Wednesday, July 08, 2009

ISTRI YANG DITINGGAL SUAMINYA

Hari Minggu. Pak Ustadz, istri, dan keempat anaknya berniat jalan-jalan. Mereka hendak memanfaatkan waktu liburan akhir pekan. Pak Ustadz ingin ke pantai. Istri Pak Ustadz ingin ke gunung. Anak-anaknya tak berubah dari keinginannya; pergi ke pusat perbelanjaan.

Seorang perempuan berkerudung hitam tiba-tiba sudah berdiri di pintu rumah. Pak Ustadz dan istrinya terkejut. Lebih-lebih anaknya. Mereka kaget karena perempuan itu datang seperti tanpa jejak dan suara.

Perempuan itu datang tidak sendirian. Ia datang bersama dua anak balita. Seorang dituntunnya, seorang lagi masih dalam gendongannya. Mereka bukan peminta-minta. Tapi, dari gurat wajahnya, Pak Ustadz tahu bahwa perempuan itu sedang memendam kesedihan.

"Maaf Pak Ustadz, saya menganggu keluarga Bapak...."

Perempuan itu memulai ucapannya dengan getir. Matanya menyipit, seperti telah lama menahan butiran airmata yang jatuh satu-satu. Beberapa kali ia memandang ke atas, lalu turun lagi ke bawah. Bibirnya tak lagi membuka.

"Ada apa ibu? Apa yang bisa saya bantu?" tanya Pak Ustadz ramah.

Perempuan itu menahan suaranya. Bujuk rayu Pak Ustadz agar perempuan itu segera menceritakan keluh resahnya seolah tak mempan. Perempuan itu asyik dengan kesedihannya. Namun, tak lama. Setelah istri Pak Ustadz campur tangan, perempuan berkerudung itu akhirnya membuka suara.

Perempuan itu mengenalkan dirinya sebagai Surti, ibu tiga anak yang baru saja ditinggal mati suaminya. Ia kini tidak punya siapa-siapa. Ia kini tidak memiliki apa-apa. Perempuan empatpuluhan itu harus menanggung beban hidup ketiga anaknya.

Surti hidup tanpa harapan. Ia takut dan bingung. Ia takut menghadapi masa depan yang tidak pasti. Ia bingung bagaimana mengasuh dan mendidik ketiga anaknya. Ia tak tahu mesti berbuat apa. Masa depan dan hidupnya gelap. Kelam.

Pak Ustadz dan istrinya mendengarkan kisah Surti hingga selesai. Mereka tak mampu menahan keharuan. Tapi, hidup memang terus berjalan. Sikap optimis harus dikedepankan. Maka Pak Ustadz dan istrinya berjanji kepada Surti akan membantunya.

"Insya Allah saya akan membantu sebisa mungkin, " janji Pak Ustadz.

"Ibu bisa ke rumah saya setiap hari. Saya dan ibu-ibu di sekitar sini biasa belajar keterampilan untuk mengisi waktu. Belajar memasak, belajar menjahit, dan keterampilan lain. Banyak ibu-ibu yang berhasil mandiri setelah belajar di sini," terang istri Pak Ustadz.

Bibir Surti membelah. Ada sedikit harapan menyeruak dari sana. Tak berapa lama Surti berpamitan. Persis di depan pintu, istri Pak Ustadz berucap tegas.

"Ibu, anak-anak yang sukses biasanya muncul dari seorang istri yang ditinggal suaminya, bukan muncul dari suami yang ditinggal mati istrinya."

Surti tersenyum puas. Pak Ustadz terperanjat. Tapi, hatinya mengamini perkataan istrinya. * * *

No comments: