menjawab.

"Atasan itu pemimpin, Pak Ustadz. Ia pemilik tongkat komando. Tanpa, komando atasan, para bawahan akan kebingungan, tak tahu apa yang mesti kerjakan."

Pak Ustadz tersenyum. Ia paham jalan pikiran kedua orang itu.

"Kalau saya malah berpikir bawahan itu lebih penting dibanding atasan. Sebab, tanpa bawahan tidak mungkin ada atasan. Tanpa bawahan, orang juga akan dianggap gila. Tapi, tanpa atasan, orang dinilai biasa-biasa saja. "

"Lho, kok bisa, Pak Ustadz?" Kedua orang itu bingung menyimak maksud Pak Ustadz.

"Anda pasti berani ke luar rumah tanpa atasan. Tapi, tanpa bawahan, Anda berani tidak?"

Kedua orang utusan itu terdiam sejenak. Lalu, keduanya tertawa terbahak-bahak mendengar maksud ucapan Pak Ustadz.

"Jadi, benarkan, bawahan itu lebih penting dibanding atasan?!" * * *

Friday, September 24, 2010

PEMBURU JABATAN

Teman-temannya dulu tidak sedikit yang menjuluki sebagai "pemburu jabatan". Sebab, hampir seabreg jabatan telah diraihnya. Tentu dengan kerja keras dan sedikit ambisi. Mulai dari jabatan yang rendah hingga yang tinggi. Mulai dari jabatan yang "basah" sampai jabatan yang konon "kering kerontang".

Dik Singgih, demikian Pak Ustadz memanggilnya akrab. Mantan adik kelasnya saat duduk di bangku sekolah dasar. Jangan dibandingkan sekarang. Karena Pak Ustadz bukan siapa-siapa, sedangkan Mas Singgih jelas "siapa-siapa". Mereka bertemu ketika sekolahnya mengadakan reuni.

"Bagaimana kabarnya sekarang, dik? Jadi orang penting ya...."

Pak Ustadz coba menyapa ramah. Ia memang masih mengenalnya. Dan memang tak akan pernah melupakannya. Singgih tetap seperti dulu dengan ciri khas tahi lalat yang cukup besar di kening sebelah kiri.

"Ah, bisa saja Mas ini. Biasa saja kok," jawab Singgih tersipu malu.

Pak Ustadz agak terkejut dengan sikap Singgih. Ternyata ia tetap ramah, tidak berubah. Ia juga tak segan menjawab pertanyaan dan pernyatan yang dikeluarkan Pak Ustadz. Bahkan termasuk ambisinya untuk meniti jalan sebagai politisi. Kata Singgih, politisi adalah batu loncatan bagi dirinya untuk menggapai ratusan jabatan empuk di beragam bidang kehidupan.

"Maaf, Dik Singgih. Saya kok agak bingung. Kenapa sih Dik Singgih begitu berambisi menduduki jabatan-jabatan yang empuk di negeri ini?"

Singgih tertawa kecil. Ia seperti mentertawakan kebodohan Pak Ustadz. Bahkan mulutnya Singgih agak lama menutupnya. Baru setelah diam sejenak ia menjawab pertanyaan Pak Ustadz.

"Jujur, Mas. Jabatan tinggi membuat saya lebih mudah mencari harta dan kekayaan. Andaipun saya memiliki harta, belum tentu dengan harta dan kekayaan saya akan mampu menduduki jabatan."

Pak Ustadz terperangah.

"Jabatan juga bebas dari pencurian, Mas. Bahkan pencuri ternama sekalipun keder melihat jabatan yang diduduki seseorang."

Pak Ustadz tercenung.

"Ingat, Mas. Jabatan akan meluas tanpa paksaan. Orang akan memuji ketinggian, kebesaran, dan kemuliaan kita setelah tahu bahwa kita menduduki suatu jabatan tertentu."

"Dan terakhir, Mas. Ini yang paling penting. Jabatan membuat kita mampu menguasai dan mengendalikan seseorang, banyak orang, bahkan keadaan di sebuah lingkungan."

Kepala Pak Ustadz puyeng. Ia kini baru menyadari bahwa Singgih, adik kelasnya dulu memang telah berubah. * * *

Thursday, September 23, 2010

ANAK NAKAL DARI TUHAN

Resepsi pernikahan. Di malam hari. Sendirian. Di gedung. Ah, selalu saja muncul perasaan galau. Entah apa dan dari mana datangnya. Pak Ustadz tidak tahu. Hanya, ia setiap kali berusaha melawannya, meski tak sampai memusnahkannya.

Oh, ada! Seru Pak Ustadz dalam hati setelah melihat sebuah bangku kosong. Dengan membawa piring makanan Pak Ustadz menikmati sajian mewah yang tersedia. Cukup! Cukup! Pak Ustadz hanya mencukupi perutnya dengan kue puding, apel, dan salak pondok.

Suara musik hiburan bergema di atas panggung. Para tamu memamerkan ribuan wajah. Bersliweran. Ketawa, canda, ceria. Sungguh, memang hari yang berbahagia. Tapi, tiba-tiba.

Plak! Plak!

Pak Ustadz terkejut. Lemparan benda asing menerpa tubuhnya. Kue puding! Ya, kue puding. Bercak kotor tampak di baju Pak Ustadz. Pak Ustadz melemparkan pandangannya. Dua anak lelaki berusia sekitar tujuh dan lima tahun tertawa terbahak-bahak. Mereka seperti tidak merasa bersalah.

"Maaf, Pak. Maaf. Anak saya ini nakalnya memang minta ampun. Saya sampai malu dibuatnya. Tadi sudah menjatuhkan piring. Sekarang lempar-lemparan puding..."

Seorang perempuan berpakaian istimewa mendatangi Pak Ustadz. Tangannya mencengkeram kedua anak lelakinya kuat-kuat. Wajahnya menampakkan ribuan perasaan. Marah, malu, jengkel, kecewa.

"Ayo, duduk kalian! Diam di sini! Ingat, kalian tak boleh ke mana-mana! Di sini saja! Di sini!"

Perempuan berpakaian istimewa itu menatap Pak Ustadz dengan perasaan amat bersalah. Berkali-kali bibirnya berucap maaf dan maaf. Keluhnya kemudian.

"Saya sudah putus asa terhadap mereka berdua. Mereka benar-benar nakal. Aneh, ya Pak, kenapa saya bisa melahirkan anak-anak yang demikian nakal? Padahal, saya dan suami saya bukan orang-orang yang nakal."

Perempuan berpakaian istimewa itu seolah membela diri. Pak Ustadz tak menanggapi. Hanya diam. Perempuan itu terus melanjutkan ucapannya.

"Saya tidak tahu salahnya di mana. Anak-anak sudah saya berikan fasilitas pendidikan yang terbaik. Sekolah terbaik. Guru terbaik. Teman dan lingkungan yang baik. Hasilnya..."

Perempuan berpakaian istimewa itu melingkarkan dua jarinya sehingga membentuk angko nol.

"Akhirnya, saya berpikir, Tuhan memang telah memberikan saya anak-anak yang nakal."

Kali ini Pak Ustadz tersenyum. Ia seperti memahami . Namun, Pak Ustadz tak bisa menahan bibirnya untuk berucap.

"Maaf, ibu. Jangan salahkan anak-anak. Kasihan mereka. Mereka adalah anak-anak Tuhan. Karena anak-anak Tuhan, mungkin malah ibu dan suami ibu yang sejatinya bersalah. Sebab, siapa tahu ibu dan suami ibu yang justru lupa melibatkan Tuhan dalam proses pembuatannya...."

Perempuan berpakaian istimewa itu seperti tercenung mendengar perkataan Pak Ustadz. Namun, sebelum perempuan itu membuka mulutnya kembali, Pak Ustadz telah terlebih dahulu mohon pamit. ***

Tuesday, September 21, 2010

DOA MINTA JABATAN

Pak Ustadz kedatangan tamu. Seorang lelaki berpakaian perlente. Kulitnya bersih, tubuhnya sedikit tambun, dan baunya wangi. Rambut lelaki itu klimis. Pak Ustadz tidak tahu siapa dia. Pak Ustadz hanya tahu bahwa lelaki itu mencari dirinya dan masuk ke rumahnya.

Lelaki perlente itu tidak sendirian. Ia datang berdua dengan seorang pria berbaju hitam dan bercelana hitam. Pria itu lebih terkesan sebagai pengawal atau sopirnya. Sikap dan tindak tanduknya mengisyaratkan itu.

"Bapak mungkin salah mencari saya. Sebab, maaf. Saya sama sekali tidak mengenal Bapak. Saya takut Bapak salah alamat."

Pak Ustadz bersikap seramah mungkin. Ia khawatir lelaki perlente itu salah tujuan dan merasa malu telah masuk ke rumahnya. Tapi, lelaki itu bersikeras. Ia tidak merasa salah tujuan. Ia yakin dirinya benar.

"Oh, tidak. Saya memang ingin bertemu dengan Pak Ustadz. Saya punya keperluan khusus dengan Bapak."

"Keperluan khusus?" Pak Ustadz sedikit terkejut. Keningnya berkerut.

Pikiran Pak Ustadz langsung berputar-putar dengan seribu dugaan. Mungkin lelaki perlente itu meminta Pak Ustadz untuk mengisi ceramah di rumahnya atau mungkin lelaki perlente itu hendak mengundang Pak Ustadz hadir dalam sebuah acara. Mungkin lelaki perlente itu berniat mengajak Pak Ustadz mendirikan sebuah pondok pesantren.

"Maaf, keperluan khusus apa ya?"

