Tuesday, March 30, 2010

BAKSO RASA BASMALAH

Pak Ustadz duduk pada bangku kayu di depan rumah. Sore itu, sehabis ashar. Matanya sedari tadi bergerak ke sana ke mari. Sedikit gelisah. Pak Ustadz menunggu sesuatu. Ia menunggu Kang Sabar, penjual bakso yang setiap hari melintas di depan rumahnya.

"Alhamdulillah.... Akhirnya datang juga!"

Mulut Pak Ustadz bergumam lirih. Bibirnya menyungging senyum. Dari jauh telinga Pak Ustadz mendengar suara sendok yang diketukkan ke mangkok. Ting! Ting! Ting! Bakso Kang Sabar. Bakso yang dirindukan oleh hampir semua warga di kampung Pak Ustadz tinggal.

Tidak terlalu beda, begitu banyak orang berkata setiap kali melihat bakso Kang Sabar tersedia di mangkok putih. Mie campur bihun, sayur cesim, daun seledri, bawang merah goreng, kecap, saus, dan bola bakso. Tapi, jangan ditanya soal rasa. Bakso semangkok Rp. 5000 itu telah menjungkir-balikkan nalar orang.

"Enak! Enak sekali!"

"Wah, ini sih nggak kalah dengan bakso yang mangkal."

"Hebat. Bagaimana cara bikinnya ya?"

Pak Ustadz adalah salah seorang yang tergoda dengan bakso Kang Sabar. Syukur, Kang Sabar bukan tipe penjual bakso yang pelit menularkan resepnya. Di hadapan Pak Ustadz, ia memberikan pengetahuan cara membuat bakso agar memiliki rasa seperti bakso dagangannya. Tak ada yang ditutup-tutupi. Semuanya.

Sayang, Pak Ustadz memang bukan Kang Sabar. Tangan, lidah, dan keterampilan Pak Ustadz berbeda dengan Kang Sabar. Sesudah bolak-balik mencoba hingga puluhan kali, Pak Ustadz mengambil kesimpulan bahwa bakso buatannya tak pernah mampu menandingi rasa bakso Kang Sabar yang gurih, kenyal, dan enak.

"Kang, kok bakso yang aku buat tetap beda ya. Padahal semua petunjuk Kang Sabar sudah aku praktikkan. Tak ada yang kurang," keluh Pak Ustadz sesaat sesudah Kang Sabar berhenti di hadapannya.

Kang Sabar tersenyum. Sedikit malu. Keluhan Pak Ustadz, baginya lebih mirip pujian. Dada Kang Sabar berdesir. Bangga. Namun, Kang Sabar tak mau jumawa. Ia berusaha mengikisnya.

"Waduh, saya juga nggak tahu, Pak Ustadz. Wong semua cara dan resep sudah saya tularkan."

"Hayo, jangan-jangan ada yang Kang Sabar sembunyikan..."

Pak Ustadz mencoba bercanda. Mulutnya menggoda. Tapi, candaan Pak Ustadz ternyata membuat Kang Sabar terdiam. Tak bicara. Sepi. Nyenyat.

"Kok diam, Kang?"

Kang Sabar tergeragap. Ia kini tahu jawabannya. Mulutnya tersenyum. Matanya sedikit nakal.

"Saya tahu, Pak Ustadz, kenapa rasa bakso itu berbeda..."

"Kenapa, Kang?"

"Karena pada setiap memulai pembuatan bakso, saya tak pernah lupa mengawalinya dengan ucapan basmalah dan doa, sedangkan Pak Ustadz mungkin melupakannya."

Pak Ustadz terkejut. Matanya sedikit terbelalak. Halah! Kok ucapan mulia itu dibawa-bawa dalam urusan bakso?

"Maaf, Pak Ustadz. Dagang bakso pekerjaan utama saya, bukan sampingan. Saya tidak bisa main-main. Karena itu, dalam setiap doa, saya berucap. Ya, Allah, berikanlah kemudahan yang semudah-mudahnya kepada saya jika bakso ini bermanfaat bagi orang lain. Namun, berikanlah kesulitan yang sesulit-sulitnya bila bakso ini tidak bermanfaat bagi orang lain. Begitu Pak Ustadz."

