tag:blogger.com,1999:blog-42768924557977226802024-03-09T05:35:24.699+07:00"..........dan kata-kata adalah ibadah".Setiap pertemuan selalu bermakna. Dengan siapa saja. Pertemuan membuat kita bisa berlatih untuk membaca hati juga mengasah diri.pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.comBlogger82125tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-17981231313782627642011-01-25T08:41:00.002+07:002011-01-25T10:17:48.384+07:00ANAK-ANAK MUDA JOMPO<span style="font-family: verdana;">Pagi subuh. Pak Ustadz bergegas hendak pergi ke masjid. Entah masjid apa. Pak Ustadz tidak tahu. Ia hanya mendengar panggilan sholat itu terus bergema di atas langit menjelang fajar. Pada sebuah daerah yang Pak Ustadz sendiri tidak terlalu memahaminya. Akibat mobilnya mogok di tengah perjalanan, Pak Ustadz terpaksa terlambat pulang. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz masuk ke sebuah masjid yang agak jauh dari sebuah gang. Mobilnya diparkir di pinggir jalan dan ia berjalan kaki. Setelah berwudhu, Pak Ustadz melaksanakan sholat sunnah dua rakaat. Beberapa orang masuk ke dalam masjid. Hanya beberapa, ya beberapa. Mungkin sekitar lima atau enam orang. Tak lebih.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Di masjid itu Pak Ustadz melemparkan pandangannya. Hatinya sedikit tergetar. Pak Ustadz hanya bertemu orang-orang yang sudah tua. Rata-rata mereka sudah berumur enampuluh tahun ke atas. Bahkan Pak Ustadz masih sempat melihat ada seorang lelaki yang seolah terhuyung-huyung saat masuk ke masjid. Renta. Ah, pasti lebih dari tujupuluh tahun.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Ke mana anak-anak muda di kampung ini? Adakah kampung ini masih memiliki anak-anak muda yang kekar, berotot, dan punya vitalitas tinggi? batin Pak Ustadz bertanya. Tapi, hingga iqamah dan sholat jamaah berlangsung, Pak Ustadz tak menemukan anak-anak muda di situ. Anak-anak muda di situ seolah ditelan kelam malam.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Seusai sholat, iseng-iseng Pak Ustadz bertanya kepada orang tua yang menjadi imam. Saat berjalan menuju pulang.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Maaf, Pak. Aneh, kenapa ya sholat subuh di masjid ini hanya terisi oleh orang tua saja? Ke mana anak-anak muda di kampung ini?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Orang tua yang tadi menjadi imam itu tersenyum kepada Pak Ustadz. Mulutnya sama sekali tidak mengeluarkan suara. Pak Ustadz menjadi sedikit penasaran.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Kenapa ya, Pak?" ulang Pak Ustadz. Sedikit menegaskan.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Kini, senyum di bibir orang tua itu lenyap. Wajahnya seperti mendung. Gelap. Lalu dari mulutnya keluar kata-kata keras.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Anak-anak muda di sini tak ubahnya keledai di siang hari. Lambat, malas, dekat dengan kebingungan. Tapi, di malam hari mereka layaknya bangkai. Tidur tak bergerak, enggan untuk bangun, dan susah untuk bangkit."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz terkejut. Ia tak menyangka orang tua itu bisa berkata begitu keras, tajam, seolah tanpa tedeng aling-aling. Hatinya menjadi semakin penasaran.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Kok bisa?" </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Bisa saja. Sebab anak-anak muda di sini adalah anak-anak muda yang sudah menjadi jompo."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz kembali terkejut. Hatinya sedikit terluka. Anak muda jompo? Ah, pasti begitu banyak di negeri ini anak-anak muda yang tidak mau kalah dengan para orang tua. Menjadi jompo! * * *</span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-39443719382721873962011-01-19T09:12:00.003+07:002011-01-19T10:02:06.269+07:00CERITA ANAK TENTANG KEMESRAAN ORANG TUA<span style="font-size:100%;"><span style="font-family: verdana;">Nadia, si bungsu Pak Ustadz sedang bermain di teras depan rumahnya. Ia bermain bersama Husna, Alysa, dan Ajma. Mereka bermain congklak. Nadia berhadapan dengan Husna, Alysa menghadapi Ajma. Semua anak tampak menikmati permainan itu.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Dari ruang depan Pak Ustadz melihat keempat anak itu. Ah, anak-anak yang manis. Moga kalian menjadi anak-anak yang salehah nantinya, batin Pak Ustadz. Congklak, ah permainan yang baik. Ada sedekah di situ. Ada kejujuran di situ.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Husna, bapak ibu kamu kalau sayang-sayangan di rumah seperti apa?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz terbelalak. Tiba-tiba mulut Ajma berucap seolah tak teratur. Anak usia TK, lima tahun, mengapa mereka berbicara seperti itu? Pak Ustadz hendak keluar dan menegur Ajma. Tapi, hatinya tiba-tiba berbisik, jangan! Jangan! Biarkan mereka berbicara!</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz seperti dicegah dasar hatinya. Ia justru kini menunggu ucapan Husna. Ia penasaran dengan kelanjutan pembicaraan anak-anak itu. Seperti tanpa bersalah Husna berucap ringan.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Ya, gitulah. Ayah dan ibu paling salaman doang. Nggak ngapain-ngapain."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Sama seperti bapak dan ibuku dong, " cetus Ajma menyela. "Mereka kalau sayang-sayangan juga salaman aja. Itupun jarang. Pernah aku melihat bapak mencium pipi ibu. Eh, bapak sama ibu malu banget."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Kalau bapak-ibu kamu, gimana Alysa? Apa mereka seperti aku dan Husna?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Alysa terdiam. Tapi, wajahnya seperti menunjukkan rasa tak enak untuk bicara.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Nggak pernah. Ayah dan bundaku nggak pernah sayang-sayangan. Kalau di rumah ya biasa saja. Bicara, bercanda."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Hening sejenak.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Kalau ayah dan ibu kamu gimana, Nadia?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz gemetar. Ia seperti sedang menunggu vonis hakim. Dadanya seolah tak enak. Ia agak takut jika rahasia diri dan istrinya keluar dari anak bungsunya. Tapi, hatinya meyakinkan. Tidak! Tidak mungkin!</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Nadia tersenyum manis. Dari mulut kecilnya terlontar kata-kata sejuk.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Abi dan Umi kalau sayang-sayangan suka berpelukan. Awalnya mereka bersalaman. Lalu, Abi memeluk dan mencium kening Umi."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Memeluk? Ayah dan ibumu berpelukan?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Iya, malah sering. Kayaknya setiap hari Abi dan Umi berpelukan."