Wednesday, November 25, 2009

SEPERTI MATAHARI

Ruangan Masjid Abubakar terasa panas. Pengap. Semua orang merasakannya. Mereka gerah. Keringatan. Padahal, malam itu udara sangat dingin. Angin berhembus keras, tanpa bisa dicegah oleh dinding-dinding masjid. Angin itu bahkan langsung menghantam tubuh-tubuh yang bersila.

Pukul delapan. Sekitar 15 orang hadir. Campur aduk. Ada yang tua, ada pula yang muda. Ada yang pegawai negeri, ada pula yang swasta. Ketegangan sangat terasa. Tak hanya tegang, rasa marah seperti menerkam semua orang yang hadir.

Masalahnya sepele. Malam itu mereka tengah membicarakan persoalan pergantian pengurus masjid. Suara mereka terpecah menjadi dua. Pertama, golongan muda. Kedua, golongan tua. Suara mereka sangat berbeda. Golongan tua berharap mereka dapat terpilih kembali, sebaliknya golongan tua berharap ada regenerasi. Di tangan golongan tua, program masjid dinilainya mandeg.

"Apakah akan kita lanjutkan rapat ini hingga muncul kesepakatan?" tanya Pak Ustadz yang hari itu memposisikan dirinya sebagai penasihat.

Orang-orang saling berpandangan. Mereka seperti kebingungan menangkap maksud suara Pak Ustadz.

"Kita lanjutkan saja Pak Ustadz. Kalau bisa kita voting saja!" sergah Hanif yang dipersepsikan sebagai wakil golongan muda. Namun, suara Hanif terancam oleh usulan Pak Dadang yang tiba-tiba sudah bersuara keras.

"Saya tidak setuju Pak Ustadz!" kata Pak Dadang sambil mengancungkan tangan. "Kita makhluk yang beradab. Tidak patut kita meminta voting sedangkan musyawarah saja masih terus kita usahakan. "

Perkataan "makhluk beradab" membuat Hanif panas. Ia tidak menerima dirinya dituduh sebagai tidak beradab. Katanya kemudian.

"Voting bukan menunjukkan beradab dan tidaknya seseorang. Voting justru menunjukkan cakap dan tidaknya seseorang dalam mengelola masalah. Orang yang takut dengan voting sebenarnya orang yang lemah."

Kali ini gantian Pak Dadang yang panas.

"Kamu memang tak punya sopan santun terhadap orang tua!

Hanif tak mau kalah.

"Bapak yang tidak menghargai suara orang muda!"

"Kamu....!"

"Bapak....!"

Pak Ustadz bertindak cepat. Ia tidak mau keributan terjadi di rumah Allah. Ia langsung menghentikan pertikaian itu sebelum sampai muncul keributan yang lebih besar. Musyawarah dibubarkan. Ditunda. Semua orang bergegas pulang.

Pak Ustadz menatap langit-langit masjid. Hari ini ia begitu kecewa. Ah, ternyata tidak mudah bersikap layaknya matahari saat berbicara tentang kedudukan atau jabatan. Matahari tahu kapan ia muncul, menyinari alam raya ini, untuk kemudian tenggelam. Sedangkan kita? * * *

Friday, November 20, 2009

PENGEMIS ITU MEMBERI

Nadia berlari-lari kecil menuju teras rumah. Tangannya menenteng pecahan uang seribuan. Matanya berbinar. Hatinya berbunga-bunga. Gadis yang manis, gadis yang solehah.

Tiba di depan pintu hatinya tertegun. Ini lagi! Ini lagi! Hatinya berontak. Wajahnya berubah kecut. Masam. Sangat tidak enak dilihat. Tapi, Nadia tak punya daya. Ia menyerahkan pecahan ribuan itu kepada si pengemis.

Dari jauh Pak Ustadz memperhatikan tingkah Nadia yang berubah. Setelah pengemis menghilang dari pandangan dan Nadia berbalik, Pak Ustadz bertanya lembut.

"Kenapa wajahmu, Nak. Kok tiba-tiba berubah kecut?"

Nadia, gadis terkecil, putri Pak Ustadz mulanya tak mau menjawab. Namun, setelah ayahnya agak mendesak, ia akhirnya mau berbicara.

"Abi, Nadia tuh kesel sama pengemis itu. Sering banget deh ia ke sini. Kayaknya baru kemarin ia ke sini, eh sekarang sudah ke sini lagi...."