Oh, begitu. Tapi, ah, mungkin benar kata Kang Sabar. Aku menyepelekan pekerjaan itu sehingga aku melupakan ucapan Basmalah dan doa.

Diam-diam Pak Ustadz tersenyum. Gembira. Walau dalam hati. * * *

Tuesday, March 23, 2010

ROKOK? BUKAN MAKRUH ATAU HARAM!

Pak Ustadz sudah hampir mencapai taraf bosan. Ia sudah tidak mau lagi bicara. Tapi, kali ini ia datang lagi. Dengan soal yang lagi-lagi sama. Bang Tata! Rokok! Sepertinya, ucapan dan ketegasan Pak Ustadz beberapa hari yang lalu tidak menyurutkan Bang Tata untuk kembali menemuinya.

"Maaf, Pak Ustadz. Terpaksa saya datang lagi...."

Pak Ustadz hanya mesem. Bagi Pak Ustadz, datangnya Bang Tata ibarat mendapat kiriman durian busuk. Mabuk, memabukkan. Mual, memualkan. Lidah Pak Ustadz sudah kaku. Perut Pak Ustadz ingin muntah.

Namun, Bang Tata memang orang yang tidak tahu. Juga tidak mau tahu. Sikap Pak Ustadz yang ogah-ogahan tidak membuatnya keder, apalagi mundur. Ia tetap kekeueh untuk menemui Pak Ustadz. Urusan Pak Ustadz jengah dan malas adalah urusan Pak Ustadz sendiri, bukan urusannya.

"Pak Ustadz, sebagai umat muslim, saya ingin meminta ketegasan. Rokok itu sebenarnya makruh apa haram?" tanya Bang Tata.

Pak Ustadz menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sadar, percakapan dirinya dengan Bang Tata beberapa waktu lalu ternyata sama sekali tidak membekas. Bang Tata tetap bingung dan kebingungan dengan persoalan rokok.

"Memang apa pentingnya kalau rokok itu haram atau makruh..."

"Oh, sangat erat, Pak Ustadz, "potong Bang Tata. " Kalau haram, saya pasti berhenti merokok. Tapi, kalau hanya sekadar makruh, saya akan terus merokok."

Pak Ustadz tidak percaya dengan ucapan Bang Tata. Pengalaman dirinya bertemu dan berbicara dengan para pecandu rokok, label makhruh dan haram tidak terlalu bermakna bagi mereka. Apalagi jika mereka berkilah bahwa sepanjang ayat Al Qur'an tidak mengharamkan rokok, maka tidak pada tempatnya jika ada ulama atau organisasi keagamaan mengharamkan rokok.

"Ah, apa untungnya bicara rokok itu makruh atau haram? Dari dulu saya tidak pernah bersepakat. Tidak ada untungnya. Sebab jika kita berbicara tentang label makruh atau haram, yang terjadi pasti pro dan kontra. Ini tidak sehat bagi umat muslim, "terang Pak Ustadz.

"Lho...."

Kali ini Bang Tata melongo. Ia kaget mendengar pernyataan Pak Ustadz. Juga bingung.

"Makanya saya tidak pernah menyebut rokok itu makruh, apalagi haram. Sebab, dua kata itu pasti akan berujung pada dua kata yang lain. Pahala atau dosa. Saya menghindari itu semua."

Bibir Bang Tata menyungging. Ia serasa mendapat pembelaan. Ia merasa menang. Tapi, Pak Ustadz ternyata belum berhenti berbicara.

"Saya lebih senang menggunakan kata manfaat atau mudharat. Kalau dipandang dari segi apapun rokok ternyata bermanfaat, ya silakan merokok. Tapi, kalau dipandang dari segi kesehatan, sosial, ekonomi, ternyata rokok mengandung lebih banyak mudharat, ya tinggalkan saja."

Bang Tata manggut-manggut. Paham.

"Alhamdulillah.... Terima kasih, Pak Ustadz. Berarti merokok tidak berdosakan?"

Pak Ustadz tersenyum.

"Saya tidak tahu, Bang Tata. Tapi, kata Nabi, salah satu ciri orang beriman ialah ia mampu meninggalkan sesuatu pekerjaan yang tidak bermanfaat."