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Husna, Alysa, dan Ajma melongo. Mereka seperti bingung. Berpelukan setiap hari? Ah, aneh. Mungkin begitu pikir anak-anak itu.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz memaklumi ketidapahaman teman-teman Nadia. Mereka belum paham bahwa setiap pelukan sayang dari seorang suami kepada istrinya atau sebaliknya akan mampu menambah angka harapan hidup pasangannya setiap hari.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Tak percaya? Buktikan saja! * * *</span></span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-45670388192134796062011-01-10T12:47:00.006+07:002011-01-10T16:40:21.588+07:00MISTERI BAU TUBUH KYAI KASAN<span style="font-size:100%;"><span style="font-family:verdana;">Namanya singkat, Hasan, tapi banyak orang memanggilnya Kasan. Dia bukan kyai yang punya pesantren, namun orang menyapanya dengan sebutan kyai, panggilan khas orang berpengaruh di pesantren. Konon, panggilan kyai itu diperoleh Kasan karena sikapnya yang mirip ulama; taat beribadah, saleh, santun, lembut, jauh dari marah. Maka lengkaplah panggilan namanya sebagai Kyai Kasan. </span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Usia Kyai Kasan sekitar enampuluh tahun. Sudah cukup untuk pensiun dari pekerjaannya. Namun, kata pensiun sepertinya tidak dikenal oleh Kyai Kasan. Pada ujung usianya menuju batas, ia masih tetap setia dengan pekerjaannya, yakni </span></span><span style="font-style: italic;font-family:verdana;font-size:100%;" >ngider </span><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:verdana;">alias keliling.</span><br /><br /></span><span style="font-style: italic;font-family:verdana;font-size:100%;" >Ngider</span><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:verdana;">? Ya, Kyai Kasan adalah penjual pisang keliling dari kampung ke kampung. Dengan gerobak yang dimilikinya, beberapa tandan pisang yang dijual Kyai Kasan tak pernah tidak laku. Selalu habis. Bahkan kalau Kyai Kasan belum kelihatan </span></span><span style="font-style: italic;font-family:verdana;font-size:100%;" >ngider</span><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:verdana;">, puluhan ibu-ibu sudah antre menunggu di depan rumah masing-masing.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Ada satu hal ganjil yang dimiliki Kyai Kasan yang tidak dimiliki orang lain. Bau tubuhnya. Ya, bau tubuh Kyai Kasan terlalu harum untuk ukuran orang seperti dirinya yang sederhana dan tidak terlalu mempedulikan persoalan tubuh. Bau tubuh Kyai Kasan juga unik. Bau itu kadang seperti melati, tapi lain waktu bisa seperti mawar.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Pak Ustadz secara serius pernah bertanya kepada Kyai Kasan mengenai bau tubuh dirinya yang harum. Tapi, Kyai Kasan malah menertawakan Pak Ustadz sambil menunjukkan bajunya yang berkeringat..</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Ah, Pak Ustadz ini ada-ada saja. Mana mungkin bau tubuh saya seperti melati atau mawar. Tiap hari saja badan saya basah kuyup seperti ini."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Aku tidak bohong, Kyai, " kata Pak Ustadz tetap dengan keyakinannya. "Bau badanmu harum seperti bunga. Wangi. Aku jadi penasaran, apa parfum yang kamu pakai hingga badanmu bau seperti itu?"</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Saya tidak memakai apa-apa, Pak Ustadz."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Ayo, jujurlah. Bau itu wangi sekali. Dan sepertinya awet. Tidak mudah luntur. Aku ingin punya bau yang seperti itu."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Kyai Kasan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia benar-benar tidak paham dengan ucapan Pak Ustadz. Namun, ketidakpahaman inilah yang sedang merasuki benaknya. Sebab, tak hanya Pak Ustadz, tetapi juga ibu atau bapak-bapak yang lain.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Pak Ustadz, demi Tuhan, saya tidak tahu kenapa bau tubuh saya harum seperti yang Pak Ustadz dan orang lain bicarakan. Sebab, saya mandi dua kali sehari seperti orang lain mandi. Pakai sabun yang dibeli di pasar oleh istri saya. Malah saya tak tahu apa itu parfum."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Pak Ustadz manggut-manggut. Jawaban Kyai Kasan malah membuatnya penasaran. Ia ingin tahu apa yang terjadi di balik itu semua. Pak Ustadz yakin ada "tangan" tak terlihat yang menjadikan Kyai Kasan seperti itu.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Apa Kyai Kasan punya amalan-amalan yang mungkin dulu diberi oleh seseorang hingga membuat tubuh Kyai berbau harum?"</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Kyai Kasan mengingat-ingat segalanya. Namun, benaknya tak mampu menjawab.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Tidak, Pak Ustadz. Saya tak kenal amalan-amalan. Saya sholat seperti orang lain sholat. Saya puasa seperti orang lain puasa. Saya juga coba berbuat kebaikan seperti orang lain berbuatnya. Tidak ada yang aneh pada diri saya."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Benar </span><span style="font-style: italic;font-family:verdana;" >nih</span><span style="font-family:verdana;">?"</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Demi Allah."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Pak Ustadz mengangguk-angguk. Dia percaya dengan jawaban Kyai Kasan. Tapi, dia tetap penasaran dengan bau tubuh Kyai Kasan. Dari mana sebenarnya bau harum itu muncul? Apa yang menyebabkannya? </span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Bahkan ketika jasad Kyai Kasan sudah terbujur kaku, bau harum itu tetap merebak. Pak Ustadz baru sedikit mengerti tentang itu sesudah istri Kyai Kasan bercerita kepadanya.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Itulah, Pak Ustadz. Dia sebenarnya sudah saya larang pergi ke rumah Haji Sahal karena dia sendiri juga lagi sakit. Tapi, dia ngotot. Tak bisa diomongin. Sebagai istri saya sudah menyerah kalau Dia sudah bicara silaturahim. Katanya, setiap orang boleh masuk surga melalui pintu manapun, tapi aku ingin masuk melalui jalan silaturahim. Karena ini yang aku mampu..." </span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Silaturahim? Ah, Pak Ustadz kini sedikit tahu jawabannya. * * *</span><br /></span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-46799167679975632642011-01-07T08:40:00.002+07:002011-01-07T10:07:30.617+07:00SENYUM SI MAYIT<span style="font-family: verdana;">Kampung Pak Ustadz gempar. Puluhan orang meniupkan suara dari jalan ke jalan, gang ke gang, dan rumah ke rumah. Gara-garanya Mbah Kisrun. Kematiannya yang tidak diduga-duga dan tanpa didahului sakit telah meninggalkan bekas di benak semua orang.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Jenazah, Mbah Kisrun tersenyum!"