"Memang kalau ke sini terus kenapa?"

"Lho, kan Abi sendiri yang sering bilang kalau 'memberi itu lebih baik daripada meminta'. Kalau pengemis itu terus-terusan ke sini, kapan pengemis itu punya waktu untuk memberi ke kita. Masa meminta terus?!"

Pak Ustadz tersenyum melihat ucapan Nadia. Dalam hatinya ia bersyukur Allah memberikan gadis yang cerdas kepadanya. Semoga ia menjadi anak yang sholehah, batin Pak Ustadz.

"Nadia, pengemis itu juga memberi kepada kita. Setiap kedatangannya selalu memberi. Kita dan pengemis itu sebenarnya saling memberi."

Nadia tertegun. Ia bingung dengan ucapan ayahnya.

"Pengemis itu memberi....." gumam Nadia.

"Ya benar! Pengemis itu memberi kesempatan kepada keluarga kita untuk memberikan sedikit rezeki yang kita punyai. Coba Nadia pikir, bagaimana kalau pengemis itu tidak datang ke sini? Kita jadi tidak memberi-kan?"

Nadia manggut-manggut
mendengar ucapan ayahnya.

"Dan ingat Nadia, tidak sedikit pengemis yang datang memberi doa kepada kita."

Nadia kini tersenyum. Hatinya lega.


"Anakku, "kata Pak Ustadz kemudian. "Setiap makhluk ciptaan Allah itu ditakdirkan untuk 'memberi'. Matahari memberi cahaya. Angin memberi hawa sejuk. Laut memberi ikan. Lebah memberi madu. Indahkan kalau kita memberi."

Nadia memeluk ayahnya. Ah, betapa bahagianya ia memiliki ayah yang baik hati. * * *

ILMU ITU CAHAYA ALLAH

Dua muda mudi itu tersipu malu. Mereka meninggalkan rumah Pak Ustadz dengan wajah bersemu merah. Tak mereka nyana, tak mereka kira. Keinginan untuk meminta nasihat malah membuat mereka menjadi tak nikmat.

Dari jauh Pak Ustadz termenung. Ia tak tahu mesti berbuat apa. Menangis? Tertawa? Sedih? Malu? Ah, muda-mudi sekarang memang umumnya begitu. Ingatan Pak Ustadz membayang beberapa menit yang lalu.

Dua muda-mudi bertamu di rumah Pak Ustadz. Mereka memperkenalkan diri sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Pak Ustadz tinggal. Si perjaka berwajah tampan, modis, dan terkesan anak orang berpunya. Si gadis berpakaian muslimah, sederhana, dan tampak cerdas.

Mereka mengutarakan keresahannya. Kata si gadis itu, akhir-akhir ini dirinya merasakan hal yang aneh. Setiap ilmu yang diajarkan oleh dosennya tidak pernah bisa masuk ke otaknya. Setiap pengetahuan yang didapat dari buku yang dibacanya tidak mampu ia serap. Hilang begitu saja. Ilmu dan pengetahuan itu seperti lenyap tak berbekas.

Akibatnya, nilai kuliahnya turun drastis. Tak hanya itu. Ia juga terancam tidak lagi mendapatkan beasiswa setiap semesternya dari sebuah Yayasan Islam. Padahal dulu-dulunya tidak seperti itu. Si gadis menginginkan otak dan daya ingatnya kembali seperti semula.

"Jadi, apa yang Anda berdua inginkan dari saya?" tanya Pak Ustadz setelah mendengarkan kisah gadis itu.

Dua muda mudi itu saling berpandangan. Mereka seolah bingung. Mereka tak tahu mesti berkata apa. Pak Ustadz mengerti keadaan. Katanya kemudian.

"Barangkali adik sedang punya masalah?"

"Oh, tidak, Pak Ustadz. Tidak."

"Mungkin lagi sakit?"

"Tidak juga. Saya sehat selalu. "

"Mungkin tidak senang dengan dosen atau buku yang Adik baca?"

"Tidak, Pak Ustadz. Saya suka sekali dengan dosen-dosen di tempat saya kuliah. Buku-buku yang saya baca juga mengasyikkan."

Pak Ustadz termenung sejenak. Ia ikut bingung dengan kebingungan yang dialami dua muda-mudi itu. Namun, tiba-tiba tebersit pertanyaan di benak Pak Ustadz.

"Maaf, adik berdua sudah menikah?"