Bang Tata paham ke arah mana ucapan Pak Ustadz. Bang Tata menggigit bibir. Perih.* * *

Thursday, March 18, 2010

LATIHAN JIHAD

Hati Pak Ustadz menjerit keras. Kumandang azan isya tidak membuat beberapa anak muda tergerak masuk ke masjid. Padahal, jamaah masjid sudah mulai penuh. Sholat Isya sebentar lagi dimulai.

Anak-anak muda itu tetap memilih duduk-duduk santai. Mereka asyik ngobrol, ngalor ngidul. Suara gitar dan tawa cekikikan turut meramaikan. Suasana sangat gaduh. Asap rokok yang mengudara seolah menari-nari di atas kepala mereka.


Jamaah masjid mulai gelisah. Mereka diterkam ragu. Bila iqamat dilantunkan, pasti sholat isya jauh dari khusu'. Namun, bila tidak disegerakan iqamat, kapan sholat isya dimulai. Menunggu mereka bubar? Tidak mungkin.


Pak Ustadz menengok ke belakang. Ia memandang beberapa anak muda yang duduk di pojok masjid. Ada lima anak muda di situ. Mereka berpeci semua. Pak Ustadz tahu siapa saja mereka.

"Salah satu di antara kalian. Keluar. Peringatkan teman-temanmu yang di luar itu agar berhenti bermain gitar. Kalau bisa, ajak mereka ke masjid dan sholat."

Kelima anak muda itu terkejut mendengar perintah Pak Ustadz. Mereka saling berpandangan. Masing-masing tidak tahu harus bertindak apa. Mereka ragu. Mereka merasa sungkan. Mereka tak bergerak.


"Ayo! Kenapa kalian diam saja. Apa kalian tidak mendengar perintahku? Tegur mereka. Suruh mereka sholat berjamaah."


Anak-anak muda berpeci itu tak juga beranjak pergi. Mereka malah main tunjuk dan main dorong.


"Ayo, kamu saja!"


"Nggak ah. Kamu saja."


"Kita sama-sama saja, yuk!"


"Nggak bisa. Aku nggak enak."


Pak Ustadz menggeleng-gelengkan kepala melihat anak-anak muda yang berpeci itu. Ia berdiri dan berjalan menuju ke arah mereka.


"Kenapa kalian semua ini. Takut? Sungkan? Merasa tidak enak?"


Anak-anak muda berpeci itu hanya diam. Muka mereka menunduk. Mereka memilih dimarahi Pak Ustadz dibanding memenuhi permintaan Pak Ustadz untuk menegur para pemuda yang bermain gitar di luar masjid.


"Aneh kalian semua! Bagaimana mungkin kalian pergi ke medan jihad di Palestina, Irak, atau Afghanistan jika hanya untuk sekadar menegur mereka yang bermain gitar di dekat masjid saja kalian tidak berani! Payah!"


Pak Ustadz kecewa. Benar-benar kecewa. Ia langsung pergi setelah menumpahkan kejengkelannya. Ia sangat kecewa dengan anak-anak muda yang aktif di masjid. Mereka taat, tapi kurang memiliki keberanian.


Dari dalam masjid, para jamaah melihat Pak Ustadz berbicara dengan para pemuda yang bermain gitar. Para pemuda menyingkir setelah Pak Ustadz menegurnya. * * *

MANTRA SAKTI 40 HARI

Telepon di rumah Pak Ustadz berdering nyaring. Sehabis subuh. Kala Pak Ustadz masih asyik menyimak huruf demi huruf yang tertera dalam lembaran kitab suci, Al Qur'an. Sedikit tersentak, Pak Ustadz menyentuh gagang telepon. Ia mengangkatnya.

Ucapan salam terulur dari bibir Pak Ustadz. Lalu, pujian syukur meluncur setelah tahu bahwa suara di seberang adalah adiknya. Firman, adik lelaki Pak Ustadz yang paling kecil, si bungsu. Anak kesayangan ibu Pak Ustadz yang sudah tiada.

"Jadi, istrimu sudah melahirkan? Kapan? Laki-laki apa perempuan? Sehatkan? Masih di rumah sakit sekarang? Anakmu bagaimana?"

Pak Ustadz membombardir Firman dengan pertanyaan-pertanyaan yang diselingi semburat kebahagiaan. Wajar karena Firman memang adik yang paling dekat dengan dirinya. Wajar karena Firman sudah menunggu kedatangan anaknya lebih dari dua tahun.

