Friday, July 30, 2010

MATA PESANTREN

Istri Pak Ustadz lagi tak enak badan. Alhasil, Pak Ustadz mesti berangkat ke sekolah untuk mengambil rapor milik si sulung. Ah, pekerjaan yang membuatku malas, batin Pak Ustadz. Selalu begitu, sejak dulu. Kenapa Pak Ustadz didera rasa malas setiap pergi ke sekolah untuk mengambil rapor?

Mata Pak Ustadz menyapa ruang kelas. Penuh! Hanya ada satu kursi yang tersisa. Itupun ada di ujung. Mata Pak Ustadz kembali beredar. Aduh, hatinya mengeluh. Tak ada lelaki yang duduk di sana. Semua perempuan, semua ibu-ibu.

Pak Ustadz melangkah masuk. Ia memberi senyuman, pertanda kesopanan. Pak Ustadz mengambil tempat duduk yang kosong.

"Mengambil rapor, Pak?" Basa-basi seorang ibu yang duduk paling dekat dengan Pak Ustadz.

Pak Ustadz mengangguk. Bibirnya tersenyum.

"Lho, kok bukan ibunya. Ke mana ibunya, Pak?" Ibu-ibu yang lain mulai terlibat dalam pembicaraan.

"Sakit. Tidak enak badan."

Para ibu mengerti setelah mendengar jawaban Pak Ustadz. Mereka melanjutkan pembicaraannya. Mereka meninggalkan Pak Ustadz dalam diam. Meski ditinggalkan, Pak Ustadz tetap mendengar suara-suara mereka. Ibu-ibu itu sedang berbicara tentang masa depan anak-anaknya.

"Oh, anakku pingin jadi artis. Saya kan bingung. Soalnya bapak ibunya bukan artis," kata ibu yang berbaju merah sambil terkekeh.

Ibu yang berbaju hijau tidak mau kalah. Ia berusaha menganggap dirinya lebih dibanding ibu yang berbaju merah.

"Anakku artis nggak mau. Katanya, para artis banyak yang tidak pintar. Ia malah pingin jadi dokter. Padahal sudah saya bilang kalau dokter sekarang sama saja. Susah nyari kerjanya."

Ibu yang terakhir bergabung menyela. Nadanya sinis.

"Anakku belum punya cita-cita. Tapi, aku ingin ia jadi politisi. Gede bayarannya, kerjanya sedikit. Bisa bolos lagi. Enak-kan kerja seperti itu.... "

Sepi. Pembicaraan ibu-ibu itu berhenti. Nyenyat. Tiba-tiba ibu yang berbaju hijau menoleh ke Pak Ustadz dan bertanya.

"Kalau putra Bapak ingin jadi apa?"

Pak Ustadz tergeragap. Kaget. Benar-benar kaget. Namun, hanya sesaat. Ia kemudian menjawabnya ringan.

"Jadi ustadz, makanya habis lulus nanti akan saya masukkan ke pesantren."

"Pesantren?" Ibu-ibu yang lain ikut terkejut. Pak Ustadz mengangguk.

"Iya. Biar mata anak saya belajar melihat apa yang semestinya dilihat. Telinga anak saya belajar mendengar apa yang seharusnya didengar. Mulut anak saya belajar berbicara apa yang seharusnya ia bicarakan.Hati anak saya belajar bergumam apa yang seharusnya ia gumamkan.""

Kali ini ibu-ibu yang lain ikut terkejut mendengar jawaban Pak Ustadz. Dalam benak dan hati mereka berucap lirih, orang aneh! Benar orang aneh! * * *

Wednesday, July 07, 2010

KREATIF PELIT

Mobil-mobil di depan berjalan lambat. Seperti keong. Tertatih-tatih. Pak Ustadz mulai hilang kesabaran. Tombol klakson di kemudi sudah hendak ditekannya. Namun, jari Pak Ustadz langsung berhenti ketika telinganya menangkap sayup-sayup suara.

"Terima kasih bapak-ibu atas sumbangannya. Semoga sumbangan itu mampu membuat kami segera menyelesaikan pembangunan masjid ini. Dan semoga perjalanan bapak-ibu tidak kurang suatu apa hingga sampai di tempat tujuan. Amien."

Pak Ustadz paham. Amat paham. Mobil-mobil di depan yang berjalan pelan terhalang oleh "serombongan" peminta sumbangan. Mereka sengaja memasang tanda berupa tong dan sedikit tulisan pada kain. Mau tidak mau mobil yang melewati jalanan itu berjalan pelan.

Saat mobil yang lewat berjalan pelan, rombongan peminta sumbangan itu segera menyodorkan keropak ke mobil-mobil itu. Bila penumpang dalam mobil menyodorkan uang, maka ucapan terima kasih dan selarik senyuman meluncur dari mereka. Namun, jika penumpang tak menyodorkan, bibir mereka terkatup rapat.

"Paman, kita kasih nggak?" tanya Farid, keponakan Pak Ustadz yang kini beranjak remaja.

Pak Ustadz terdiam sebentar. Katanya kemudian.

"Kasih saja."

"Berapa Paman?"

"Kamu bisa ambil uang yang ada di laci dashboard. Di situ sepertinya ada uang yang cukup untuk menyumbang mereka."

Farid membuka laci. Ia menemukan selembar uang sepuluh ribuan. Dilihat dan ditimang-timangnya uang itu. Lalu, dielus-elusnya. Seperti ada yang aneh pada uang itu, tapi lebih-lebih pada Farid. Ia seperti berpikir keras. Keningnya berkerut.

"Paman, sayang ya kalau uang ini kita kasihkan ke mereka.., " ucapnya dengan mimik aneh.

"Lho kenapa?"

"Jujur, aku nggak suka orang-orang seperti mereka. Kerjanya cuma mempermalukan diri mereka sendiri. Lebih lagi, mereka telah mempermalukan Islam. Paman pikir, apakah tidak ada cara lain untuk membangun masjid, selain meminta-minta sumbangan di jalanan."

Pak Ustadz terkejut mendengar suara Farid. Ada puluhan rasa bertentangan yang bergelayut. Kecewa, sedih, jengkel, khawatir. Namun, di sudut lain, ada senyum dan rasa bangga Pak Ustadz terhadap sikap kritis Farid.

"Umat Islam mestinya kreatif dan jauh dari watak meminta-minta. Apalagi ini pekerjaan mulia, menggalang dana dan dukungan untuk pendirian masjid. Bener begitukan, Paman?"

Pak Ustadz terdiam.

"Bagaimana Paman?" ulang Faris.

Pak Ustadz mendehem sejenak. Lalu katanya.

"Bener. Tapi, tidak semestinya kita menyalahkan mereka. Sebab, bagaimana mereka tidak menengadahkan tangan di sepanjang jalan jika kita-kita ini tetap bersikap pelit dan bakhil terhadap sesama, bahkan terhadap orang-orang seperti mereka. Jelas agama ini susah untuk maju."

Kali ini gantian Sofwan yang terkejut. Ia seperti bingung mencerna ucapan Pak Ustadz. Namun, Pak Ustadz tak peduli. Ia tetap memandang ke depan dengan setir kemudi di tangannya. * * *