Muda-mudi itu terkejut. Mereka tak menyangka Pak Ustadz akan menanyakan seperti itu. Dengan malu-malu mereka menggelengkan kepalanya. Mereka berkata bahwa mereka adalah sepasang kekasih.

Pak Ustadz tersenyum. Ia kini tahu apa yang menjadi penyebabnya. Namun, Pak Ustadz tak tahu ia mesti mulai dari mana. Tiba-tiba saja sudah meluncur dari bibir Pak Ustadz kata-kata.

"Adik berdua, ilmu itu cahaya Allah. Dan cahaya Allah itu akan diberikan kepada orang-orang yang menjauhi maksiat. Jadi, kalau Adik berdua ingin pintar, cerdas, dan punya daya ingat tinggi, jauhilah maksiat...." * * *

Sunday, November 15, 2009

HILANG MARAH, HILANG SETAN

Pak Ustadz berjalan agak tergesa-gesa. Ia takut terlambat. Sebentar lagi acara pengajian di masjid akan dimulai. Dari jauh ia melihat jalanan sudah sepi. Wah, pasti orang-orang sudah duduk rapi di masjid, batinnya.

Malam merambat naik. Di sebuah tikungan jalan, sebuah suara membuat langkah Pak Ustadz terhenti. Di kegelapan. Sejenak.

"Buru-buru amat, Pak Ustadz...."

Usman dan Jamal, dua dedengkot kampung. Si
trouble maker, pembuat keonaran. Mereka asyik duduk di bangku tepi jalan. Sebuah botol minuman tergeletak di samping mereka berdua. Pak Ustadz sudah menduga-duga. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Pak Ustadz aku mau nanya...." Jamal membuka suara. Nada bicaranya terdengar parau. Badannya agak limbung.

"Bagaimana
sih cara menghilangkan rasa marah?"

Pak Ustadz memandang tajam keduanya. Ia tahu, mereka sudah di ambang batas kesadaran. Air botol yang tergeletak di dekatnya adalah bukti. Tapi, Pak Ustadz tidak ingin menyakiti perasaan mereka berdua.

"Ambil napas panjang. Begitu saja. Terus menerus," jawab Pak Ustadz sabar.

"Kalau cara ini gagal, bagaimana Pak Ustadz?"

"Kalian berdua tak usah banyak bicara. Diam saja. Insya Allah rasa marah kalian pelan-pelan akan hilang dengan sendirinya."

Usman dan Jamal sepertinya tidak puas. Entah karena pengaruh minuman keras atau karena rasa ingin tahu yang berlebihan mereka kembali bertanya.

"Kalau dua cara ini juga gagal, bagaimana Pak Ustadz?"

"Kalian bisa duduk-duduk sambil berdiam diri. Kemudian usahakan berbaring dengan santai sehingga syaraf-syaraf kita menjadi kendor."

Pak Ustadz senang Jamal dan Usman sudah tidak lagi bicara. Namun, ia kecele. Rupanya, Usman belum puas juga. Bahkan bicaranya seperti tak terkontrol lagi.

"Nah, kalau cara ini juga gagal, rasa marah tetap saja masih ada, bagaimana Pak Ustadz?"

Pak Ustadz terdiam. Ia memperhatikan keduanya. Usman tak sabar.

"Bagaimana Pak Ustadz?"

Pak Ustadz berkata singkat.

"Bacalah taawuds. A'udubillahiminnassyaithonirrojim. Bismillahirrohmanirrohim."

Usman tak puas juga.

"Nah, kalau ini juga gagal. Saya marah terus-terusan, bagaimana?"

Pak Ustadz mulai hilang kesabarannya. Ia kini percaya, susah memang bicara dengan orang yang mabuk. Hilang sadarnya.

"Ambillah air dan berwudhulah. Kalau bisa segeralah sholat....."

"Tapi, kalau ini gagal juga, terus saya bagaimana?"

Usman tersenyum-senyum. Seperti mengejek. Pak Ustadz sudah hilang kesabarannya.

"Berarti kalian telah menjadi setan!"

Pak Ustadz berlalu dengan cepat. Usman dan Jamal terkejut. Tapi, hanya sesaat. Samar-samar Pak Ustadz mendengar Usman dan Jamal saling berceloteh.

"Ha..ha... Kita setan! Setan! Ha...ha....!!!" * * *

Saturday, November 14, 2009

AYO, SENYUMLAH!

"Pak Ustadz!"