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Puluhan orang yang melihat dengan mata kepala sendiri wujud jenazah Mbah Kisrun berusaha menyimpulkan tanpa membesarkan-besarkan.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Iya. Aku yang pertama kali mengangkat jenazah Mbah Kisrun saat pertama kali terlentang di kamar mandi. Nggak ada luka, tapi nafasnya sudah tak berdetak. Saat dipindah ke kamar tidur tiba-tiba bibir Mbak Kisrun sudah membuka seperti tersenyum."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Kardi yang paling dulu melihat peristiwa meninggalnya Mbah Kisrun memberi kesaksian. Amin tak mau kalah. Ia juga berusaha menambahkannya.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Bener omongan Kardi. Bahkan ketika disholatkan, jenazah itu tetap tak berubah. Meninggalkan senyum yang bagi semua orang terasa misteri."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Misteri? Misteri apa?" tanya Kosim yang sedari tadi diam.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Lho, bagaimana nggak misteri, bukankah sakaratul maut dan kematian itu sesuatu yang menyakitkan?" bantah Amin dengan nada cukup keras. "Kata Pak Ustadz, sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang.</span><span style="font-style: italic; font-family: verdana;">"</span><em style="font-family: verdana;"></em><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Iya. Pak Ustadz bahkan pernah menerangkan bahwa kematian yang paling ringan-pun dapat diibaratkan sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang tersobek?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Kosim terdiam, tak membantah. Tapi, tiba-tiba mulutnya bergetar.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Lalu, kenapa jenazah Mbak Kisrun tersenyum?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Kardi dan Amin kini yang ganti terdiam. Ia seperti tak mampu menjawab pertanyaan Kosim. Namun, benak dan hatinya menari-nari berusaha untuk menjawab pertanyaan itu dengan cara mengingat-ingat kembali sosok Mbah Kisrun.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Ah, pasti karena Mbah Kisrun rajin sholat berjamaah di masjid dan hadir pengajian-pengajian."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Mungkin juga karena Mbah Kisrun suka menolong dan menyantuni anak yatim dan orang terlantar."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Atau mungkin karena Mbah Kisrun tak suka bermusuhan dengan siapapun juga." </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Kardi dan Amin berusaha menerka-nerka. Namun, semua jawaban itu seolah tak memuaskan Kosim, bahkan juga bagi diri Kardi dan Amin. Senyum Mbah Kisrun di saat ajal menjemput tetap menjadi misteri sampai kemudian Kosim nyeletuk ringan. </span><em style="font-family: verdana;"></em><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Jenazah Mbah Kisrun tersenyum, pasti karena saat menjalani hidup dan kehidupannya Mbah Kisrun memang tak pernah tidak tersenyum."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Kardi dan Amin kali ini tersenyum. Benar! Benar sekali! Mereka memang tak pernah melihat Mbah Kisrun marah, sedih, jengkel, iri, atau dengki. Ia seolah menjalani hidup dengan ikhlas, apa adanya. Apakah ini yang menyebabkan jenzah Mbah Kisrun tersenyum? * * *</span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-12519816975135740832010-11-25T08:55:00.006+07:002010-11-25T09:54:18.515+07:00PERJANJIAN DENGAN TUHAN<span style="font-size:100%;"><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz berjalan tertatih-tatih. Malam itu, saat gerimis mulai tumpah di tanah. Bukan karena sakit di kaki, juga bukan karena tak ingin lekas sampai. Pak Ustadz tertatih-tatih karena di sampingnya hadir Eyang Sukro.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz menemani Eyang Sukro kembali dari rumah Pak Said. Mereka sengaja bersilaturahim ke rumah keluarga Pak Said setelah mendengar kabar bahwa Pak Said meninggal dunia di Mekah. Ya, Pak Said meninggal di tanah suci saat menunaikan ibadah haji. Hal yang sebenarnya dianggap percaya dan tidak oleh Eyang Sukro. Lho?</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Said itu sebenarnya pergi ke Mekah tidak semata-mata naik haji, Pak Ustadz. Dia hendak melakukan perjanjian dengan Tuhan di sana...." </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Eyang Sukro mulai membuka rahasia. Pak Ustadz kaget. Tapi, dia percaya. Dia tahu bagaimana akrabnya Eyang Sukro dan Pak Said. Bahkan Pak Said sudah menganggap Eyang Sukro ibarat orang tuanya sendiri. Tapi, perjanjian dengan Tuhan? Apa maksudnya?</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz tak menanggapi. Eyang Sukro melanjutkan ceritanya.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Pak Ustadz tahu sendirikan kondisi Said. Tubuhnya ringkih. Tidak sekuat dulu lagi. Tubuhnya setiap waktu digerogoti penyakit yang entah kapan bisa sembuhnya. Segala cara sudah ia tempuh. Tapi, penyakit yang dideritanya tak juga mau pergi."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Lalu..." Pak Ustadz mulai tertarik.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Maka Said meniatkan haji tahun ini untuk melakukan perjanjian dengan Tuhan...."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Maksudnya?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Kata Said kepada saya. Jika Tuhan menyembuhkan sakitnya, sepulang dari haji ia berjanji akan menjadi sebaik-baiknya manusia. Segala amalan yang diperintahkan oleh Allah dan rasulnya akan ia tunaikan. Namun, sebaliknya, jika sepulang dari Haji, Tuhan tidak juga menyembuhkan sakitnya, ia berjanji akan menjadi manusia yang paling buruk dari seburuk-buruknya manusia."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz terkejut dengan ucapan Eyang Sukro. Ia seperti tidak percaya.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Benar itu Eyang?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Benar. Dia bilang sendiri ke saya satu hari sebelum ia berangkat."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz terpekur. Benaknya berkelana. Ah, selalu saja manusia memiliki kehendak untuk berencana, tapi Tuhan selalu menentukan yang terbaik bagi umatnya. Apakah ini yang menyebabkan manusia memiliki ribuan niat saat hendak berhaji ke tanah suci hingga perlu muncul sikap "meluruskan niat"? * * * </span><br /></span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-91964908634040493152010-11-23T08:59:00.005+07:002010-11-23T10:10:06.118+07:00KENTUT BATAL<span style="font-size:100%;"><span style="font-family:verdana;">Selalu saja ada kenikmatan yang tidak mungkin mampu dituangkan ke dalam kata-kata jika Pak Ustadz pergi ke masjid. Apalagi dilakukan bersama kedua anaknya yang masih kanak-kanak. Di kedua tangannya yang menggenggam jari-jari anaknya seolah menguak harapan.