Lelaki perlente itu terdiam sejenak. Ia sedikit ragu. Wajahnya menunjukkan itu. Namun, setelah Pak Ustadz meyakinkannya, lelaki perlente itu kemudian menjelaskan maksudnya. Awalnya terdengar rikuh, lama kelamaan suaranya semakin meyakinkan.

Kata lelaki perlente itu, ia sengaja datang khusus ke Pak Ustadz karena ingin meminta berkah. Ia berharap Pak Ustadz dapat mewujudkannya. Berkah itu berupa jabatan dan pangkat yang ingin ia diduduki. Ia sudah berusaha sekeras mungkin dalam bekerja, tapi jabatan dan pangkat yang diincarnya seolah lepas. Jauh dari dirinya.

"Saya harap Pak Ustadz bisa memberikan sesuatu untuk saya. Bisa doa, pertolongan, atau pegangan. Terserah Pak Ustadz pokoknya...."

Pak Ustadz kini tahu maksud kedatangan lelaki perlente itu. Tapi, bagi Pak Ustadz, lelaki perlente ini telah keliru. Ia salah alamat. Pak Ustadz tidak cukup punya kemampuan untuk mewujudkan jabatan atau pangkat pada diri seseorang.

"Maaf, Bapak. Sekali lagi maaf. Bapak salah alamat. Saya tidak memiliki kemampuan itu. Benar, sungguh, " kata Pak Ustadz lembut tapi tegas.

Semburat kekecewaan langsung terlihat di wajah lelaki perlente itu. Tapi, ia tak kurang akal. Beberapa kali ia berusaha memaksakan kehendaknya dengan beragam iming-iming. Pak Ustadz tak goyah. Lelaki perlente itu akhirnya pamit.

Di beranda rumah, Pak Ustadz tercenung. Pangkat! Jabatan! Ah, betapa banyak orang yang bersikeras mendapatkannya, bahkan dengan segala macam cara. Mereka pikir, dengan pangkat atau jabatan, ketinggian, kebesaran, dan kemuliaan layaknya Tuhan Sang Penguasa Jagat, akan mereka dapatkan. * * *

Friday, September 17, 2010

ANAK-ANAK PENDUSTA

Pulang dari mudik. Pak Ustadz berdesak-desakan dalam kereta api bisnis. Lega, akhirnya ia dan keluarganya mendapat tempat duduk. Tapi, gelisah karena sejak tadi si bungsu Nadia tak kunjung berhenti rewelnya. Aneh-aneh saja ulahnya. Dari mulai merasa lelah hingga ke soal permintaan macam-macam khas anak kecil.

Istri pak Ustadz sudah menyerah. Ia angkat tangan. Istri Pak Ustadz sudah tak kuasa lagi menangani anak perempuan satu-satunya itu. Nadia kini sudah menjadi urusan Pak Ustadz. Namun, di tangan Pak Ustadz, Nadia tak berubah. Ia tetap menunjukkan perilaku yang menjengkelkan.

"Sebenarnya Nadia pingin apa?"

Pak Ustadz berusaha bersikap lembut. Ia percaya Nadia bukan anak yang susah untuk "ditaklukkan". Dengan kelembutan pasti segala sesuatunya berjalan sesuai rencana.

Kecele. Pak Ustadz kecele. Nadia justru menampakkan wajah tak ramah. Wajahnya tak enak dilihat. Sebentar kemudian air matanya sudah tumpah. Dari bibirnya keluar suara sesenggukan. Nadia menangis. Semakin lama tangisan itu semakin keras.

Pak Ustadz kebingungan. Ia malu melihat Nadia dan dirinya menjadi tontonan penumpang kereta. Seketika trik Pak Ustadz muncul.

"Nadia, mau eskrim? Nanti Abi belikan?"

Tangisan Nadia tak berubah. Pak Ustadz mulai kelimpungan.

"Nadia kepingin naik kuda? Nanti, pulangnya kita naik kuda. Atau naik delman? Pasti kita naik nanti."

Nadia tak berhenti menangis. Pak Ustadz bertambah bingung. Akalnya sudah mencapai ambang batas. Nadia memang terlalu sulit untuk "ditaklukkan".

"Oh, ya. Katanya Nadia kepingin yoyo. Setiba di rumah Abi janji Nadia akan Abi belikan yoyo. Sepuluh malah..."

Ajaib! Nadia terdiam. Tangisnya berhenti. Ia memandang wajah Pak Ustadz.

"Bener, Abi?"

Pak Ustadz mengangguk. Nadia tak lagi menyebalkan. Senyumnya kini mengembang. Rengekannya pudar sudah. Pak Ustadz tersenyum.

Seorang ibu berkerudung putih ikut tersenyum. Namun, senyumnya terasa aneh di mata Pak Ustadz. Apalagi saat ia bertanya lirih kepada Pak Ustadz.

"Apakah Bapak benar-benar akan memenuhi permintaan putri Bapak? Es krim, naik kuda, dan sepuluh yoyo?"

"Tidak, " jawab Pak ustadz cepat. " Itu semua hanya agar anak saya berhenti menangis. Saya berharap ia akan lupa dengan apa yang pernah saya janjikan."

Ibu berkerudung putih itu mengangguk-angguk. Ia seperti memahami. Tiba-tiba ia bergumam lirih. Sangat lirih. Tapi, hal itu sudah cukup untuk membuat telinga Pak Ustadz tersentil.

"Ternyata masih banyak orang tua yang mengajarkan dusta kepada anak-anaknya. Meski baik, tapi itu keliru. Keliru."

Pak Ustadz menundukkan pandangan. Saat ia mendongak, ibu berkerudung putih itu telah lenyap dari hadapannya.

Tuesday, August 24, 2010

ANDA, AYAH DAN IBU YANG BAIK?

Minggu pagi. Matahari tersenyum cerah. Pak Ustadz dan istrinya asyik bercengkerama. Teh hangat dan pisang goreng menemani mereka berdua. Begitu biasanya. Entah kenapa. Mereka selalu dicekam kerinduan untuk bersama. Padahal, tidak ada yang istimewa pada setiap pagi itu.

Pak Ustadz dan istrinya seringkali hanya duduk sambil mengobrol. Kadang diselingi candaan santai. Tak pernah ada percakapan serius di pagi hari saat libur. Namun, kali ini sepertinya lain. Semua ini gara-gara celetukan istri Pak Ustadz.

"Abi, di mata anak-anak, kira-kira kita ini termasuk ayah dan ibu yang baik bukan ya?"

Pak Ustadz kaget mendengar celetukan istrinya. Amat kaget. Ia pandangi wajah istrinya. Ia takut ada yang keliru dengan ucapan istrinya. Sebab, ini tidak biasa. Benar, tidak biasa. Tapi, Pak Ustadz sepertinya tidak menemukan keanehan di wajah istrinya.

Istri Pak Ustadz tetap seperti biasa. Manis dan sedap dipandang mata. Bahkan wajah istri Pak Ustadz seolah menunjukkan keseriusan. Artinya, istri Pak Ustadz tidak sedang mengajak bercanda.

"Menurut Umi, bagaimana?" Pak Ustadz balik bertanya.

"Lho, Umi tanya malah Abi balik tanya. Bagaimana sih?"

Pak Ustadz tersenyum. Senang. Selalu saja ada kerinduan untuk menggoda istrinya. Manja. Ya, manja. Itu hal yang paling Pak Ustadz sukai dari istrinya. Kemanjaan yang alamiah. Bukan dibuat-buat dan dipaksakan.

Meski senang, di sudut hatinya Pak Ustadz tercenung. Benar! Ucapan istrinya benar! Hampir duabelas tahun ia menjalani pernikahan, tapi sekalipun ia tidak pernah menanyakan dalam hatinya perihal yang satu itu. Ayah yang baik dan ibu yang baik hanya sebuah proses. Itu keyakinan Pak Ustadz.

"Saya tidak tahu Umi sebab yang tahu pasti anak-anak kita?"

"Lho, kok anak-anak kita?"

"Iya. Sebab, mereka yang merasakan kehadiran kita sebagai ayah atau ibu."

"Tapi, Abi pasti punya penilaian tersendiri."

Pak Ustadz tersudut. Hatinya memang membenarkan tebakan istrinya. Kendati demikian, Pak Ustadz sejatinya hanya mampu meraba. Ia tetap tidak tahu apakah dirinya ayah yang baik atau bukan. Kata Pak Ustadz kemudian.

"Umi, kita berdua adalah pemimpin dalam rumah tangga kita. Kata Nabi, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang selalu mendoakan orang yang kita pimpin dan selalu didoakan oleh mereka. Sebaliknya, pemimpin yang buruk adalah pemimpin yg dibenci oleh orang yang kita pimpin dan dilaknat oleh mereka."

"Jadi?"

"Ya, nanti kita tanya ke anak-anak kita. Apakah mereka selalu mendoakan kita dalam sholatnya."

"Tapi, Abi selalu mendoakan anak-anak kitakan?"

"Insya Allah..."

Pak Ustadz dan istrinya saling tersenyum. Dalam hati mereka tersembul janji untuk senantiasa menjadi ayah dan ibu yang baik. * * *

Friday, August 20, 2010

21 TAHUN TERTIDUR

Hari libur. Fakih masih saja asyik dengan selimut dan bantalnya. Matanya terpejam. Rapat. Tubuhnya tak bergerak. Seolah mati. Padahal, pagi sudah hendak menanti. Ayah, ibu, dan ketiga adiknya sudah terjaga sedari tadi.

Pak Ustadz menggeleng-gelengkan kepalanya. Selalu saja begitu. Sejak dulu. Hobi tidur anak sulungnya itu telah sedikit merepotkan Pak Ustadz. Juga mengkhawatirkan. Tidak pagi, siang, sore, atau malam, tidur seperti menjadi idaman.