Sebuah teriakan keras menyengat telinga Pak Ustadz. Sore itu, sehabis sholat asar. Pak Beni. Lelaki tegap yang mudah sekali tersenyum. Ramah. Ramah sekali. Semua orang tahu Pak Beni. Tahu, karena Pak Beni terkenal murah senyum dan ramah.

Ia berlari-lari dengan ketergesaan yang sungguh. Hampir terjatuh ia. Menyalami Pak Ustadz dengan kukuh dan memperlihatkan giginya yang putih teratur rapi.

"Pak Ustadz, bisakan nanti malam datang ke rumah saya? Oh ya, saya mau syukuran. Alhamdulillah, berkat doa restu Pak Ustadz dan warga di sini, saya terpilih menjadi ketua partai, "tutur Pak Beni.

Ada kebahagiaan di wajah Pak Beni. Pak Ustadz tahu, Pak Beni aktif di salah satu partai politik yang ada di negeri ini. Kemarin Pak Ustadz memang mendengar Pak Beni mencalonkan dirinya sebagai ketua partai di tingkat kota. Syukur, kalau Pak Beni menang dan akhirnya terpilih.

Itu cerita beberapa bulan yang lalu.

Kini, Pak Beni sudah muncul lagi di rumah Pak Ustadz dengan kebahagiaan serupa. Juga undangan yang serupa kepada Pak Ustadz.

"Pak Ustadz, saya meminta Pak Ustadz hadir nanti malam di rumah saya. Saya mau syukuran..."

"Syukuran?! Syukuran apa, Pak Beni?" tanya Pak Ustadz sedikit kaget.

"Alhamdulillah, berkat doa restu Pak Ustadz, juga seluruh warga di sini, saya terpilih menjadi anggota DPRD di kota kita ini..."

Pak Ustadz langsung berucap syukur. Ia menyalami Pak Beni kembali. Pak Ustadz senang ada salah seorang tetangganya yang kini menjadi wakil rakyat. Pak Ustadz berharap Pak Beni mampu menjalankan amanah yang dipikulnya itu.

"Saya minta doanya saja Pak Ustadz. Moga-moga saya mampu menjalankan tugas dan tanggung jawab yang berat ini. Saya berharap Pak Ustadz tidak berhenti mendoakan saya, " pinta Pak Beni beranjak pergi.

Pak Ustadz manggut-manggut. Ia yakin bila mau bekerja keras Pak Beni pasti akan mampu melaksanakan tanggung jawab itu.

Senyum terus terukir di bibir Pak Beni. Sepanjang jalan yang dilalui. Demi mengabarkan warta gembira ke setiap warga yang diundang.

Jabatan telah mengundang Pak Beni untuk mendudukinya. Pak Beni senyum, Pak Beni teramat bahagia. Namun, dalam hati Pak Ustadz sebenarnya sangat merindukan senyuman Pak Beni yang lain. Ya, senyuman Pak Beni yang lain! Senyuman Pak Beni saat panggilan adzan memanggilnya. Bukan jabatan yang memanggil, tapi Allah yang memanggil!

Kenapa demikian? Karena Pak Beni memang sulit sekali tersenyum ketika Allah memanggilnya. Ia bahkan kerap cemberut. Kapan ya Pak Beni mau tersenyum kepada panggilan Allah.... * * *

DIK, CUKUPLAH DIA JADI PENOLONGKU

Pak Ustadz tak mampu menyembunyikan kesedihannya. Ia serasa ingin menangis. Keras-keras. Biarlah seisi dunia, dan bahkan Allah sekalipun mendengarnya. Tidak apa-apa. Yang penting beban di dada lenyap tak berbekas.

Duabelas tahun sudah ia menikah dengan istrinya, tapi segalanya masih saja tertatih-tatih. Tak ada kenyamanan, apalagi kenikmatan. Rumah megah dan mobil sangat jauh dari itu. Padahal anak sudah tiga. Baru kali ini Pak Ustadz merasa begitu bersalah. Bukan kepada siapa-siapa, melainkan kepada dirinya sendiri.

Mulanya hanya masalah sepele. Istri Pak Ustadz bercerita kalau Mak Iyem, tetangga sebelah baru membeli kulkas baru. Warnanya abu-abu, kulkas dua pintu. Kulkas itu dibeli setelah hampir tiga tahun ia tak membelinya.