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Jelang matahari terbit. Di pagi subuh. Mulanya memang agak susah, tapi lama kelamaan Fakih dan Abdan mampu mengikuti irama yang dimainkan oleh Pak Ustadz. Bahkan keduanya sangat menikmati pergi ke masjid di saat orang lain masih terlelap dalam tidur.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Abi, Adik tadi sholatnya nggak sah," cetus Fakih tiba-tiba. Nada suaranya seperti menggoda. Pak Ustadz hanya tersenyum mendengar ucapan anaknya yang pertama itu.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Namun, tidak dengan Abdan. Adiknya itu tampaknya tidak suka "belangnya" diketahui orang lain, apalagi sampai dikoar-koarkan. </span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Bohong. Kakak bohong, Abi. Sholat Adik sah," balas Abdan dengan wajah sedikit cemberut.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Memang Adik kenapa?" tanya Pak Ustadz berusaha menengahi.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Adik kentut."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Tidak. Adik tidak kentut."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Fakih dan Abdan mulai ribut. Keduanya tak mau kalah. Masing-masing bersikeras dengan tuduhan dan penolakannya. Pak Ustadz paham kalau dibiarkan keduanya bisa bertikai tanpa akhir.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Kok Kakak tahu kalau Adik kentut."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Baunya. Kakak hafal banget bau kentut Adik. Ya seperti bau yang ada di masjid tadi."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Pak Ustadz geli mendengar jawaban Fakih. Tak ingin memperpanjang, Pak Ustadz lalau bertanya kepada Abdan.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Benar, Adik tadi kentut?"</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Adik memang merasa ada bau yang aneh tadi. Tapi, Adik nggak kentut. Bener, Adik nggak kentut. Lagian, itu bukan bau kentut."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Pak Ustadz kini tahu masalahnya. Pak Ustadz kemudian menyudahi masalah itu dengan berucap.<br /><br />"Abi percaya kalau ada bau yang aneh tadi seperti yang Kakak omongkan. Tapi, Abi juga percaya kalau Adik tadi nggak kentut. Sebab, Adik tadi sudah bilang. Dan tandanya orang kentut itu bukan pada baunya...."<br /><br />"Lho, pada apanya, Abi?" tanya Fakih dan Abdan hampir berbarengan.<br /><br />"Tandanya kita kentut </span></span><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:verdana;">sehingga kita batal sholat itu ada dua. Pertama, ada suara yang keluar dan kedua ada angin yang juga keluar dari lubang belakang kita. Bau itu hanya akibat."<br /><br />Fakih mengangguk-angguk. Abdan tersenyum puas. Sangat puas. * * *<br /></span></span><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:verdana;"> </span></span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-85400193715989695912010-10-19T09:24:00.002+07:002010-10-19T10:05:05.713+07:00DRAMA ARISAN<span style="font-family: verdana;">Pulang arisan. Sore yang berkabut. Istri Pak Ustadz masuk rumah dengan wajah yang kusut. Tak enak dilihat. Jilbab putih yang dikenakannya menjadi terlihat suram. Bahkan kelam. Pak Ustadz tahu diri.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Pulang-pulang </span><span style="font-style: italic; font-family: verdana;">kok</span><span style="font-family: verdana;"> malah kusut. Ada apa </span><span style="font-style: italic; font-family: verdana;">sih</span><span style="font-family: verdana;">?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Istri Pak Ustadz tak menjawab. Diam. Langkahnya tertuju ke dapur. Pasti minum! Pak Ustadz sudah hafal dengan kebiasaan istrinya. Setiap ada masalah yang hendak diungkapkan, tapi dirasakan mengganjal di hati, pasti istri Pak Ustadz meminum air dulu. Seteguk atau dua teguk.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Sudah? Sekarang ceritakan!"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Istri Pak Ustadz mengambil napas. Lalu, keluarlah dari bibirnya keluhan yang dari waktu-waktu seolah itu-itu melulu. Pak Ustadz seperti sudah hafal. Karena setiap pulang arisan, istrinya selalu mengeluhkan hal yang sama. Ibu-ibu yang suka pamer!</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Kali ini ia mengeluhkan sikap Ibu Andre yang baru membeli mobil baru. Diceritakan bagaimana enak dan nikmatnya mobil yang mereka miliki. Ke mana-mana jadi gampang. Tak perlu naik angkot. Topik arisan pun beralih ke soal mobil.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Kalau setiap bulan seperti itu terus, mendingan saya tak berangkat arisan. Buat apa. Tujuannya arisan. Silaturahim dengan tetangga. Ujung-ujungnya pamer!"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Istri Pak Ustadz </span><span style="font-style: italic; font-family: verdana;">ngedumel</span><span style="font-family: verdana;">. Pak Ustadz tersenyum kecut. Hatinya tidak mempermasalahkan sikap ibu-ibu di arisan. Tapi, ada rasa khawatir pada dirinya terhadap sikap istrinya. Hasud! Ya, hasud! Lama kelamaan sikap istrinya jengkel, marah akan bisa berubah menjadi hasud. Dendam! </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Bagaimana menurut, Abi?" tanya istri Pak Ustadz.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Aku tidak peduli dengan mereka. Tapi, aku khawatir dengan sikap kamu. Sebab, tanpa terasa kamu bisa terhinggapi oleh hasud. Padahal, hasud adalah watak yang paling berbahaya jika sudah melekat dalam jiwa seseorang..."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Ah, tidak mungkin. Tidak mungkin. Masa soal pembicaraan arisan bisa jadi hasud."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz terdiam. Kali ini wajahnya berubah serius. Ia lontarkan pandangan matanya ke wajah istrinya.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Sekarang, tolong dijawab. Apakah kamu tidak suka dengan kenikmatan yang mereka peroleh?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Iya. Sebab, kenikmatan itu membuat mereka lupa diri. Cerita tak ada ujung pangkalnya."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Apakah kamu ingin kenikmatan itu hilang dari mereka?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Iya. Sebab, silaturahim dalam arisan akan menjadi baik jika kenikmatan itu dihilangkan."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Apakah kamu ingin kenikmatan itu berpindah kepada dirimu?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Ehm... Kalau bisa, iya. Sebab, aku pasti tidak akan seperti mereka."