"Kak, bangun! Bangun!"

Suara Pak Ustadz tak membuat Fakih bergerak. Ia tetap saja diam. Seperti tidak mendengar suara dan tepukan ayahnya sendiri. Pak Ustadz sedikit geregetan. Karena, adzan subuh sudah siap-siap hendak dikumandangkan dari masjid seberang.

Pyur! Pyur!! Pyur!!!

Fakih gelagapan. Cipratan air dari tangan Pak Ustadz mengenai mukanya. Seketika Fakih terjaga. Matanya melek. Tapi, badannya masih saja tergelepar di tempat tidur. Melihat siapa yang usil Fakih mengeluh.

"Ah, Abi. Ngganggu saja. Inikan masih pagi..."

"Kak, ini hampir subuh. Ayo, siap-siap. Adik-adikmu sudah bangun dari tadi. Mereka sudah siap sholat berjamaah."

"Ah, aku nanti saja. Sholat sendirian."

Fakih menutupkan selimutnya rapat-rapat. Pak Ustadz tak mau kalah. Ia membuka selimut Fakih yang menutupi mukanya. Tak hanya itu, Pak Ustadz juga menarik tubuh Fakih hingga ia terduduk.

"Kakak, dengar!" ucap Pak Ustadz sedikit tegas. "Berapa usia Nabi saat wafat?"

Fakih terkejut. Ia bingung kenapa tiba-tiba ayahnya bertanya seperti itu. Mata Fakih mulai membuka.

"63 tahun," jawab Fakih.

"Selama usia itu, berapa tahun Nabi tidur?"

Fakih tak paham. Pertanyaan ayahnya membingungkan dirinya. Ia menggelengkan kepalanya. Pak Ustadz manggut-manggut.

"Jika usia Kakak nanti mencapai 63 tahun, maukah Kakak selama 21 tahun dari usia tersebut digunakan untuk tidur?"

"Ah, Abi ada-ada saja. Ya nggak mau."

"Nggak mau bagaimana? Kalau setiap hari manusia tidur delapan jam, berarti saat Kakak usia 63 tahun nanti, 21 tahunnya untuk tidur. Bahkan bisa lebih karena hobi Kakak tidur," kata Pak Ustadz sambil bergegas meninggalkan Fakih.

Fakih melongo. Lebih dari 21 tahun dalam hidup untuk tidur? Tidak!!!! * * *

Tuesday, August 10, 2010

BERI KEBAHAGIAAN KEPADA IBUMU!

Pak Ustadz sudah lama mengenalnya. Mungkin sekitar lima atau enam tahun. Mereka memang bertetangga, meski tidak terlalu dekat jarak rumahnya. Kegiatan di masjid kerap membuat Pak Ustadz dan dirinya bertemu.

Orang-orang, juga Pak Ustadz, mengenalnya sebagai Aldi. Mulanya, Aldi datang dengan status sebagai mahasiswa. Ia tercatat sebagai mahasiswa pada salah satu perguruan tinggi negeri di kota Pak Ustadz tinggal. Setelah beberapa waktu lulus, Aldi tetap tinggal di tempat itu, bahkan hingga kini. Ia tak pernah pindah.

Ada yang aneh dari Aldi. Selama studi ia tak pernah pulang kampung ke rumah orang tuanya. Juga tidak pernah terdengar orang tua, sanak atau kerabat dari kampung, menengok Aldi. Secara kebetulan Pak Ustadz pernah menanyakan persoalan itu kepada Aldi.

"Aldi, kok tidak pernah kedengaran pulang kampung ya?"

Mendengar pertanyaan seperti itu Aldi hanya tersenyum. Ia seperti malu hati. Lalu jawabnya,

"Belum kepingin pulang, Pak Ustadz. Nanti kalau kepingin pasti juga saya akan pulang."

'Tapi, orang tua masih sehatkan?"

"Tinggal ibu, Pak Ustadz."

Pak Ustadz sedikit tersedak. Tinggal ibu? Ah, kenapa justru malah tidak kepingin pulang jika ibu masih sehat. Pak Ustadz mulai sedikit meraba-raba. Tapi, dalam hati Pak Ustadz tidak timbul sedikitpun rasa curiga.

"Kalau tinggal ibu, kenapa Aldi malah jarang pulang?"

Aldi agak jengah. Mukanya sedikit memerah. Hatinya seperti tersudut.

"Saya ingin membahagiakan ibu saya, Pak Ustadz."

"Membahagiakan?"

"Iya, Pak Ustadz. Saya sudah berjanji dalam hati bahwa saya tidak akan pulang untuk menemui ibu saya sebelum saya sukses dalam studi dan pekerjaan. Sebab, hanya itulah yang mampu membahagiakan ibu saya."

Pak Ustadz tidak kaget dengan jawaban seperti itu. Karena jawaban seperti itu seringkali ia dengar dari mulut banyak orang. Mereka berpikir, hanya sukses dalam studi dan pekerjaan yang akan membuat orang tua bahagia. Ah, betapa rendahnya orang tua kalau hanya dipandang seperti itu.

"Tak bisakah Aldi pulang satu kali dalam setahun?"

"Sepertinya tidak bisa, Pak Ustadz."

"Tak bisakah Aldi pulang setelah enam tahun merantau?"

"Sepertinya belum, Pak Ustadz."

Pak Ustadz merinding. Hatinya bergetar. Ia tak mampu membayangkan betapa rindunya hati sang ibu kepada Aldi, anaknya itu. Kata Pak Ustadz kemudian.

"Aldi, pulanglah besok! Beri kebahagiaan kepada ibumu! Dengan kehadiranmu."

Aldi terdiam. Pak Ustadz pergi menghilang dari pandangan. * * *

Friday, August 06, 2010

PERKAWINAN KOTOR

Pak Ustadz tak tahu lagi harus berbuat apa. Matanya memerah. Menyala. Seperti marah. Tapi, sekejap kemudian berubah. Meredup. Lalu, seperti ada cahaya bening dalam bola matanya. Pak Ustadz menangis? Tidak! Matanya telah lelah untuk mengeluarkan air mata.

Duduk di hadapannya Pak Sodri, sepupu Pak Ustadz. Raut mukanya tak beda dengan Pak Ustadz. Hanya Pak Sodri terlihat sangat kuyu. Kusut. Kusam. Cahaya manusiawi yang diberikan Tuhan seolah luluh. Musnah. Hilang entah ke mana.

"Jadi, apa yang mesti aku lakukan sekarang?" tanya Pak Sodri lirih. Amat lirih.

Pak Ustadz tak mampu menjawab. Bibirnya terkatup rapat. Ia sangat takut keliru. Pak Ustadz tahu, sekali saja ia mengeluarkan nasihatnya, maka Pak Sodri pasti akan mengikutinya. Padahal, ini bukan persoalan biasa. Ini persoalan yang sungguh maha berat. Baru sekali Pak Ustadz menghadapi masalah yang seperti ini dan ia belum menemukan jawabannya. Jika ada masalah yang seperti ini Pak Ustadz lebih suka menghindar membicarakannya.

"Apa mesti aku nikahkan keduanya?" kembali bibir Pak Sodri membuka.

Mata Pak Ustadz menerawang. Mulutnya tetap tak menjawab. Hatinya menggeram. Ini semua gara-gara Nita! Akibat salah pergaulan, semua orang kini dipaksa menanggung akibatnya. Ya, menangung malu. Ya, menanggung bingung. Ya, menanggung dosa. Nita hamil sebelum ia melangsungkan pernikahannya.

"Atau aku tunggu sampai Nita melahirkan baru aku nikahkah?" Pak Sodri lagi-lagi meminta persetujuan.

Pak Ustadz tetap tak bersuara. Hatinya tidak yakin Pak Sodri mampu melakukan itu. Jika itu benar dilakukan persoalannya adalah bersediakah Nita untuk tidak menikah demi bayi yang dikandungnya? Lalu, bagaimana dengan keluarga pihak laki-laki? Maukah mereka menuruti dan mengikuti kemauan Pak Sodri.

"Aku benar-benar bingung. Sebagai orang tua, aku tak tahu lagi mesti berbuat apa. Aku benar-benar putus asa...."

Putus asa? Pak Ustadz tergeragap. Kaget. Allah mengutuk orang-orang yang bersikap putus asa. Tapi, ia memaklumi jika Pak Sodri dilanda putus asa. Siapa yang mau anaknya hamil di luar nikah? Siapa yang mau anaknya menikah dalam keadaan perut membesar? Siapa yang mau dilanda persoalan tanpa tahu jalan keluarnya. Maka sungguh tidak mudah.

"Kau benar tidak tahu jalan keluarnya?!"

Pak Ustadz menatap mata Pak Sodri. Terarah. Tajam. Matanya menandakan bahwa Pak Ustadz memang tidak mampu memberikan jawabannya, walau sedikit. Pak Ustadz menyerah. Ia diterpa jalan buntu seperti yang juga dialami Pak Sodri, sepupunya itu.

Pak Ustadz mengutuki dirinya sendiri. Batinnya berbicara.

"Pernikahan adalah sesuatu yang indah. Kenapa banyak orang yang suka merusaknya sendiri. Perkawinan adalah sesuatu yang suci. Kenapa tidak sedikit orang yang malah mengotorinya sendiri."

Pak Sodri beranjak pergi. Mata Pak Ustadz seperti berair. Ia tak rela melepas sepupunya itu pergi tanpa pegangan dari dirinya. Ah, kenapa hanya masalah hamil di luar nikah aku tak mampu berbicara tegas?, bisiknya. Pak Ustadz menutup wajahnya dengan kedua tangannya. * * *

Tuesday, August 03, 2010

MENGAMBIL "HATI" TUHAN

Pak Ustadz masih terpekur di atas sajadahnya. Sepertiga malam. Sebuah waktu yang sangat dianjurkan Allah untuk mengadu, bahkan kalau perlu hingga menitikkan air mata. Tentu, karena keterbatasan kita sebagai mahkluk, hamba. Tapi, jangankan menitikkan air mata, bahkan untuk sekadar berbisik pun Pak Ustadz gagal.