"Jangankan tiga tahun, kita malah tak punya sama sekali ya, Bi. Padahal Mak Iyem hanya jualan sayur-mayur di depan rumah, tapi kulkas terbeli."

Pak Ustadz tergetar. Meski pendek ucapan istrinya begitu menohok perasaannya. Perih. Namun, Pak Ustadz tak menyahut. Ia asyik membaca deretan huruf pada sebuah buku yang baru beberapa hari dibelinya.

"Yang lucu lagi, Mas Ribut. Setiap hari ia lewat di depan rumah kita. Ayam-ayam yang hendak dibawa ke pasar nyantel di motornya. Eh, beberapa tahun kemudian, motornya lenyap. Berganti dengan mobil bak yang penuh dengan ayam-ayam. Sukses juga Mas Ribut."

Pak Ustadz tergores. Sakit. Ada luka yang mulai menganga di hatinya. Ia tahu, istrinya sedang membanding-bandingkan kehidupan dirinya dengan orang lain. Entah sadar entah tidak. Ucapan itu telah melukai suaminya sebagai kepala keluarga, sang pencari nafkah.

"Nah, yang hebat tentu Pak Kamal. Ia bareng-bareng dengan kita sewaktu pertama kali pindah ke kampung ini. Malah duluan kita. Motornya butut seperti kita. Rumah ngontrak. Eh, sekarang. Rumah sudah terbeli, dibangun megah. Motor dua, mobil gonta-ganti. Pemborong sih...."

Pak Ustadz sudah tidak tahan lagi. Hatinya tersudut. Pada sebuah tempat yang membuat dirinya tak mampu bergerak, terjepit.

"Dik, apakah kamu ingin semua itu? Kulkas, motor, rumah megah, mobil?!" tanya Pak Ustadz dengan bibir bergetar.

Istri Pak Ustadz terperanjat. Ia sangat kaget dengan ucapan suaminya. Matanya langsung menyelidik. Ia melihat ada bayang-bayang wajah dirinya di bola mata suaminya. Genangan air mata! Pak Ustadz menangis.

Istri Pak Ustadz terperanjat. Ia merasa bersalah. Ia sadar bahwa ucapan dirinya telah melukai perasaan suaminya.

"Dik, seandainya ada orang-orang yang mengajak engkau berlomba-lomba dalam kehidupan dunia, ajak dia supaya berlomba-lomba dalam kehidupan akhirat. Cukuplah Allah menjadi penolong kita," tutur Pak Ustadz dengan bibir yang masih bergetar.

Pak Ustadz masuk ke kamar. Ia ingin sendiri. * * *

Tuesday, November 10, 2009

BANGGA DENGAN KEDURHAKAANNYA

Bunda Fifi tak kuasa menyembunyikan kesedihannya. Sepanjang jalan. Air matanya serasa tak terbendung. Mengalir terus. Jalan yang ditapakinya seolah basah.

Bunda Fifi masih saja tak percaya dengan kenyataan yang dialaminya. Seto, anak tunggalnya. Bertahun-tahun ia mengasuh dan mendidiknya. Tak lepas dari kasih sayang dan cinta kasih. Faktanya, Seto menjadi orang yang paling dicari. Kriminal. Kriminal akut!

Mulanya, di usia SMP Seto sudah coba-coba merokok. Sembunyi-sembunyi. Di usia SMA ia sudah terang-terangan. Tanpa rasa takut. Di masa kuliah ia kecanduan narkoba. Akibatnya, kuliahnya berantakan.

"Ya Allah, jangan Engkau uji hambamu ini dengan ujian yang hamba tidak kuat menanggungnya..."

Kuliah berantakan Seto balik ke rumah. Namun, narkoba jalan terus. Kini, ia bahkan berani menipu ibunya sendiri. Bilangnya sudah sembuh, tapi semua harta di rumah diraupnya hingga habis. Tape, televisi, ponsel, motor, bahkan mobil peninggalan bapaknya.

Bunda Fifi tak mampu mencegah. Ia sudah tak berdaya. Bahkan ketika pada suatu hari beberapa orang polisi datang ke rumahnya. Mereka mencari Seto. Mereka menangkap Seto. Tak hanya dituduh terlibat sebagai pemakai narkoba, Seto juga disangka masuk dalam jaringan bisnis barang haram itu dan terlibat penipuan.

"Ya Allah, apa hikmah di balik ini semua...."