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz menutup wajahnya. Matanya memerah. Ia tahu, istrinya telah dihinggapi perasaan hasud. Dendam terhadap kenikmatan yang dimiliki orang lain. Mulut Pak Ustadz berucap lirih, memohon ampun. * * * </span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-89280561835232613452010-10-11T10:08:00.000+07:002010-10-11T10:10:00.279+07:00UTANG NERAKA<span style="font-size:100%;"><span style="font-family: verdana;">”Abi, ada Kang Giman di luar....”</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Suara lembut menyentil telinga Pak Ustadz yang tengah memanjakan matanya; membaca buku. Tubuh Pak Ustadz malas bergerak. Baru setelah istri Pak Ustadz menyentil untuk kedua kalinya, Pak Ustadz beranjak.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Kang Giman. Ah, Kang Giman. Selalu saja hati Pak Ustadz tergetar jika nama itu disebut. Ada semacam perasaan tergores yang dalam. Padahal nama itu tidak pernah melukainya. Padahal nama itu terdengar kelam karena mulut orang-orang. </span><br /><span style="font-family: verdana;">”Sehat, Pak Ustadz?” sapa Kang Giman dengan keramahan yang sengaja dibuat.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz tersenyum. Kecut. Rasa curiga menyentak dadanya. Seperti tak mau berhenti. Pak Ustadz berusaha melawan. Namun, semakin keras dilawan, sentakan curiga itu malah semakin keras.</span><br /><span style="font-family: verdana;">Dugh! Benar. Kang Giman datang untuk meminjam uang. Lumayan besar. Tentu untuk kantong Pak Ustadz yang tidak tergolong dalam, bahkan bisa dikatakan pas-pasan. Satu juta rupiah. Katanya untuk berobat. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Benak Pak Ustadz langsung berkelana. Ia tidak ingin menyakiti hati Kang Giman. Tapi, ia juga tak mau tertipu seperti orang-orang yang pernah bercerita kepadanya. Kang Giman tukang tipu! Ia penipu ulung!</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">”Kang Giman, saya tidak keberatan meminjami uang. Tapi, kapan Kang Giman mampu melunasi pinjaman itu?”</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Kang Giman terkejut. Hatinya berbisik, lho kok seperti ini? Biasanya kalau pinjam uang tak pernah ditanya kapan mengembalikannya. Jadi, asyik-asyik saja. Pura-pura tak ingat. Bahkan kalau bisa melupakannya. Ah, Pak Ustadz aneh! </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">”Sebulan. Ya, sebulan. Ehm, tanggal tujuh,” jawab Kang Giman sekenanya.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">”Nah, kalau sebulan dan tanggal tujuh, apa jaminannya?”</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Gila! Ini sih gaya rentenir! Mosok meminjam uang ke Pak Ustadz ditanya jaminan segala. Persis bank. Edan! Kang Giman berontak. Ribet amat pinjam uang sama Pak Ustadz. Padahal cuma sejuta.</span><br /><span style="font-family: verdana;">”Saya punya sertifikat rumah, Pak Ustadz....”</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">”Oh, ya. Kalau punya sertifikat, bawa ke sini. Nanti uang itu saya berikan.”</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">”Kalau uangnya dulu, gimana. Nanti saya antar sertifikatnya. Saya perlu banget.”</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">”Rumah Kang Giman-kan dekat. Tinggal bawa ke sini dan tunjukkan. Sertifikat itu juga tidak saya minta kok.”</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Kang Giman melongo. Ia tak menyangka Pak Ustadz yang bijak dan budiman bisa sesulit itu tatkala dipinjami uang. Padahal, ia berharap Pak Ustadz tidak terlalu cerewet. Bukankah meminjamkan uang termasuk kebaikan?</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Jangan keliru Kang, batin Pak Ustadz. Pinjam-meminjam uang bukan masalah ringan. Betapa banyak orang yang begitu mudahnya meminjamkan uang ke orang lain, tapi mereka justru enggan menagihnya. Malu. Pekewuh. Tak enak hati. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Akhirnya, menyebarlah fitnah. Keliru. Ini keliru. Piutang harus menagih orang yang terutang agar pintu surga terbuka bagi orang yang terutang untuk masuk ke dalamnya. Kasihan dia kalau tidak ditagih! </span><br /><span style="font-family: verdana;"> </span><br /><span style="font-family: verdana;">Di ruang tengah istri Pak Ustadz mencegat Pak Ustadz.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">”Abi, katanya Abi tak punya uang. Kok mau pinjami uang ke Kang Giman?”</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">”Ah, mosok aku mesti menceritakan kesusahan kita kepada orang lain....”</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Istri Pak Ustadz tertegun. Bingung. * * * </span><br /></span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-76776297279345278852010-10-08T08:38:00.002+07:002010-10-08T10:39:10.198+07:00MENJEMPUT KEMATIAN DENGAN SENYUM<span style="font-size:100%;"><span style="font-family: verdana;">Ia lari tergopoh-gopoh. Kakinya seperti diseret. Napasnya tersengal-sengal. Mang Jani, pria yang sudah tidak muda lagi. Pak Ustadz memperhatikan dari jauh. Ia menunggu karena Mang Jani seolah hendak mendatanginya. Ada apa gerangan?</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Pak Ustadz! Pak Ustadz!"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Mang Jani melambai-lambaikan tangannya. Pak Ustadz mendekat.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Ada apa, Mang?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Fadli! Fadli, Pak Ustadz! Fadli meninggal...."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Ucapan berduka langsung muncul dari bibir Pak Ustadz. Wajahnya menampakkan rasa terkejut yang luar biasa. Pikirannya langsung membayang kepada sesosok anak muda berkulit bersih dengan wajah yang tidak bisa dibilang jelek. Fadli, ya Fadli.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Tadi siang aku masih omong-omong dengannya setelah ia pulang dari kantor kepolisian. Katanya, mau mengurus surat kelakuan baik sebagai syarat kerja."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Iya, benar. Sepulang dari sana ia langsung rebahan dan tidur. Ternyata saat dibangunkan, dia sudah tidak bisa bangun untuk selamanya. Sudah ya Pak Ustadz. Saya mau mengurus pemakamannya."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Mang Jani pamit. Pak Ustadz mengangguk. Pak Ustadz berjanji hendak menyusul Mang Jani sesegera mungkin. Tapi, tiba-tiba saja benak dan hatinya seolah tak bisa lepas dari Fadli. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Ah, Fadli! Anak muda yang merindukan kematian. Setiap ketemu Pak Ustadz tak ada topik pembicaraan yang begitu diminatinya selain kematian. Kematian! Ya, kematian! Pak Ustadz sampai bingung dengan sikap Fadli.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Apa kamu tidak lagi ingin hidup, Fadli?