Bibir Pak Ustadz bisu, lidahnya terasa kelu. Pak Ustadz ingin berucap, tapi ia tak punya daya. Pak Ustadz ingin ingin berbicara, tapi ia tak kuasa. Pak Ustadz ingin menumpahkan air mata, tapi bulir-bulir air mata itu tak pernah meluncur dari mata air di matanya.

"Ya Allah, kenapa Engkau hilangkan air mata di saat aku memerlukannya? Bukankah Engkau senantiasa perlu bukti agar aku pantas dimasukkan ke dalam surgamu karena aku adalah seorang hamba yang saleh?"

Pak Ustadz tak menyerah. Ia ingat nasihat dan petuah para gurunya dulu jika ia ingin menangis di hadapan Allah pada sepertiga malam.

Kata gurunya, "Ingatlah akan nikmat Tuhan yang tanpa batas itu. Udara, air, tumbuhan, atau hewan. Juga kesehatan, mata sebagai indera penglihat atau telinga sebagai indera pendengar. Pada nikmat yang tanpa batas itu sesungguhnya ada air mata bila kamu merenunginya."

Guru yang lain berkata, " Cobalah engkau ingat akan keliru dan salah. Pada keliru dan salah itu tak jarang terkandung dosa. Seorang hamba yang saleh pasti akan menitikkan air mata sebagai tanda sesal saat ia berbuat dosa."

Pak Ustadz tetap tak bisa menangis. Air matanya enggan tumpah. Sepertiga malam seolah menjadi rutinitas belaka. Ia tidak menimbulkan sensasi pribadi, apalagi menumbuhkan watak dan sifat hakiki. Pak Ustadz merasakan ada yang salah pada dirinya.

Pak Ustadz selalu ingat betapa banyak ia menumpahkan air mata saat ia memimpin doa di hadapan para khalayak yang berjejal dalam majelis-majelis zikir yang dipimpinnya. Bersama ratusan jamaah ia sesenggukan meluberkan air mata. Air mata itu tak pernah kering, ia selalu ada.

Ya Allah, haruskah aku menangis karena aku sudah tidak lagi bisa menangis di hadapanMu?

Pak Ustadz sekarang tahu, sejatinya ia belum paham benar bagaimana cara mengambil hati Tuhan. Pak Ustadz juga belum mengerti benar bagaimana cara "bercinta" dengan Tuhan. Kalau itu saja belum, bagaimana mungkin dirinya hendak disebut sebagai hamba yang saleh dan alim.

Tanpa sadar, Pak Ustadz menitikkan air mata. * * *

ANAK PINTAR DAN ANAK BODOH

Pak Ustadz terperangah. Wajahnya kaget, tak percaya. Di depan mukanya ia melihat langsung anak pertamanya marah-marah. Fakih memarahi kedua temannya yang tidak mengikuti, bahkan menolak pendapatnya.

"Salah! Itu salah! Pendapat aku yang benar. Kamu keliru!"

Mirip berteriak. Wajah Fakih mengeras. Matanya seolah hendak meloncat keluar. Ia tidak menerima jika yang dikatakannya keliru. Ia justru menyalahkan pendapat kedua temannya yang berbeda dengan dirinya.

Jaka dan Ade yang duduk mengapit Fakih seperti tak enak hati. Keduanya bahkan seperti ketakutan. Mereka hanya menundukkan wajahnya. Mereka tak berani mempertahankan pendapatnya setelah melihat raut muka Fakih.

"Kalau tidak percaya kamu bisa buka kembali catatan yang dulu. Di situ pasti tertulis jelas bahwa simbiosis komensalisme adalah hubungan sesama makhluk hidup yang satu diuntungkan yang lain dirugikan."

"Bukan Fakih....." tampik Jaka dengan ucapan yang lirih.

"Itu simbiosis parasitisme..."

"Bukan! Komensalisme. Kamu berdua keliru. Salah!"

Pak Ustadz tahu mana pendapat yang benar dan pendapat mana yang salah. Namun, ia sengaja membiarkan ketiganya berdebat. Ia ingin tahu bagaimana ketiganya menyelesaikan perbedaan pendapat saat belajar bersama di rumah.

Pak Ustadz hanya memainkan matanya. Melirik, pura-pura tidak melihat. Ia seperti asyik membaca buku yang ada di pangkuannya. Padahal seluruh indera yang dimilikinya diluncurkan pada peristiwa

"Ayo, sekarang kita lihat catatan kemarin!"

Pak Ustadz tahu, kenapa kedua teman Fakih tidak yakin dengan pendapatnya sendiri. Bahkan mereka berdua terlihat takut. Pertama, mereka tidak yakin dengan pendapatnya karena Fakih memang anak yang paling pintar di kelasnya. Kedua, Fakih memiliki pribadi yang kuat dan sulit untuk mengalah. Ketiga, mereka belajar di rumah Fakih sehingga mereka terkesan tidak ingin ribut.

Sesaat kemudian.

"Kalian benar. Aku yang keliru."

Plong! Pak Ustadz tersenyum melihat Fakih mengakui kesalahannya. Secara sportif, Fakih bahkan menyalami kedua temannya. Ketiganya tersenyum. Mereka melanjutkan belajar bersama.

Pak Ustadz terpekur. Benaknya teringat kata-kata bijak tentang anak pintar dan anak bodoh. Konon, anak pintar ialah anak yang mampu mengekang jiwanya dan memikirkan bahwa segala tindakannya selalu berkaitan dengan Tuhan yang Maha Melihat. Sedangkan, anak yang bodoh adalah anak-anak yang mengikuti hawa nafsunya dan selalu berangan-angan bahwa Tuhan akan selalu bersama dirinya.

Ah, semoga kalian menjadi anak-anak yang pintar, bisik Pak Ustadz. ***

Friday, July 30, 2010

MATA PESANTREN

Istri Pak Ustadz lagi tak enak badan. Alhasil, Pak Ustadz mesti berangkat ke sekolah untuk mengambil rapor milik si sulung. Ah, pekerjaan yang membuatku malas, batin Pak Ustadz. Selalu begitu, sejak dulu. Kenapa Pak Ustadz didera rasa malas setiap pergi ke sekolah untuk mengambil rapor?

Mata Pak Ustadz menyapa ruang kelas. Penuh! Hanya ada satu kursi yang tersisa. Itupun ada di ujung. Mata Pak Ustadz kembali beredar. Aduh, hatinya mengeluh. Tak ada lelaki yang duduk di sana. Semua perempuan, semua ibu-ibu.

Pak Ustadz melangkah masuk. Ia memberi senyuman, pertanda kesopanan. Pak Ustadz mengambil tempat duduk yang kosong.

"Mengambil rapor, Pak?" Basa-basi seorang ibu yang duduk paling dekat dengan Pak Ustadz.

Pak Ustadz mengangguk. Bibirnya tersenyum.

"Lho, kok bukan ibunya. Ke mana ibunya, Pak?" Ibu-ibu yang lain mulai terlibat dalam pembicaraan.

"Sakit. Tidak enak badan."

Para ibu mengerti setelah mendengar jawaban Pak Ustadz. Mereka melanjutkan pembicaraannya. Mereka meninggalkan Pak Ustadz dalam diam. Meski ditinggalkan, Pak Ustadz tetap mendengar suara-suara mereka. Ibu-ibu itu sedang berbicara tentang masa depan anak-anaknya.

"Oh, anakku pingin jadi artis. Saya kan bingung. Soalnya bapak ibunya bukan artis," kata ibu yang berbaju merah sambil terkekeh.

Ibu yang berbaju hijau tidak mau kalah. Ia berusaha menganggap dirinya lebih dibanding ibu yang berbaju merah.

"Anakku artis nggak mau. Katanya, para artis banyak yang tidak pintar. Ia malah pingin jadi dokter. Padahal sudah saya bilang kalau dokter sekarang sama saja. Susah nyari kerjanya."

Ibu yang terakhir bergabung menyela. Nadanya sinis.

"Anakku belum punya cita-cita. Tapi, aku ingin ia jadi politisi. Gede bayarannya, kerjanya sedikit. Bisa bolos lagi. Enak-kan kerja seperti itu.... "

Sepi. Pembicaraan ibu-ibu itu berhenti. Nyenyat. Tiba-tiba ibu yang berbaju hijau menoleh ke Pak Ustadz dan bertanya.

"Kalau putra Bapak ingin jadi apa?"

Pak Ustadz tergeragap. Kaget. Benar-benar kaget. Namun, hanya sesaat. Ia kemudian menjawabnya ringan.

"Jadi ustadz, makanya habis lulus nanti akan saya masukkan ke pesantren."

"Pesantren?" Ibu-ibu yang lain ikut terkejut. Pak Ustadz mengangguk.

"Iya. Biar mata anak saya belajar melihat apa yang semestinya dilihat. Telinga anak saya belajar mendengar apa yang seharusnya didengar. Mulut anak saya belajar berbicara apa yang seharusnya ia bicarakan.Hati anak saya belajar bergumam apa yang seharusnya ia gumamkan.""