Dari seberang, Firman menjelaskan secara panjang lebar.

"Iya, Mas. Kemarin melahirkannya. Laki-laki. Alhamdulillah, ibu dan bayinya sehat. Sekarang di rumah. Dokter sudah memperbolehkan pulang. Sudah dua hari tiba di rumah."

Pak Ustadz tersenyum. Wajahnya ikut memancarkan kebahagiaan. Pesannya kemudian.

"Jangan lupa aqiqah, ya Firman. Ingat, itu sebagai wujud syukur atas kelahiran anakmu. Semoga dengan aqiqah itu doa dan kehendakmu atas anakmu untuk menjadi manusia yang soleh bisa terwujud."

"Terima kasih, Mas. Insya Allah. Tapi, mungkin tidak segera. Mertuaku meminta di hari ke-40 aqiqah baru bisa dilaksanakan."

Pak Ustadz terkejut mendengar penjelasan Firman. Batinnya berdesir.

"Lho? Kok hari ke-40? Kata siapa itu? Aqiqah itu mesti dilaksanakan hari ketujuh atau hari keempatbelas. Bukan hari ke-40. Keliru itu."

Firman tergeragap. Di telepon suaranya seperti ditelan ragu. Bingung.

"Iya, Mas. Aku sudah jelaskan ke mertua. Tapi, mereka ngotot. Harus hari ke-40. Bahkan anakku juga tak boleh keluar rumah sebelum hari ke-40 tiba. Rambut dipotongnya pas hari ke-40. Istriku tak boleh memotong kuku kalau belum melewati hari ke-40."

Pak Ustadz coba mengerti.

"Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang?"

Firman menahan napas. Pak Ustadz mendengar dengan jelas.

"Aku tak bisa menentang....." Lirih.

Pak Ustadz kini tahu posisi Firman, adiknya itu. Hatinya menyesalkan. Bukankah aku sudah mengingatkan agar kamu jangan mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Kenapa? Karena mata, telinga, dan hati; kesemuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya kelak.

Pak Ustadz tercenung. Sendirian. Pelan-pelan ia menutup teleponnya. * * *

Thursday, March 11, 2010

ROKOK? TANYAKAN SAJA KEPADA NURANIMU!

"Pak Ustadz, ini fatwa yang nggak bener. Fatwa ini tidak menenteramkan, tapi justru membuat umat resah. Apa sebelumnya mereka tidak berpikir saat mengeluarkan fatwa?!"

Suara Bang Tata keras menghunjam. Hari Minggu. Pagi itu, saat secara kebetulan Pak Ustadz yang sedang berolahraga bertemu Bang Tata di jalan. Pak Ustadz hanya tersenyum. Diam. Ia membiarkan Bang Tata berbicara dari sudut hatinya yang paling dalam.

"Pak Ustadz, fatwa seperti ini akan membuat para petani tembakau menjerit. Buruh di pabrik berteriak. Pengusaha memberontak. Pemerintah kehilangan dana dari cukai. Saya yakin, fatwa ini tidak akan pernah dihormati, apalagi ditaati umatnya!"

Pak Ustadz tetap menyimak suara Bang Tata. Ia bahkan membiarkan Bang Tata pasang aksi. Mengambil rokok dari kantong, menyulut dengan korek api, dan menghisapnya dalam-dalam. Asap mulai menyelimuti sekelilingnya.

"Contohnya saya, Pak Ustadz. Saya mewakili suara para perokok. Saya pasti tidak akan pernah berhenti merokok. Ada atau tidaknya fatwa itu saya tetap merokok. Saya tidak peduli dengan fatwa rokok!"

Bang Tata terus berbicara. Asap rokok dan suara kerasnya bergantian keluar dari bibirnya.

"Pak Ustadz, apa yang terjadi kalau umat sudah tidak lagi mau mendengar ulama?!"

Pak Ustadz diam tak menjawab. Ia hanya memperhatikan jemari Bang Tata yang lincah mempermainkan batangan rokok.

"Kacau! Pasti kacau! Makanya semestinya para ulama atau organisasi keagamaan berpikir dahulu sebelum mengeluarkan fatwa. Telaah dari berbagai macam segi. Jangan hanya emosi sesaat!"