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Oh, bukan begitu, Pak Ustadz. Saya mencintai kehidupan. Tapi, tak ada yang lebih saya cintai dan sangat saya rindukan, selain kematian. Masa lalu itu sangat jauh dari kita. Tapi, kematian itu sesungguhnya sangat dekat. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Kenapa kamu bisa berpikir begitu?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Setiap detik, setiap menit, kematian seolah mengintai kita. Jujur, saya tidak ingin diintai oleh kematian. Saya juga tak mau menjadikan kematian sebagai musuh dalam selimut. Saya justru ingin bersahabat dengannya sehingga andai kematian datang, ia datang dengan senyum persahabatan yang tulus." </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Ah, apakah ini jawaban dari pertanyaan kenapa Fadli sangat rajin ke masjid akhir-akhir ini? Apakah ini juga jawaban mengapa Fadli begitu sangat sayang dan kasih kepada ibunya? Apakah ini jawaban kenapa Fadli tidak pernah menyakiti hati para tetangga, teman, sahabat, atau kerabat? </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Di rumah Fadli, Pak Ustadz melihat Fadli tersenyum. Benar tersenyum. Senyum dalam kematian. Jelang senja itu. * * *</span><br /></span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-16864253829418917062010-09-27T08:51:00.003+07:002010-09-27T10:01:28.291+07:00BAWAHAN LEBIH PENTING DIBANDING ATASAN!<span style="font-size:100%;"><span style="font-family: verdana;">Ceramah pesanan. Begitulah Pak Ustadz biasa menjuluki saat seorang utusan menjumpai dan memintanya berceramah di suatu tempat. Tapi, tidak berhenti di situ. Karena, sang utusan kemudian meminta beberapa pesan "kebaikan" kepada Pak Ustadz agar disampaikan di depan jamaah.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz kadang pusing. Tentu saja, sebab ia mesti mengaitkan pesan itu dengan ayat-ayat yang ada dalam kitab suci. Kadang Pak Ustadz mengabaikan. Namun, Pak Ustadz kadang melakukan, sejauh hal itu tidak bertentangan dengan nuraninya.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Intinya, Pak Ustadz diminta menyampaikan tentang pentingnya seorang atasan dalam sebuah pekerjaan. Kami berharap Pak Ustadz menyampaikannya dalam ceramah nanti. "</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz manggut-manggut. Dua utusan yang datang terlihat gembira. Mereka senang karena misi yang berasal dari atasannya telah tersampaikan.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Tapi, kenapa Bapak berpesan seperti ini?" tanya Pak Ustadz mulai sedikit usil. Ia memang penasaran dengan kebiasaan kantor atau perusahaan yang memintanya berceramah, tapi selalu disisipi pesan titipan alias sponsor atawa iklan.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Oh, nggak kenapa-kenapa, Pak," kata dua orang utusan itu sedikit gagap. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Kami hanya ingin para bawahan mengerti bahwa tugas atasan itu sangat penting. Suara atasan mesti didengar, dihormati, dan dilaksanakan oleh para bawahan. Jika suara atasan diabaikan, maka entah apa yang terjadi dalam sebuah organisasi."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz mengangguk. Ia mulai mengerti ke arah mana pembicaraan itu. Tapi, rasa usilnya tetap tak pudar.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Menurut anda berdua, apakah di kantor, atasan itu memang lebih penting dibanding bawahan?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Utusan yang pertama menjawab.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Oh, jelas, Pak Ustadz. Atasan itu ibarat kepala dalam tubuh manusia. Kepala itu isinya otak atau pikiran. Tanpa, kepala, otak, dan pikiran, tak akan mungkin kantor kami akan mampu bergerak. Kami semua sangat tergantung kepada kepala itu."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Utusan yang kedua menjawab.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Atasan itu pemimpin, Pak Ustadz. Ia pemilik tongkat komando. Tanpa, komando atasan, para bawahan akan kebingungan, tak tahu apa yang mesti kerjakan."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz tersenyum. Ia paham jalan pikiran kedua orang itu.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Kalau saya malah berpikir bawahan itu lebih penting dibanding atasan. Sebab, tanpa bawahan tidak mungkin ada atasan. Tanpa bawahan, orang juga akan dianggap gila. Tapi, tanpa atasan, orang dinilai biasa-biasa saja. "</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Lho, kok bisa, Pak Ustadz?" Kedua orang itu bingung menyimak maksud Pak Ustadz.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Anda pasti berani ke luar rumah tanpa atasan. Tapi, tanpa bawahan, Anda berani tidak?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Kedua orang utusan itu terdiam sejenak. Lalu, keduanya tertawa terbahak-bahak mendengar maksud ucapan Pak Ustadz. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Jadi, benarkan, bawahan itu lebih penting dibanding atasan?!" * * * </span><br /></span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-64372862717889123402010-09-24T09:04:00.003+07:002010-09-24T10:38:08.360+07:00PEMBURU JABATAN<span style="font-size:100%;"><span style="font-family: verdana;">Teman-temannya dulu tidak sedikit yang menjuluki sebagai "pemburu jabatan". Sebab, hampir seabreg jabatan telah diraihnya. Tentu dengan kerja keras dan sedikit ambisi. Mulai dari jabatan yang rendah hingga yang tinggi. Mulai dari jabatan yang "basah" sampai jabatan yang konon "kering kerontang".</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Dik Singgih, demikian Pak Ustadz memanggilnya akrab. Mantan adik kelasnya saat duduk di bangku sekolah dasar. Jangan dibandingkan sekarang. Karena Pak Ustadz bukan siapa-siapa, sedangkan Mas Singgih jelas "siapa-siapa". Mereka bertemu ketika sekolahnya mengadakan reuni. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Bagaimana kabarnya sekarang, dik? Jadi orang penting ya...." </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz coba menyapa ramah. Ia memang masih mengenalnya. Dan memang tak akan pernah melupakannya. Singgih tetap seperti dulu dengan ciri khas tahi lalat yang cukup besar di kening sebelah kiri.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Ah, bisa saja Mas ini. Biasa saja kok," jawab Singgih tersipu malu.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz agak terkejut dengan sikap Singgih. Ternyata ia tetap ramah, tidak berubah. Ia juga tak segan menjawab pertanyaan dan pernyatan yang dikeluarkan Pak Ustadz. Bahkan termasuk ambisinya untuk meniti jalan sebagai politisi. Kata Singgih, politisi adalah batu loncatan bagi dirinya untuk menggapai ratusan jabatan empuk di beragam bidang kehidupan. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Maaf, Dik Singgih. Saya </span><span style="font-style: italic; font-family: verdana;">kok</span><span style="font-family: verdana;"> agak bingung. Kenapa </span><span style="font-style: italic; font-family: verdana;">sih</span><span style="font-family: verdana;"> Dik Singgih begitu berambisi menduduki jabatan-jabatan yang empuk di negeri ini?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Singgih tertawa kecil. Ia seperti mentertawakan kebodohan Pak Ustadz. Bahkan mulutnya Singgih agak lama menutupnya. Baru setelah diam sejenak ia menjawab pertanyaan Pak Ustadz.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Jujur, Mas. Jabatan tinggi membuat saya lebih mudah mencari harta dan kekayaan. Andaipun saya memiliki harta, belum tentu dengan harta dan kekayaan saya akan mampu menduduki jabatan."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz terperangah.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Jabatan juga bebas dari pencurian, Mas. Bahkan pencuri ternama sekalipun keder melihat jabatan yang diduduki seseorang." </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz tercenung.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Ingat, Mas. Jabatan akan meluas tanpa paksaan. Orang akan memuji ketinggian, kebesaran, dan kemuliaan kita setelah tahu bahwa kita menduduki suatu jabatan tertentu."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Dan terakhir, Mas. Ini yang paling penting. Jabatan membuat kita mampu menguasai dan mengendalikan seseorang, banyak orang, bahkan keadaan di sebuah lingkungan."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Kepala Pak Ustadz puyeng. Ia kini baru menyadari bahwa Singgih, adik kelasnya dulu memang telah berubah. * * * </span><br /></span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-51908569147518013692010-09-23T08:30:00.005+07:002010-09-23T11:36:15.652+07:00ANAK NAKAL DARI TUHAN<span style="font-size:100%;"><span style="font-family: verdana;">Resepsi pernikahan. Di malam hari. Sendirian. Di gedung. Ah, selalu saja muncul perasaan galau. Entah apa dan dari mana datangnya. Pak Ustadz tidak tahu. Hanya, ia setiap kali berusaha melawannya, meski tak sampai memusnahkannya.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Oh, ada! Seru Pak Ustadz dalam hati setelah melihat sebuah bangku kosong. Dengan membawa piring makanan Pak Ustadz menikmati sajian mewah yang tersedia. Cukup! Cukup! Pak Ustadz hanya mencukupi perutnya dengan kue puding, apel, dan salak pondok.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Suara musik hiburan bergema di atas panggung. Para tamu memamerkan ribuan wajah. Bersliweran. Ketawa, canda, ceria. Sungguh, memang hari yang berbahagia. Tapi, tiba-tiba.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Plak! Plak!</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz terkejut. Lemparan benda asing menerpa tubuhnya. Kue puding! Ya, kue puding. Bercak kotor tampak di baju Pak Ustadz. Pak Ustadz melemparkan pandangannya. Dua anak lelaki berusia sekitar tujuh dan lima tahun tertawa terbahak-bahak. Mereka seperti tidak merasa bersalah.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Maaf, Pak. Maaf. Anak saya ini nakalnya memang minta ampun. Saya sampai malu dibuatnya. Tadi sudah menjatuhkan piring. Sekarang lempar-lemparan puding..."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Seorang perempuan berpakaian istimewa mendatangi Pak Ustadz. Tangannya mencengkeram kedua anak lelakinya kuat-kuat. Wajahnya menampakkan ribuan perasaan. Marah, malu, jengkel, kecewa. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Ayo, duduk kalian! Diam di sini! Ingat, kalian tak boleh ke mana-mana! Di sini saja! Di sini!"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Perempuan berpakaian istimewa itu menatap Pak Ustadz dengan perasaan amat bersalah. Berkali-kali bibirnya berucap maaf dan maaf. Keluhnya kemudian.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Saya sudah putus asa terhadap mereka berdua. Mereka benar-benar nakal. Aneh, ya Pak, kenapa saya bisa melahirkan anak-anak yang demikian nakal? Padahal, saya dan suami saya bukan orang-orang yang nakal."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Perempuan berpakaian istimewa itu seolah membela diri. Pak Ustadz tak menanggapi. Hanya diam. Perempuan itu terus melanjutkan ucapannya.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Saya tidak tahu salahnya di mana. Anak-anak sudah saya berikan fasilitas pendidikan yang terbaik. Sekolah terbaik. Guru terbaik. Teman dan lingkungan yang baik. Hasilnya..." </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Perempuan berpakaian istimewa itu melingkarkan dua jarinya sehingga membentuk angko nol. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Akhirnya, saya berpikir, Tuhan memang telah memberikan saya anak-anak yang nakal."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Kali ini Pak Ustadz tersenyum. Ia seperti memahami . Namun, Pak Ustadz tak bisa menahan bibirnya untuk berucap.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Maaf, ibu. Jangan salahkan anak-anak. Kasihan mereka. Mereka adalah anak-anak Tuhan. Karena anak-anak Tuhan, mungkin malah ibu dan suami ibu yang sejatinya bersalah. Sebab, siapa tahu ibu dan suami ibu yang justru lupa melibatkan Tuhan dalam proses pembuatannya...."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Perempuan berpakaian istimewa itu seperti tercenung mendengar perkataan Pak Ustadz. Namun, sebelum perempuan itu membuka mulutnya kembali, Pak Ustadz telah terlebih dahulu mohon pamit. *** </span><br /></span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-23410589021321926782010-09-21T09:10:00.003+07:002010-09-21T10:08:30.027+07:00DOA MINTA JABATAN<span style="font-size:100%;"><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz kedatangan tamu. Seorang lelaki berpakaian perlente. Kulitnya bersih, tubuhnya sedikit tambun, dan baunya wangi. Rambut lelaki itu klimis. Pak Ustadz tidak tahu siapa dia. Pak Ustadz hanya tahu bahwa lelaki itu mencari dirinya dan masuk ke rumahnya.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Lelaki perlente itu tidak sendirian. Ia datang berdua dengan seorang pria berbaju hitam dan bercelana hitam. Pria itu lebih terkesan sebagai pengawal atau sopirnya. Sikap dan tindak tanduknya mengisyaratkan itu.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Bapak mungkin salah mencari saya. Sebab, maaf. Saya sama sekali tidak mengenal Bapak. Saya takut Bapak salah alamat."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz bersikap seramah mungkin. Ia khawatir lelaki perlente itu salah tujuan dan merasa malu telah masuk ke rumahnya. Tapi, lelaki itu bersikeras. Ia tidak merasa salah tujuan. Ia yakin dirinya benar.