Kali ini ibu-ibu yang lain ikut terkejut mendengar jawaban Pak Ustadz. Dalam benak dan hati mereka berucap lirih, orang aneh! Benar orang aneh! * * *

Wednesday, July 07, 2010

KREATIF PELIT

Mobil-mobil di depan berjalan lambat. Seperti keong. Tertatih-tatih. Pak Ustadz mulai hilang kesabaran. Tombol klakson di kemudi sudah hendak ditekannya. Namun, jari Pak Ustadz langsung berhenti ketika telinganya menangkap sayup-sayup suara.

"Terima kasih bapak-ibu atas sumbangannya. Semoga sumbangan itu mampu membuat kami segera menyelesaikan pembangunan masjid ini. Dan semoga perjalanan bapak-ibu tidak kurang suatu apa hingga sampai di tempat tujuan. Amien."

Pak Ustadz paham. Amat paham. Mobil-mobil di depan yang berjalan pelan terhalang oleh "serombongan" peminta sumbangan. Mereka sengaja memasang tanda berupa tong dan sedikit tulisan pada kain. Mau tidak mau mobil yang melewati jalanan itu berjalan pelan.

Saat mobil yang lewat berjalan pelan, rombongan peminta sumbangan itu segera menyodorkan keropak ke mobil-mobil itu. Bila penumpang dalam mobil menyodorkan uang, maka ucapan terima kasih dan selarik senyuman meluncur dari mereka. Namun, jika penumpang tak menyodorkan, bibir mereka terkatup rapat.

"Paman, kita kasih nggak?" tanya Farid, keponakan Pak Ustadz yang kini beranjak remaja.

Pak Ustadz terdiam sebentar. Katanya kemudian.

"Kasih saja."

"Berapa Paman?"

"Kamu bisa ambil uang yang ada di laci dashboard. Di situ sepertinya ada uang yang cukup untuk menyumbang mereka."

Farid membuka laci. Ia menemukan selembar uang sepuluh ribuan. Dilihat dan ditimang-timangnya uang itu. Lalu, dielus-elusnya. Seperti ada yang aneh pada uang itu, tapi lebih-lebih pada Farid. Ia seperti berpikir keras. Keningnya berkerut.

"Paman, sayang ya kalau uang ini kita kasihkan ke mereka.., " ucapnya dengan mimik aneh.

"Lho kenapa?"

"Jujur, aku nggak suka orang-orang seperti mereka. Kerjanya cuma mempermalukan diri mereka sendiri. Lebih lagi, mereka telah mempermalukan Islam. Paman pikir, apakah tidak ada cara lain untuk membangun masjid, selain meminta-minta sumbangan di jalanan."

Pak Ustadz terkejut mendengar suara Farid. Ada puluhan rasa bertentangan yang bergelayut. Kecewa, sedih, jengkel, khawatir. Namun, di sudut lain, ada senyum dan rasa bangga Pak Ustadz terhadap sikap kritis Farid.

"Umat Islam mestinya kreatif dan jauh dari watak meminta-minta. Apalagi ini pekerjaan mulia, menggalang dana dan dukungan untuk pendirian masjid. Bener begitukan, Paman?"

Pak Ustadz terdiam.

"Bagaimana Paman?" ulang Faris.

Pak Ustadz mendehem sejenak. Lalu katanya.

"Bener. Tapi, tidak semestinya kita menyalahkan mereka. Sebab, bagaimana mereka tidak menengadahkan tangan di sepanjang jalan jika kita-kita ini tetap bersikap pelit dan bakhil terhadap sesama, bahkan terhadap orang-orang seperti mereka. Jelas agama ini susah untuk maju."

Kali ini gantian Sofwan yang terkejut. Ia seperti bingung mencerna ucapan Pak Ustadz. Namun, Pak Ustadz tak peduli. Ia tetap memandang ke depan dengan setir kemudi di tangannya. * * *

Tuesday, June 29, 2010

CITA-CITA SANG KUNCEN

Ada banyak penjaga makam atau kuncen. Tapi, tidak ada yang seunik Pak Tarno. Usianya sudah mendekati uzur. Jalannya sedikit tertatih. Tongkat tak pernah lepas dari tangannya. Namun, wajah Pak Tarno seolah polos, bersih. Wajahnya ibarat orang tak berdosa. Seperti kanak-kanak.

Pak Tarno serasa beda dengan wajah para kuncen di makam yang lain. Kebanyakan kuncen berwajah seram atau sengaja menyeramkan diri. Juga kumuh, terlihat kotor. Entah kenapa. Mungkin karena dirinya sadar sebagai penjaga kuburan, maka sengaja menyeramkanatau mengumuhkan diri. Biar disegani sekaligus ditakuti para peziarah.

"Sehat, Pak Pak Tarno?"

Sebuah sapaan ramah menyentuh telinga Pak Tarno. Pak Ustadz!

"Eh, Pak Ustadz. Alhamdulillah. Berkat doa Pak Ustadz."

Pak Ustadz dan Pak Tarno kemudian duduk di bebatuan dekat makam. Seperti biasa mereka bicara ngalor ngidul. Seperti tak ada habisnya. Kadang Pak Tarno yang bertanya, Pak Ustadz menjawab. Kadang Pak Ustadz yang bertanya, Pak Tarno yang menjawab.

"Oh, jadi setua gini, Pak Tarno masih menyimpan cita-cita?" Canda Pak Ustadz yang dibarengi dengan senyum menggoda.

Pak Tarno tersipu malu. Mulutnya sedikit membuka.

"Tapi, aneh juga ya, apakah orang tua tidak boleh bercita-cita? Tentu saja boleh dan bahkan harus. Selama tubuh masih bernafas, kita mesti memiliki cita-cita. Hidup Pak Tarno!"

Pak Ustadz tetap menggoda Pak Tarno.

"Cita-cita Pak Tarno apa memang?"

Pak Tarno tak menjawab. Mulutnya tertutup rapat. Ia hanya menunduk.

"Lho kok jadi diam..."

Pak Tarno hanya memainkan tongkatnya yang mengorek-orek rumput. Bibirnya terkatup rapat. Suasana senyap. Sepi. Namun, tiba-tiba Pak Tarno bersuara lirih. Amat lirih. Pak Ustadz seolah tidak mendengarnya. Tapi, suara Pak Tarno lama kelamaan terdengar jelas. Amat jelas.

"Saya hanya memiliki sedikit cita-cita. Itupun banyak yang tidak bisa saya capai. Tapi, untuk yang ini saya berusaha mencapainya. Dengan sekuat tenaga. Dengan sekukuh daya. Saya tidak tahu lagi jika cita-cita inipun tidak mampu saya wujudkan. Mungkin saya akan menjadi orang yang paling menyesal seumur hidup."

"Memang sekarang ini cita-cita Pak Tarno apa?"

Pak Tarno mendongakkan wajahnya. Ia menatap Pak Ustadz tajam. Katanya,

"Mati dalam keadaan tidak merepotkan. Mati dalam keadaan tidak menyedihkan. Mati dalam keadaan tidak memalukan."

Pak Ustadz terkejut. Dadanya bergetar mendengar suara Pak Tarno. Tubuhnya merinding. Kali ini ia mendapatkan pelajaran yang sangat dalam dari Pak Tarno, seorang kuncen, sahabatnya itu. * * *

Tuesday, April 27, 2010

MUNAFIK CINTA

Mata Pak Ustadz mengerjap-ngerjap. Mulutnya kadang tersenyum, kadang diam membisu. Sendirian. Di ruang tengah. Ia asyik mendengarkan celoteh dua perempuan yang berada di ruang tamu. Istrinya sendiri dan Wanti, sahabat istrinya.

"Benar! Aku tak bisa melupakan dia. Setiap saat dia datang dalam mimpiku. Wajahnya, perawakannya, candanya. Semuanya. Aku tidak tahu kenapa Tuhan tidak pernah menyatukan aku dengannya...."

Suara Wanti terdengar sendu. Istri Pak Ustadz terkekeh.

"Kamu kira aku bercanda?!"

Wanti mengeras. Ia tidak senang suara hatinya ditertawakan orang lain, sekalipun itu sahabatnya sendiri. Ia tak mau dirinya menjadi bahan olok-olokan dari masalah yang tengah dihadapinya.

"Maaf... Maaf. Aku tidak bermaksud demikian. Benar, aku sama sekali tidak ingin mentertawakanmu. Sekali lagi aku minta maaf."

Istri Pak Ustadz merasa bersalah. Senyumannya yang terasa sedikit nyinyir hanyalah karena ia memang tak kuasa menahan tawa di hatinya mendengar curahan hati Wanti, sahabatnya itu.
Mosok, sudah menikah hampir delapan tahun dan beranak satu masih saja tak bisa melupakan kekasih yang dulu. Aneh, tapi unik.

"Mungkin dari hatimu yang paling dalam sebenarnya kau tidak terlalu mencintai suamimu?"

"Oh, tidak! Tidak! " potong Wanti cepat. " Aku sangat mencintainya. Dia seorang suami yang penuh pengertian bagiku. Ayah yang baik bagi anakku. Pria yang tulus bagi keluargaku."

"Lalu, kenapa kamu begitu susah untuk melupakan kekasihmu yang dulu itu?"

"Itulah... Kenapa aku datang ke sini. Karena aku butuh nasihatmu. Aku tersiksa dengan hal ini."

Istri Pak Ustadz terdiam. Hatinya tercenung. Ia tidak menyangka Wanti yang terlihat begitu bahagia dengan suaminya itu ternyata menyimpan derita. Derita masa lalu yang tidak mampu ia kubur. Derita tentang cinta.

"Aku merasa berdosa terhadap semuanya. Aku seolah orang yang paling munafik di dunia ini. Aku telah menyimpan dua orang terkasih dalam satu hati."

