Thursday, August 27, 2009

Ibadah Egois

Mata Pak Ustadz lurus ke jamaah. Ia masih duduk bersila di tempatnya. Untuk kesekian kali pandangan matanya tertumbuk pada lelaki yang keluar dari jamaah sholat maghrib. Begitu terburu-buru, seolah ada pekerjaan yang menanti. Badi, nama lelaki itu.

Pak Ustadz tidak pernah melupakan Badi. Badi yang di masa kecil terkenal bandel karena suka menyembunyikan sandal milik temannya di masjid. Badi yang hingga kini tetap menjadi perbincangan orang karena kegemarannya langsung beranjak pergi setelah salam sholat dikumandangkan sang imam.

"Badi, jangan pulang dulu....!"

Badi berhenti sebelum ia sempat mengambil sandalnya. Wajahnya terheran-heran. Ia tahu siapa yang memanggilnya. Pak Ustadz! Badi berdiri tegak pada tangga masjid. Tapi, tak lama. Ia kemudian masuk ke masjid lagi dan mengambil tempat duduk di pojok.

Pak Ustadz menghampiri dengan senyum ramah. Para jamaah seperti tak peduli. Ada apa ya, batin Badi. Hatinya bertanya-tanya. Baru kali inilah Pak Ustadz menahannya sepulang sholat maghrib. Pak Ustadz dan Badi duduk berhadap-hadapan.

"Di, aku mau tanya....." Pak Ustadz menghentikan pertanyaannya. Ia seperti berusaha menunggu reaksi Badi. "Tidak apa-apakan aku bertanya?"

"Oh, nggak Pak Ustadz. Silakan saja. Ada apa memang?"

Pak Ustadz membetulkan letak kopiahnya. Matanya lurus memandang Badi.

"Jangan marah ya. Kenapa
sih setiap selesai sholat kamu seperti terburu-buru keluar. Selalu begitu. Ada apa memang?"

Badi terhenyak. Ha?
Kok Pak Ustadz tahu saja. Badi sadar itu memang selalu ia lakukan. Prinsipnya, yang penting ikut sholat berjamaah. Abis itu ya langsung pulang. Tak ada keinginan untuk sekadar duduk berzikir atau berdoa sesudahnya.

"Aduh... saya juga tidak tahu, Ustadz. Pokoknya habis sholat jamaah, pinginnya keluar
aja," jawab Badi sekenanya. Rasa malu dan bersalah tak bisa ditutupinya.

Pak Ustadz manggut-manggut. Ia mengerti.

"Cobalah....Belajar jadi orang yang memberi. Jangan egois. Berbagilah dengan orang lain, termasuk dalam ibadah."

"Maksud Pak Ustadz?"

"Kapan kamu mendoakan kawan-kawanmu?"

Badi menggeleng.

"Kapan kamu mendoakan saudara-saudaramu?"

Lagi-lagi Badi menggeleng.

"Kapan kamu mendoakan orang tuamu sendiri?"

Badi kali ini tertunduk.

"Gunakan waktu sesudah sholat untuk berdoa sebanyak-banyaknya. Buat orang-orang yang kita sayangi. Orang tua, kakek, nenek, teman-teman, saudara. Semuanya! Itu akan melatih kita menjadi orang yang suka berbagi."

Badi mengangguk-angguk. Ia mengerti. Badi paham apa yang mesti ia lakukan selanjutnya. * * *

Monday, August 24, 2009

MELEMBUTKAN HATI

Hari ini hari yang melelahkan bagi Azam. Sepanjang waktu, dari mulai pagi hingga menjelang maghrib, ia mesti mengikuti ajakan Pak Ustadz. Pergi melanglang buana. Ke mana saja? Menuruti kata hati, begitu kata Pak Ustadz.

Awalnya biasa saja. Pak Ustadz mencari Azam seusai sholat Isya berjamaah. Ketemu! Azam langsung ditarik ke sudut masjid. Sambil tersenyum ramah Pak Ustadz bertanya.

"Azam, bisa tidak besok menemani saya keliling-keliling?"

"Ke mana Pak Ustadz?" tanya Azam sedikit penasaran.

"Yah.... ke mana saja. Mau nggak?"

Azam tak mungkin menolak permintaan orang yang sangat dihormatinya itu. Ia hanya mengangguk sembari mulutnya berucap, iya.

Esoknya Pak Ustadz sudah membawa sepeda motor tuanya. Tak lupa dua helm sudah ada di tangan. Sampai di rumah Azam, Pak Ustadz menampakkan senyumnya. Azam seolah kebingungan. Ke mana sebenarnya kita ini? Tapi, ia tidak peduli sebab ia tahu Pak Ustadz pasti mengajak ke jalan kebenaran.