Suara Bang Tata bergulir seirama air. Terus mengalir.

"Kalau sudah begini siapa yang susah. Semuanya!"

Kali ini sepi. Tiba-tiba. Suara Bang Tata menghilang. Pak Ustadz membiarkan Bang Tata bermain-main dengan rokoknya. Pak Ustadz sama sekali tak bersuara. Ia tak berusaha untuk menanggapi Bang Tata.

"Pak Ustadz, bukankah kalau rokok itu haram berarti yang merokok berdosa? Lalu, bagaimana semestinya saya bersikap?"

Lirih. Hampir tak terdengar. Ada nada kekhawatiran, lebih lagi ketakutan. Pak Ustadz hampir-hampir tak bisa menahan ketawa. Bagaimana mungkin sebongkah batu yang keras hanya sepersekian detik kemudian lalu meluruh?

Pak Ustadz sungguh mengasihani. Bang Tata, ya Bang Tata kini.

"Rokok soal kecil, Bang. Jangan tanya saya. Tanyakan saja kepada nurani Abang. Karena nurani tak mungkin bisa berbohong, apalagi menipu..."

Pak Ustadz melangkah, meneruskan lari paginya. Bang Tata termangu. * * *

Tuesday, March 09, 2010

SELEKSI MUJAHID

Hari Jumat, ba'da ashar. Ah, selalu saja muncul kegelisahan pada setiap waktu itu dalam diri Pak Ustadz. Bukan kegelisahan sebenarnya, tapi lebih mirip kemalasan. Entah, kenapa. Pak Ustadz sendiri kadang bingung.

Pak Ustadz sudah berusaha mengusirnya. Keras. Dengan segala macam cara. Tapi, rasa malas itu muncul lagi dan muncul lagi. Susah untuk ditahan.

"Hari ini mengisi di Masjid Attaubah, Abi?"

Suara istri Pak Ustadz muncul dari balik pintu dapur. Secangkir teh hangat terhidang di depan Pak Ustadz. Teh itu tidak sendirian. Pisang goreng yang juga masih hangat ikut menemani.

Pak Ustadz tak menyentuh. Teh dan pisang goreng itu dibiarkan saja. Mata Pak Ustadz lebih senang terarah ke langit-langit rumah. Putih. Tapi, pada beberapa bagian sudah mulai menghitam, tanda air hujan telah menggerusnya. Keropos.

Istri Pak Ustadz langsung duduk di sampingnya. Tak bersuara juga. Hanya menatap wajah suaminya. Ruang dapur menjadi terasa senyap.

"Malas ke Masjid Attaubah....."

Pak Ustadz menghela napas. Ucapan istrinya menohok perasaannya. Sakit. Menyakitkan. Tapi, benar. Amat benar. Pak Ustadz tidak pernah bisa membantah perkataan istrinya bila sudah menyangkut Masjid Attaubah.

Setiap kali mendengar Masjid Attaubah Pak Ustadz merasa bak orang kalah. Ia serasa gagal menjadikan jamaah masjid itu membludak. Setiap ia datang dan memberi kajian, yang datang hanya segelintir. Orang-orangnya juga itu-itu saja. Pak Ustadz sudah sampai taraf bosan dan putus asa berdakwah di Masjid Attaubah.

"Apa sebaiknya aku tinggalkan saja ya?"

Istri Pak Ustadz terkejut mendengar ucapan suaminya. Seumur-umur baru kali ini suaminya berniat meninggalkan medan dakwah.

"Lho, kenapa Abi tinggalkan?!" cetus istri Pak Ustadz agak keras.

"Bukankah Masjid Attaubah merupakan bukti bahwa Allah sangat mengasihi Abi? Justru di Masjid Attaubah Allah telah memenuhi janjinya bahwa ia tidak meninggalkan Abi jika Abi tetap lurus dalam berdakwah."

"Maksud Umi?" tanya Pak Ustadz kebingungan.

"Di Masjid Attaubah, Abi tidak perlu lagi menyeleksi mana yang calon mujahid dakwah, mana yang bukan. Allah yang langsung menyeleksinya dari jumlah yang banyak. Jamaah yang sedikit adalah pilihan Allah."