Istri Pak Ustadz melihat rona merah di wajah Wanti. Sembab. Seolah menahan diri dari tangis. Istri Pak Ustadz ingin berkata banyak, tapi ia sendiri bingung apa yang mesti diungkapkannya. Sebab, ini masalah hati. Sebab, ini masalah perasaan. Sebab, ini masalah cinta.

"Hilangkan pikiran tentang kebaikannya. Munculkan keburukan-keburukannya. Moga ini dapat menghilangkan mantan kekasihmu itu dari hatimu...."

Istri Pak Ustadz terbebas dari beban. Ia merasa senang telah memberikan jalan keluar yang -menurutnya- terbaik. Namun, ucapan Wanti membuat istri Pak Ustadz terkejut.

"Itu semua sudah aku lakukan. Aku gagal...."

Di ruang tengah, Pak Ustadz terpekur. Pikirannya melayang ke Surat Al Baqarah ayat 216.

"
Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat berguna bagimu. Dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui."

Inikah jawaban itu sebenarnya?* * *

Monday, April 26, 2010

CERAI? SETAN PASTI TERTAWA!

Pak Ustadz mendampingi sepupunya di Kantor Pengadilan Agama (PA). Bukan mendampingi! Karena lebih tepatnya menasehati. Pak Ustadz berusaha mencegah saudara sepupunya itu mengajukan gugatan cerai terhadap istrinya.

Sejak sebelum sampai di Kantor PA Pak Ustadz sudah menganjurkan. Hentikan! Hentikan upayamu untuk menggugat cerai istrimu! Namun, mulut Pak Ustadz rasanya sudah berbusa-busa tanpa hasil. Sepupunya tetap berniat menceraikan istrinya yang telah memberinya seorang anak.

"Apa sebenarnya yang membuatmu ingin menceraikan istrimu?" tanya Pak Ustadz kepada saudara sepupunya itu.

Sepupunya tak mau menjawab. Ia hanya diam. Lalu lalang orang di kantor PA seolah membuat sepupu Pak Ustadz itu malas bicara. Tapi, itu tak lama. Semenit kemudian muncul suara saudara sepupu Pak Ustadz itu.

"Yah... karena memang sudah tak ada kecocokan lagi."

"Oh, jadi kalau sudah nggak cocok cerai, begitu. Iya? Enak banget ya...."

Sepupu Pak Ustadz itu terdiam, tak menjawab. Matanya lurus menatap ke depan. Kosong. Omelan Pak Ustadz seperti mengenai benar sudut hatinya.

"Kalau setiap ketidakcocokan dalam pernikahan lalu diselesaikan dengan perceraian, betapa bodohnya orang yang melakukan pernikahan itu."

Sepupu Pak Ustadz bergetar. Hatinya tersentil. Perih.

"Coba kamu pikir. Apakah Tuhan menciptakan manusia dalam bentuk yang sama? Tentu tidakkan. Nah, kalau kita sadar bahwa kita tidak sama, kenapa kita memaksa orang lain, bahkan yang paling dekat dengan kita sekalipun, untuk selalu sama dengan kita? Bukankah Tuhan sekalipun, sang penguasa alam, tidak pernah memaksa makhluknya untuk tunduk dan patuh kepada diri-Nya?"

Sepupu Pak Ustadz kini menunduk.

"Sama, seragam, cocok sejatinya malah membuat pernikahan menjadi hambar. Ia kehilangan kekuatan dan keindahannya. Pernikahan menjadi indah karena adanya perbedaan, ketidakcocokan. Bukankah taman yang indah karena di sana ada mawar, melati, matahari?

Pak Ustadz sengaja menumpahkan perkataannya. Ia sadar, inilah waktu terakhir yang bisa ia gunakan untuk mencegah sepupunya itu memasukkan gugatan cerai di Kantor PA.

Pak Ustadz terdiam sesaat. Tangannya menyentuh pundak saudara sepupunya itu. Katanya kemudian.

"Kau tahu, siapa yang paling senang dengan perceraian yang hendak kamu lakukan ini?"

Saudara sepupu Pak Ustadz mendongak. Matanya menatap mata Pak Ustadz. Ia menggelengkan kepalanya.

"Setan!"

Sepupu Pak Ustadz terkejut sejenak.

"Jika kamu ingin menjadi musuh setan, batalkan gugatan itu. Tapi, bila kamu ingin bersahabat dengan setan, teruskan gugatan perceraianmu itu." * * *

Friday, April 23, 2010

NARAPIDANA

Pak Ustadz menyambangi rumah bercat biru. Rumah yang sederhana. Tak ada kesan mewah pada rumah itu. Tapi, tidak untuk penghuninya. Sudah seminggu lebih puluhan orang mengunjunginya. Tentu pertanda, kalau penghuninya cukup istimewa.

Namun, siapa pemiliknya? Pak Agus, pemilik rumah bercat biru itu. Orang yang sangat biasa. Sederhana dan jujur, lembut dan baik hati. Tapi, gara-gara sebuah perkara, ia mesti rela memasrahkan tubuhnya di jeruji besi. Selama 3 tahun. Kini, Pak Agus telah bebas. Ia kembali ke tengah-tengah keluarga dan masyarakat.

"Sehat, Pak Agus?" sapa Pak Ustadz sambil memeluk Pak Agus. Pak Agus membalasnya dengan senyum tulus.

"Alhamdulillah.... Berkat doa Pak Ustadz."

Mereka berdua duduk di ruang depan. Secangkir teh hangat dan suguhan pisang goreng menemani pertemuan keduanya. Pak Ustadz dan Pak Agus ngobrol ngalor-ngidul.

"Eposide ini jadi pelajaran yang sangat penting, ya Pak Agus?"

"Sangat penting, Pak Ustadz. Dulu, saya tidak terlalu paham apa yang seharusnya saya raih dalam hidup. Di penjara, saya kini jadi tahu apa yang semestinya saya cari. Hanya ada tiga. Cukup tiga saja. Dan kini saya sedang mencoba belajar meraihnya."

"Apa itu Pak Agus?"

Pak Ustadz sedikit penasaran. Mukanya memerah. Tak sabar ingin segera mendapat penjelasan dari Pak Agus.

"Pertama, ikhlas. Karena, hanya sikap ikhlas yang membuat setiap amalan yang kita lakukan menjadi nikmat, ringan, dan tidak melelahkan."

Pak Ustadz mengangguk.

"Kedua, istiqomah. Sebab, cuma istiqomah yang mampu mengantarkan kita untuk bersikap tegak dan lurus pada jalan Allah pada setiap waktu dan tempat."

Pak Ustadz manggut-manggut.

"Lalu, yang ketiga apa Pak Agus?"

Pak Agus terdiam. Ia tidak langsung menjawab pertanyaan Pak Ustadz. Matanya menerawang. Menerobos jendela rumah. Entah memikirkan apa.

"Yang ketiga, Pak Agus?" ulang Pak Ustadz.

"Saya hanya ingin mengakhiri hidup ini dengan khusnul khotimah. Mati dalam keadaan sebagus-bagusnya orang mati. Karena, hanya mati yang seperti ini yang membuat manusia menjadi mulia di mata Allah dan Rasulnya."

Pak Ustadz memandang mata Pak Agus. Ia melihat air jernih di mata Pak Agus. Bersih. Mengambang. Pak Ustadz tak ingin berkedip. Ia tahu, ia kini telah mendapat pelajaran yang sangat berharga dari Pak Agus, mantan narapidana itu. * * *

Monday, April 05, 2010

TAK ADAKAH KEHORMATAN DALAM PERNIAGAAN?

Pak Ustadz termangu. Matanya sedikit nanar. Ia takjub melihat ratusan orang antre berdesak-desakan. Peluh dan rasa lelah seperti tak dihiraukan orang-orang itu. Pendaftaran PNS. Ah, maklum mereka semua masih muda.

Keinginan hati Pak Ustadz untuk bertemu dengan temannya yang bekerja di sebuah departemen seketika diurungkan. Antre itu begitu menarik perhatiannya. Mata Pak Ustadz menengok ke kanan-kiri. Alhamdulillah, batin Pak Ustadz. Ia melihat sebuah kursi yang kosong.

"Maaf, ibu. Kursi ini kosong?" tanya Pak Ustadz kepada seorang ibu setengah tua yang duduk di samping kursi yang hendak diduduki Pak Ustadz. Ibu itu sedikit terkejut.

"Oh, kosong, Pak. Silakan... Silakan."

Pak Ustadz meletakkan tubuhnya pada kursi bersandar. Badannya diluruskan. Sejenak rasa lelah dan pegal hilang.

"Ikut mendaftar PNS, Pak?" tanya ibu itu ramah.

"Oh, nggak, bu. Nggak. Saya hendak bertemu dengan teman saya yang bekerja di sini. Kami janjian. Sudah lama kami tidak bertemu, " jawab Pak Ustadz.

Ibu itu mengangguk.

"Kalau Ibu, ada urusan apa di sini?" Pak Ustadz balik bertanya.

"Saya mengantar anak. Mau mendaftar PNS. Itu anak saya, laki-laki. Yang pakai baju biru celana hitam."

Mata Pak Ustadz mengikuti telunjuk ibu itu. Ia melihat seorang pemuda berambut ikal, berpakaian rapi, dan berkulit bersih.

"Saya ingin ia diterima. Saya berharap ia bisa menjunjung tinggi harkat dan martabat orang tua. Nama keluarga kami pasti akan terangkat jika ia diterima sebagai PNS."

Pak Ustadz manggut-manggut mendengar harapan ibu itu. Hatinya terdera rasa penasaran.

"Pasti keluarga ibu PNS..."

"Oh, tidak. Tidak ada, " potong ibu itu. "Bahkan tidak ada satupun keluarga kami yang PNS. Kami semua wiraswasta tulen. Kami memiliki beberapa pabrik yang cukup buat kami makan dan hidup."