Bunda Fifi telah mencap Seto sebagai anak durhaka. Ia sudah melupakan bahwa Seto pernah lahir dari rahimnya. Biarlah Seto menjadi urusan Tuhan semata, sang empunya sesungguhnya. Namun, haruskah kasih sayang ibu terus terbenam saat anaknya diberitakan pulang dan takut untuk menemuinya? Tidak! Tidak! Bunda Fifi memilih tidak.

Di rumah Pak Ustadz. Bunda Fifi melihat Seto dengan perasaaan bercampur aduk. Rindu, dendam, sayang, benci. Ia tak mampu berkata-kata. Ia hanya berdiri mematung dengan tangis tak berhenti. Bahkan ketika anak yang dianggapnya durhaka itu memeluk dan bersujud di kakinya.

"Bunda Fifi, Seto tetaplah Seto yang dahulu. Ia tetap anak yang durhaka...."

Bunda Fifi terkejut. Seto apalagi. Keduanya memandang Pak Ustadz dengan pandangan tak percaya. Tapi, Pak Ustadz tetap menyunggingkan senyum. Ia serasa tak bersalah dengan perkataannya.

"Seto kini adalah Seto yang durhaka terhadap segala bentuk kemaksiatan. Seto durhaka terhadap minuman keras dan narkoba. Seto durhaka dengan praktik penipuan. Seto durhaka terhadap kebencian dan kemunafikan. Sekarang Bunda, Seto amat bangga dengan kedurhakaannya itu."

Bunda Fifi tersenyum mendengar ucapan Pak Ustadz. Tapi, Pak Ustadz tidak paham apa makna di balik senyuman Bunda Fifi. Ia hanya sekadar meraba. * * *

IBU...IBU....IBU.....!!!

Pak Ustadz tak mampu memejamkan matanya. Sejak tadi dua orang pria yang duduk di belakangnya terus berbicara. Ngalor-ngidul. Tak karuan. Laju mulus kereta api eksekutif yang membawanya pergi ke Jakarta tak bisa membuat Pak Ustadz tertidur. Walau barang sejenak.

Uniknya, telinga Pak Ustadz tiba-tiba serasa ditarik kekuatan untuk terus mendengarkannya. Ah, pembicaraan yang menarik buat sebuah pelajaran, batin Pak Ustadz. Dalih Pak Ustadz, bukan salah saya kalau saya mendengarkannya.

"Jadi, kamu benar-benar sudah kawin lagi. Dua dong kalau gitu..."

Seorang pria bersuara kecil tertawa lirih sembari menuding ke arah pria yang duduk di sebelahnya. Pria yang duduk di sebelahnya yang -ternyata- memiliki suara besar langsung bereaksi.

"Sssst. Jangan keras-keras. Malu. Semua orang tahu nanti. Apa kata orang kalau tiba-tiba di kereta api ini ada tetanggaku. Mati aku!"

"Lho, kenapa harus malu? Bukankah kamu mesti siap menghadapi setiap konsekuensi dari pilihan hidupmu itu. Kalau malu kenapa kamu lakukan ?"

Si suara besar tak membalas. Ia hanya diam. Tapi, sejenak. Ia kemudian berkata lagi.

"Yang penting adil. Kalau kita merasa mampu berbuat adil. Ya, sudah laksanakan. Aku nggak mau munafik. Aku memang pingin beristri lagi. Dan aku merasa mampu berbuat adil. Jadi, apa yang ditunggu?"

"Adil semuanya, termasuk hati?"

"Ah, ya tidak. Adil dalam pengertian materi. Bukankah ini yang dicontohkan Rasulullah? Rasul saja selalu tak bisa melupakan Khadijah, istri pertama yang begitu dikasihinya. Tentu, maknanya adil materi."

"Itu saja alasanmu?"

"Oh, tidak."

"Apalagi?"

"Ada hadist nabi yang berbunyi. Siapa yang harus saya hormati? Ibu. Lalu, siapa? Ibu. Siapa lagi? Ibu. Jelaskan, hadist ini secara tegas menyiratkan ada lebih dari seorang istri dalam keluarga. Nabi bahkan menyebutkan hingga tiga kali...."

Si suara kecil tertawa ngakak mendengar alasan si suara besar. Si suara besar tak ketinggalan. Mereka larut dalam canda.

Di depannya, Pak Ustadz hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya mendengarkan percakapan keduanya. Kalau nafsu sudah bicara selalu saja ada akal untuk melogikakannya sebagai dalih. Ah, manusia! Manusia! * * *