Pak Ustadz terkesiap mendengar ucapan istrinya. Ia menyimak kata-kata istrinya.

"Beda dengan di masjid lain. Jamaah membludak. Tapi, Abi tidak tahu mana yang calon mujahid dakwah, mana yang bukan. Abi bahkan kebingungan menyeleksinya karena terlalu banyak dan kerap berganti-ganti..."

Pak Ustadz mengangguk. Ia membenarkan ucapan
istrinya. Ah, kenapa aku harus meninggalkan medan dakwah hanya karena jamaahnya sedikit? * * *

BUKAN PUNCAK IMAN

Mata Pak Ustadz terpana. Ribuan perasaan berkecamuk. Bahagia, senang, terharu. Di depannya berdiri seorang gadis berkerudung putih. Manis, manis sekali. Pak Ustadz terkesiap beberapa detik untuk kemudian tersadarkan.

"Umi! Ini Danti?! Benar Danti?!" seru Pak Ustadz tertahan.

Istri Pak Ustadz senyum-senyum. Ia seperti membiarkan suaminya didera keraguan. Bingung. Hayo, siapa? Tebak sendiri! bantinnya.

"Benarkan, Danti?" kembali Pak Ustadz meyakinkan dirinya sendiri.

"Kalau bukan Danti, siapa? Apa orang lain?" goda istri Pak Ustadz.

"Jadi benar, ini Danti?"

Istri Pak Ustadz kini mengangguk. Di sampingnya, gadis menjelang dewasa itu hanya tersenyum. Parasnya menampakkan sedikit malu. Namun, hatinya tidak bisa membohongi kalau dirinya sangat bahagia.

"Alhamdulillah.... Kamu sepertinya sudah berubah sekarang!" cetus Pak Ustadz tak mampu menyembunyikan rasa senangnya.

Danti tersipu-sipu mendengar ucapan Pak Ustadz. Baginya, ucapan itu tak berbeda dengan pujian. Benar, pujian. Pujian terhadap dirinya. Wajah Danti memerah. Perasaannya seolah menuju puncak.

Pak Ustadz ingat benar siapa Danti. Ia adalah salah satu keponakan istrinya. Dari beberapa perempuan keponakan istrinya, Danti terbilang "istimewa". Ia gadis yang paling susah diatur. Kemauannya keras dan tak mudah ditaklukkan. Ibu dan ayahnya, bahkan sudah angkat tangan terhadap Danti.

Pikiran Danti aneh-aneh. Meski perempuan, ia tidak suka dibatasi. Hidup Danti adalah hidupnya sendiri. Maka pulang malam sudah sangat biasa bagi Danti. Merokok tidak asing baginya. Gonta-ganti kekasih pernah dilakoninya.

Hobi Danti ngeband. Tidak dengan perempuan, tetapi dengan laki-laki. Kata Danti, ngeband dengan laki-laki lebih asyik. Keras, lugas, dan bebas. Karena hobinya itu, sekolah Danti amburadul. Ia pernah tidak naik kelas gara-gara hobinya itu.

Kini, Pak Ustadz seperti kehilangan kata-kata berdiri di hadapan Danti yang lain. Danti yang berjilbab. Danti yang berperilaku lembut. Lalu, ke mana Danti yang dulu itu?

"Paman, Danti ingin mengaji di sini. Danti ingin menambah ilmu agama yang selama ini tidak Danti miliki. Danti berharap, Paman dan Bibi mau sedikit memberi pengetahuan kepada Danti, " harap Danti sambil tertunduk.

Pak Ustadz manggut-manggut. Hatinya mengucap syukur. Allah telah menunjukkan jalan-Nya. Pak Ustadz yakin, Danti sudah berubah. Jilbab yang dikenakannya adalah bukti. Tak hanya berjilbab, Danti bahkan bersemangat untuk terus mengaji.

"Danti, jilbab yang kamu kenakan bukanlah sebuah puncak keimanan. Justru dengan mengenakan jilbab, kamu dituntut untuk menambah wawasan dan pengetahuanmu. Jadi, jangan berhenti dengan jilbab!"

Danti manggut-manggut mendengar ucapan Pak Ustadz. Ucapan itu seakan menebalkan hatinya untuk terus melangkah pada keyakinannya yang baru. * * *