Pak Ustadz tidak terkejut dengan jawaban ibu itu karena penampilan ibu itu memang menunjukkan kalau ia orang berada. Tapi, Pak Ustadz terkejut dengan kehendak ibu itu terhadap anaknya.

"Lalu, kenapa ibu ingin anak ibu lulus PNS?"

Ibu itu tersenyum. Agak nyinyir. Pak Ustadz jengah. Ia merasa jika pertanyaannya disalahkan.

"Karena kami ingin ia menduduki jabatan yang tinggi. Dengan jabatan itu kedudukan, juga martabat dan kehormatan akan ia dapat."

"Apakah wiraswasta yang selama ini keluarga ibu jalankan tidak mendatangkan kedudukan, kehormatan, dan martabat?"

Ibu itu kembali tersenyum.

"Kalau Bapak seorang wiraswasta pasti Bapak tidak akan bertanya seperti itu."

Pak Ustadz tergeragap. Pikirannya berputar-putar. Bingung. Baru kali ini Pak Ustadz merasakan kebingungan yang luar biasa. Bagaimana mungkin rezeki perniagaan yang begitu dianjurkan oleh Nabi untuk direngkuh, ternyata malah begitu disepelekan oleh umatnya. Apakah rezeki dan kedudukan PNS lebih berharga dibanding rezeki dan kedudukan perniagaan?

"Mari Pak, anak saya sudah selesai." * * *

Tuesday, March 30, 2010

BAKSO RASA BASMALAH

Pak Ustadz duduk pada bangku kayu di depan rumah. Sore itu, sehabis ashar. Matanya sedari tadi bergerak ke sana ke mari. Sedikit gelisah. Pak Ustadz menunggu sesuatu. Ia menunggu Kang Sabar, penjual bakso yang setiap hari melintas di depan rumahnya.

"Alhamdulillah.... Akhirnya datang juga!"

Mulut Pak Ustadz bergumam lirih. Bibirnya menyungging senyum. Dari jauh telinga Pak Ustadz mendengar suara sendok yang diketukkan ke mangkok. Ting! Ting! Ting! Bakso Kang Sabar. Bakso yang dirindukan oleh hampir semua warga di kampung Pak Ustadz tinggal.

Tidak terlalu beda, begitu banyak orang berkata setiap kali melihat bakso Kang Sabar tersedia di mangkok putih. Mie campur bihun, sayur cesim, daun seledri, bawang merah goreng, kecap, saus, dan bola bakso. Tapi, jangan ditanya soal rasa. Bakso semangkok Rp. 5000 itu telah menjungkir-balikkan nalar orang.

"Enak! Enak sekali!"

"Wah, ini sih nggak kalah dengan bakso yang mangkal."

"Hebat. Bagaimana cara bikinnya ya?"

Pak Ustadz adalah salah seorang yang tergoda dengan bakso Kang Sabar. Syukur, Kang Sabar bukan tipe penjual bakso yang pelit menularkan resepnya. Di hadapan Pak Ustadz, ia memberikan pengetahuan cara membuat bakso agar memiliki rasa seperti bakso dagangannya. Tak ada yang ditutup-tutupi. Semuanya.

Sayang, Pak Ustadz memang bukan Kang Sabar. Tangan, lidah, dan keterampilan Pak Ustadz berbeda dengan Kang Sabar. Sesudah bolak-balik mencoba hingga puluhan kali, Pak Ustadz mengambil kesimpulan bahwa bakso buatannya tak pernah mampu menandingi rasa bakso Kang Sabar yang gurih, kenyal, dan enak.

"Kang, kok bakso yang aku buat tetap beda ya. Padahal semua petunjuk Kang Sabar sudah aku praktikkan. Tak ada yang kurang," keluh Pak Ustadz sesaat sesudah Kang Sabar berhenti di hadapannya.

Kang Sabar tersenyum. Sedikit malu. Keluhan Pak Ustadz, baginya lebih mirip pujian. Dada Kang Sabar berdesir. Bangga. Namun, Kang Sabar tak mau jumawa. Ia berusaha mengikisnya.

"Waduh, saya juga nggak tahu, Pak Ustadz. Wong semua cara dan resep sudah saya tularkan."

"Hayo, jangan-jangan ada yang Kang Sabar sembunyikan..."

Pak Ustadz mencoba bercanda. Mulutnya menggoda. Tapi, candaan Pak Ustadz ternyata membuat Kang Sabar terdiam. Tak bicara. Sepi. Nyenyat.

"Kok diam, Kang?"

Kang Sabar tergeragap. Ia kini tahu jawabannya. Mulutnya tersenyum. Matanya sedikit nakal.

"Saya tahu, Pak Ustadz, kenapa rasa bakso itu berbeda..."

"Kenapa, Kang?"

"Karena pada setiap memulai pembuatan bakso, saya tak pernah lupa mengawalinya dengan ucapan basmalah dan doa, sedangkan Pak Ustadz mungkin melupakannya."

Pak Ustadz terkejut. Matanya sedikit terbelalak. Halah! Kok ucapan mulia itu dibawa-bawa dalam urusan bakso?

"Maaf, Pak Ustadz. Dagang bakso pekerjaan utama saya, bukan sampingan. Saya tidak bisa main-main. Karena itu, dalam setiap doa, saya berucap. Ya, Allah, berikanlah kemudahan yang semudah-mudahnya kepada saya jika bakso ini bermanfaat bagi orang lain. Namun, berikanlah kesulitan yang sesulit-sulitnya bila bakso ini tidak bermanfaat bagi orang lain. Begitu Pak Ustadz."

Oh, begitu. Tapi, ah, mungkin benar kata Kang Sabar. Aku menyepelekan pekerjaan itu sehingga aku melupakan ucapan Basmalah dan doa.

Diam-diam Pak Ustadz tersenyum. Gembira. Walau dalam hati. * * *

Tuesday, March 23, 2010

ROKOK? BUKAN MAKRUH ATAU HARAM!

Pak Ustadz sudah hampir mencapai taraf bosan. Ia sudah tidak mau lagi bicara. Tapi, kali ini ia datang lagi. Dengan soal yang lagi-lagi sama. Bang Tata! Rokok! Sepertinya, ucapan dan ketegasan Pak Ustadz beberapa hari yang lalu tidak menyurutkan Bang Tata untuk kembali menemuinya.

"Maaf, Pak Ustadz. Terpaksa saya datang lagi...."

Pak Ustadz hanya mesem. Bagi Pak Ustadz, datangnya Bang Tata ibarat mendapat kiriman durian busuk. Mabuk, memabukkan. Mual, memualkan. Lidah Pak Ustadz sudah kaku. Perut Pak Ustadz ingin muntah.

Namun, Bang Tata memang orang yang tidak tahu. Juga tidak mau tahu. Sikap Pak Ustadz yang ogah-ogahan tidak membuatnya keder, apalagi mundur. Ia tetap kekeueh untuk menemui Pak Ustadz. Urusan Pak Ustadz jengah dan malas adalah urusan Pak Ustadz sendiri, bukan urusannya.

"Pak Ustadz, sebagai umat muslim, saya ingin meminta ketegasan. Rokok itu sebenarnya makruh apa haram?" tanya Bang Tata.

Pak Ustadz menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sadar, percakapan dirinya dengan Bang Tata beberapa waktu lalu ternyata sama sekali tidak membekas. Bang Tata tetap bingung dan kebingungan dengan persoalan rokok.

"Memang apa pentingnya kalau rokok itu haram atau makruh..."

"Oh, sangat erat, Pak Ustadz, "potong Bang Tata. " Kalau haram, saya pasti berhenti merokok. Tapi, kalau hanya sekadar makruh, saya akan terus merokok."

Pak Ustadz tidak percaya dengan ucapan Bang Tata. Pengalaman dirinya bertemu dan berbicara dengan para pecandu rokok, label makhruh dan haram tidak terlalu bermakna bagi mereka. Apalagi jika mereka berkilah bahwa sepanjang ayat Al Qur'an tidak mengharamkan rokok, maka tidak pada tempatnya jika ada ulama atau organisasi keagamaan mengharamkan rokok.

"Ah, apa untungnya bicara rokok itu makruh atau haram? Dari dulu saya tidak pernah bersepakat. Tidak ada untungnya. Sebab jika kita berbicara tentang label makruh atau haram, yang terjadi pasti pro dan kontra. Ini tidak sehat bagi umat muslim, "terang Pak Ustadz.

"Lho...."

Kali ini Bang Tata melongo. Ia kaget mendengar pernyataan Pak Ustadz. Juga bingung.

"Makanya saya tidak pernah menyebut rokok itu makruh, apalagi haram. Sebab, dua kata itu pasti akan berujung pada dua kata yang lain. Pahala atau dosa. Saya menghindari itu semua."

Bibir Bang Tata menyungging. Ia serasa mendapat pembelaan. Ia merasa menang. Tapi, Pak Ustadz ternyata belum berhenti berbicara.

"Saya lebih senang menggunakan kata manfaat atau mudharat. Kalau dipandang dari segi apapun rokok ternyata bermanfaat, ya silakan merokok. Tapi, kalau dipandang dari segi kesehatan, sosial, ekonomi, ternyata rokok mengandung lebih banyak mudharat, ya tinggalkan saja."

Bang Tata manggut-manggut. Paham.

"Alhamdulillah.... Terima kasih, Pak Ustadz. Berarti merokok tidak berdosakan?"

Pak Ustadz tersenyum.

"Saya tidak tahu, Bang Tata. Tapi, kata Nabi, salah satu ciri orang beriman ialah ia mampu meninggalkan sesuatu pekerjaan yang tidak bermanfaat."