Motor melaju dengan sedikit kencang. Pak Ustadz membawa Azam berkeliling. Ia membawa Azam berkunjung ke sebuah panti asuhan. Di situ Pak Ustadz asyik bermain dan bercanda dengan anak-anak yatim piatu. Pak Ustadz melawak, Pak Ustadz melucu, Pak Ustadz memberi semangat. Anak-anak tertawa gembira.

Tidak sampai dua jam, Pak Ustadz membawa Azam ke rumah sakit. Ia hendak menengok salah seorang temannya yang sedang dirawat karena sakit. Di rumah sakit Pak Ustadz asyik bercengkerama dengan temannya yang dirawat itu. Ia mendengarkan derita sang teman. Sekali-kali ia menghiburnya dengan ucapan-ucapan yang baik. Sang teman terlihat senang dengan kunjungan itu.

Tidak lama, Pak Ustadz sudah melesat kembali di jalanan. Kali ini ia membawa Azam ke kolong jembatan. Di sana Pak Ustadz menemui semua orang. Mereka bercakap-cakap tentang segala hal. Kadang Pak Ustadz bicara panjang lebar. Kadang Pak Ustadz mendengarkan penuh perhatian.

Menjelang sore Pak Ustadz dan Azam pulang. Namun, di tengah jalan ia membelokkan motornya ke sebuah makam. Azam bergidik. Tapi, Pak Ustadz tetap melajukan kendaraannya. Pada sebuah pohon yang rindang, ia berhenti. Pak Ustadz melangkahkan kakinya ke makam. Ia memandang ke seluruh makam. Lama sekali. Selanjutnya, ia berdoa untuk kemudian pulang.

Azam tidak mengerti kenapa ia dibawa ke tempat-tempat seperti itu. Panti Asuhan, rumah sakit, kolong jembatan, dan makam. Azam penasaran.

"Kenapa Pak Ustadz pergi ke tempat-tempat seperti tadi?"

Pak Ustadz terdiam sesaat. Ia tak menjawab. Kemudian....

"Saya sedang belajar melembutkan hati...."

Azam mengangguk. Tak percaya. * * *

Thursday, August 13, 2009

LETAK KEBAHAGIAAN

Pak Ustadz baru saja menyelesaikan sholat Jum'at. Belum lagi ia berbalik dari mihrab, tempat dirinya menjadi khotib dan imam, tiba-tiba datang seorang lelaki menyalaminya. Tak cukup menyalami, lelaki itu kemudian memeluk erat Pak Ustadz kuat-kuat. Seolah tak mau lepas.

Pak Ustadz terkejut. Keterkejutannya semakin besar sesaat dirinya menyadari bahwa pundaknya telah basah oleh air mata. Ya, lelaki yang memeluk Pak Ustadz itu menangis sesenggukan.

"Mari Pak, kita duduk di sana...."

Pak Ustadz mengajak lelaki yang tidak dikenalnya itu duduk di pojok masjid. Pak Ustadz tahu diri. Ia tak ingin mempermalukan lelaki itu dengan tangisannya di hadapan orang banyak.

Mereka duduk berhadap-hadapan. Pak Ustadz membiarkan lelaki itu menyelesaikan tangisannya. Sesekali Pak Ustadz memegang tangan lelaki itu untuk menguatkan hatinya.

Kini Pak Ustadz dan lelaki itu sama-sama terdiam. Tiba-tiba....

"Pak Ustadz, di mana sebenarnya letak kebahagiaan itu?"

Pak Ustadz terkejut dengan pertanyaan lelaki itu. Naluri sebagai orang yang sering menghadapi orang-orang bermasalah mulai muncul. Pak Ustadz tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Pak Ustadz balik menanyakan, ada apa sebenarnya?

Lelaki itu kemudian bercerita bahwa dirinya adalah seorang pengusaha. Perusahaannya memiliki banyak karyawan. Asetnya milyaran. Namun, ia merasakan beban berat yang luar biasa pada hidup dan kehidupannya.

Semua orang di dalam keluarganya seolah menggantungkan hidup dan kehidupan pada dirinya. Semua anggota keluarganya, dari mulai ayah, ibu, mertua, saudara, dan saudara iparnya, tak ada yang coba mengerti dirinya. Mereka seperti hanya mencari keuntungan dari dirinya. Ia merasa sudah tidak kuat lagi.

Pak Ustadz manggut-manggut. Ia mendengarkan cerita lelaki itu dengan takzim. Pak Ustadz lalu memberikan sedikit pencerahan kepada lelaki itu. Di akhir pembicaraan, Pak Ustadz berucap lembut.


"Bapak, kebahagiaan itu letaknya ada pada kebaikan. Jika Bapak ingin bahagia, berbuat baiklah. Karena kebahagiaan itu selalu melekat pada kebaikan."

Pak Ustadz lurus memandang lelaki itu. Lelaki itu hanya terdiam. Khusu'. * * *