Bang Tata paham ke arah mana ucapan Pak Ustadz. Bang Tata menggigit bibir. Perih.* * *

Thursday, March 18, 2010

LATIHAN JIHAD

Hati Pak Ustadz menjerit keras. Kumandang azan isya tidak membuat beberapa anak muda tergerak masuk ke masjid. Padahal, jamaah masjid sudah mulai penuh. Sholat Isya sebentar lagi dimulai.

Anak-anak muda itu tetap memilih duduk-duduk santai. Mereka asyik ngobrol, ngalor ngidul. Suara gitar dan tawa cekikikan turut meramaikan. Suasana sangat gaduh. Asap rokok yang mengudara seolah menari-nari di atas kepala mereka.


Jamaah masjid mulai gelisah. Mereka diterkam ragu. Bila iqamat dilantunkan, pasti sholat isya jauh dari khusu'. Namun, bila tidak disegerakan iqamat, kapan sholat isya dimulai. Menunggu mereka bubar? Tidak mungkin.


Pak Ustadz menengok ke belakang. Ia memandang beberapa anak muda yang duduk di pojok masjid. Ada lima anak muda di situ. Mereka berpeci semua. Pak Ustadz tahu siapa saja mereka.

"Salah satu di antara kalian. Keluar. Peringatkan teman-temanmu yang di luar itu agar berhenti bermain gitar. Kalau bisa, ajak mereka ke masjid dan sholat."

Kelima anak muda itu terkejut mendengar perintah Pak Ustadz. Mereka saling berpandangan. Masing-masing tidak tahu harus bertindak apa. Mereka ragu. Mereka merasa sungkan. Mereka tak bergerak.


"Ayo! Kenapa kalian diam saja. Apa kalian tidak mendengar perintahku? Tegur mereka. Suruh mereka sholat berjamaah."


Anak-anak muda berpeci itu tak juga beranjak pergi. Mereka malah main tunjuk dan main dorong.


"Ayo, kamu saja!"


"Nggak ah. Kamu saja."


"Kita sama-sama saja, yuk!"


"Nggak bisa. Aku nggak enak."


Pak Ustadz menggeleng-gelengkan kepala melihat anak-anak muda yang berpeci itu. Ia berdiri dan berjalan menuju ke arah mereka.


"Kenapa kalian semua ini. Takut? Sungkan? Merasa tidak enak?"


Anak-anak muda berpeci itu hanya diam. Muka mereka menunduk. Mereka memilih dimarahi Pak Ustadz dibanding memenuhi permintaan Pak Ustadz untuk menegur para pemuda yang bermain gitar di luar masjid.


"Aneh kalian semua! Bagaimana mungkin kalian pergi ke medan jihad di Palestina, Irak, atau Afghanistan jika hanya untuk sekadar menegur mereka yang bermain gitar di dekat masjid saja kalian tidak berani! Payah!"


Pak Ustadz kecewa. Benar-benar kecewa. Ia langsung pergi setelah menumpahkan kejengkelannya. Ia sangat kecewa dengan anak-anak muda yang aktif di masjid. Mereka taat, tapi kurang memiliki keberanian.


Dari dalam masjid, para jamaah melihat Pak Ustadz berbicara dengan para pemuda yang bermain gitar. Para pemuda menyingkir setelah Pak Ustadz menegurnya. * * *

MANTRA SAKTI 40 HARI

Telepon di rumah Pak Ustadz berdering nyaring. Sehabis subuh. Kala Pak Ustadz masih asyik menyimak huruf demi huruf yang tertera dalam lembaran kitab suci, Al Qur'an. Sedikit tersentak, Pak Ustadz menyentuh gagang telepon. Ia mengangkatnya.

Ucapan salam terulur dari bibir Pak Ustadz. Lalu, pujian syukur meluncur setelah tahu bahwa suara di seberang adalah adiknya. Firman, adik lelaki Pak Ustadz yang paling kecil, si bungsu. Anak kesayangan ibu Pak Ustadz yang sudah tiada.

"Jadi, istrimu sudah melahirkan? Kapan? Laki-laki apa perempuan? Sehatkan? Masih di rumah sakit sekarang? Anakmu bagaimana?"

Pak Ustadz membombardir Firman dengan pertanyaan-pertanyaan yang diselingi semburat kebahagiaan. Wajar karena Firman memang adik yang paling dekat dengan dirinya. Wajar karena Firman sudah menunggu kedatangan anaknya lebih dari dua tahun.

Dari seberang, Firman menjelaskan secara panjang lebar.

"Iya, Mas. Kemarin melahirkannya. Laki-laki. Alhamdulillah, ibu dan bayinya sehat. Sekarang di rumah. Dokter sudah memperbolehkan pulang. Sudah dua hari tiba di rumah."

Pak Ustadz tersenyum. Wajahnya ikut memancarkan kebahagiaan. Pesannya kemudian.

"Jangan lupa aqiqah, ya Firman. Ingat, itu sebagai wujud syukur atas kelahiran anakmu. Semoga dengan aqiqah itu doa dan kehendakmu atas anakmu untuk menjadi manusia yang soleh bisa terwujud."

"Terima kasih, Mas. Insya Allah. Tapi, mungkin tidak segera. Mertuaku meminta di hari ke-40 aqiqah baru bisa dilaksanakan."

Pak Ustadz terkejut mendengar penjelasan Firman. Batinnya berdesir.

"Lho? Kok hari ke-40? Kata siapa itu? Aqiqah itu mesti dilaksanakan hari ketujuh atau hari keempatbelas. Bukan hari ke-40. Keliru itu."

Firman tergeragap. Di telepon suaranya seperti ditelan ragu. Bingung.

"Iya, Mas. Aku sudah jelaskan ke mertua. Tapi, mereka ngotot. Harus hari ke-40. Bahkan anakku juga tak boleh keluar rumah sebelum hari ke-40 tiba. Rambut dipotongnya pas hari ke-40. Istriku tak boleh memotong kuku kalau belum melewati hari ke-40."

Pak Ustadz coba mengerti.

"Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang?"

Firman menahan napas. Pak Ustadz mendengar dengan jelas.

"Aku tak bisa menentang....." Lirih.

Pak Ustadz kini tahu posisi Firman, adiknya itu. Hatinya menyesalkan. Bukankah aku sudah mengingatkan agar kamu jangan mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Kenapa? Karena mata, telinga, dan hati; kesemuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya kelak.

Pak Ustadz tercenung. Sendirian. Pelan-pelan ia menutup teleponnya. * * *

Thursday, March 11, 2010

ROKOK? TANYAKAN SAJA KEPADA NURANIMU!

"Pak Ustadz, ini fatwa yang nggak bener. Fatwa ini tidak menenteramkan, tapi justru membuat umat resah. Apa sebelumnya mereka tidak berpikir saat mengeluarkan fatwa?!"

Suara Bang Tata keras menghunjam. Hari Minggu. Pagi itu, saat secara kebetulan Pak Ustadz yang sedang berolahraga bertemu Bang Tata di jalan. Pak Ustadz hanya tersenyum. Diam. Ia membiarkan Bang Tata berbicara dari sudut hatinya yang paling dalam.

"Pak Ustadz, fatwa seperti ini akan membuat para petani tembakau menjerit. Buruh di pabrik berteriak. Pengusaha memberontak. Pemerintah kehilangan dana dari cukai. Saya yakin, fatwa ini tidak akan pernah dihormati, apalagi ditaati umatnya!"

Pak Ustadz tetap menyimak suara Bang Tata. Ia bahkan membiarkan Bang Tata pasang aksi. Mengambil rokok dari kantong, menyulut dengan korek api, dan menghisapnya dalam-dalam. Asap mulai menyelimuti sekelilingnya.

"Contohnya saya, Pak Ustadz. Saya mewakili suara para perokok. Saya pasti tidak akan pernah berhenti merokok. Ada atau tidaknya fatwa itu saya tetap merokok. Saya tidak peduli dengan fatwa rokok!"

Bang Tata terus berbicara. Asap rokok dan suara kerasnya bergantian keluar dari bibirnya.

"Pak Ustadz, apa yang terjadi kalau umat sudah tidak lagi mau mendengar ulama?!"

Pak Ustadz diam tak menjawab. Ia hanya memperhatikan jemari Bang Tata yang lincah mempermainkan batangan rokok.

"Kacau! Pasti kacau! Makanya semestinya para ulama atau organisasi keagamaan berpikir dahulu sebelum mengeluarkan fatwa. Telaah dari berbagai macam segi. Jangan hanya emosi sesaat!"

Suara Bang Tata bergulir seirama air. Terus mengalir.

"Kalau sudah begini siapa yang susah. Semuanya!"

Kali ini sepi. Tiba-tiba. Suara Bang Tata menghilang. Pak Ustadz membiarkan Bang Tata bermain-main dengan rokoknya. Pak Ustadz sama sekali tak bersuara. Ia tak berusaha untuk menanggapi Bang Tata.

"Pak Ustadz, bukankah kalau rokok itu haram berarti yang merokok berdosa? Lalu, bagaimana semestinya saya bersikap?"

Lirih. Hampir tak terdengar. Ada nada kekhawatiran, lebih lagi ketakutan. Pak Ustadz hampir-hampir tak bisa menahan ketawa. Bagaimana mungkin sebongkah batu yang keras hanya sepersekian detik kemudian lalu meluruh?

Pak Ustadz sungguh mengasihani. Bang Tata, ya Bang Tata kini.

"Rokok soal kecil, Bang. Jangan tanya saya. Tanyakan saja kepada nurani Abang. Karena nurani tak mungkin bisa berbohong, apalagi menipu..."

Pak Ustadz melangkah, meneruskan lari paginya. Bang Tata termangu. * * *