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Oh, tidak. Saya memang ingin bertemu dengan Pak Ustadz. Saya punya keperluan khusus dengan Bapak."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Keperluan khusus?" Pak Ustadz sedikit terkejut. Keningnya berkerut.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pikiran Pak Ustadz langsung berputar-putar dengan seribu dugaan. Mungkin lelaki perlente itu meminta Pak Ustadz untuk mengisi ceramah di rumahnya atau mungkin lelaki perlente itu hendak mengundang Pak Ustadz hadir dalam sebuah acara. Mungkin lelaki perlente itu berniat mengajak Pak Ustadz mendirikan sebuah pondok pesantren. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Maaf, keperluan khusus apa ya?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Lelaki perlente itu terdiam sejenak. Ia sedikit ragu. Wajahnya menunjukkan itu. Namun, setelah Pak Ustadz meyakinkannya, lelaki perlente itu kemudian menjelaskan maksudnya. Awalnya terdengar rikuh, lama kelamaan suaranya semakin meyakinkan.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Kata lelaki perlente itu, ia sengaja datang khusus ke Pak Ustadz karena ingin meminta berkah. Ia berharap Pak Ustadz dapat mewujudkannya. Berkah itu berupa jabatan dan pangkat yang ingin ia diduduki. Ia sudah berusaha sekeras mungkin dalam bekerja, tapi jabatan dan pangkat yang diincarnya seolah lepas. Jauh dari dirinya.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Saya harap Pak Ustadz bisa memberikan sesuatu untuk saya. Bisa doa, pertolongan, atau pegangan. Terserah Pak Ustadz pokoknya...."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz kini tahu maksud kedatangan lelaki perlente itu. Tapi, bagi Pak Ustadz, lelaki perlente ini telah keliru. Ia salah alamat. Pak Ustadz tidak cukup punya kemampuan untuk mewujudkan jabatan atau pangkat pada diri seseorang. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Maaf, Bapak. Sekali lagi maaf. Bapak salah alamat. Saya tidak memiliki kemampuan itu. Benar, sungguh, " kata Pak Ustadz lembut tapi tegas. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Semburat kekecewaan langsung terlihat di wajah lelaki perlente itu. Tapi, ia tak kurang akal. Beberapa kali ia berusaha memaksakan kehendaknya dengan beragam iming-iming. Pak Ustadz tak goyah. Lelaki perlente itu akhirnya pamit. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Di beranda rumah, Pak Ustadz tercenung. Pangkat! Jabatan! Ah, betapa banyak orang yang bersikeras mendapatkannya, bahkan dengan segala macam cara. Mereka pikir, dengan pangkat atau jabatan, ketinggian, kebesaran, dan kemuliaan layaknya Tuhan Sang Penguasa Jagat, akan mereka dapatkan. * * *</span><br /></span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-60445868738018747902010-09-17T09:39:00.002+07:002010-09-17T14:07:43.435+07:00ANAK-ANAK PENDUSTA<span style="font-size:100%;"><span style="font-family: verdana;">Pulang dari mudik. Pak Ustadz berdesak-desakan dalam kereta api bisnis. Lega, akhirnya ia dan keluarganya mendapat tempat duduk. Tapi, gelisah karena sejak tadi si bungsu Nadia tak kunjung berhenti rewelnya. Aneh-aneh saja ulahnya. Dari mulai merasa lelah hingga ke soal permintaan macam-macam khas anak kecil.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Istri pak Ustadz sudah menyerah. Ia angkat tangan. Istri Pak Ustadz sudah tak kuasa lagi menangani anak perempuan satu-satunya itu. Nadia kini sudah menjadi urusan Pak Ustadz. Namun, di tangan Pak Ustadz, Nadia tak berubah. Ia tetap menunjukkan perilaku yang menjengkelkan.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Sebenarnya Nadia pingin apa?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz berusaha bersikap lembut. Ia percaya Nadia bukan anak yang susah untuk "ditaklukkan". Dengan kelembutan pasti segala sesuatunya berjalan sesuai rencana. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Kecele. Pak Ustadz kecele. Nadia justru menampakkan wajah tak ramah. Wajahnya tak enak dilihat. Sebentar kemudian air matanya sudah tumpah. Dari bibirnya keluar suara sesenggukan. Nadia menangis. Semakin lama tangisan itu semakin keras.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz kebingungan. Ia malu melihat Nadia dan dirinya menjadi tontonan penumpang kereta. Seketika trik Pak Ustadz muncul.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Nadia, mau eskrim? Nanti Abi belikan?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Tangisan Nadia tak berubah. Pak Ustadz mulai kelimpungan.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Nadia kepingin naik kuda? Nanti, pulangnya kita naik kuda. Atau naik delman? Pasti kita naik nanti."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Nadia tak berhenti menangis. Pak Ustadz bertambah bingung. Akalnya sudah mencapai ambang batas. Nadia memang terlalu sulit untuk "ditaklukkan".</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Oh, ya. Katanya Nadia kepingin yoyo. Setiba di rumah Abi janji Nadia akan Abi belikan yoyo. Sepuluh malah..."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Ajaib! Nadia terdiam. Tangisnya berhenti. Ia memandang wajah Pak Ustadz. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Bener, Abi?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz mengangguk. Nadia tak lagi menyebalkan. Senyumnya kini mengembang.</span> Rengekannya pudar sudah. Pak Ustadz tersenyum.<br /><br /><span style="font-family: verdana;">Seorang ibu berkerudung putih ikut tersenyum. Namun, senyumnya terasa aneh di mata Pak Ustadz. Apalagi saat ia bertanya lirih kepada Pak Ustadz.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Apakah Bapak benar-benar akan memenuhi permintaan putri Bapak? Es krim, naik kuda, dan sepuluh yoyo?"<br /><br />"Tidak, " jawab Pak ustadz cepat. " Itu semua hanya agar anak saya berhenti menangis. Saya berharap ia akan lupa dengan apa yang pernah saya janjikan."<br /><br />Ibu berkerudung putih itu mengangguk-angguk. Ia seperti memahami. Tiba-tiba ia bergumam lirih. Sangat lirih. Tapi, hal itu sudah cukup untuk membuat telinga Pak Ustadz tersentil.<br /><br />"Ternyata masih banyak orang tua yang mengajarkan dusta kepada anak-anaknya. Meski baik, tapi itu keliru. Keliru."<br /><br />Pak Ustadz menundukkan pandangan. Saat ia mendongak, ibu berkerudung putih itu telah lenyap dari hadapannya. </span><br /></span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-76274024367291769922010-08-24T09:27:00.005+07:002010-09-20T10:24:11.880+07:00ANDA, AYAH DAN IBU YANG BAIK?<span style="font-size:100%;"><span style="font-family: verdana;">Minggu pagi. Matahari tersenyum cerah. Pak Ustadz dan istrinya asyik bercengkerama. Teh hangat dan pisang goreng menemani mereka berdua. Begitu biasanya. Entah kenapa. Mereka selalu dicekam kerinduan untuk bersama. Padahal, tidak ada yang istimewa pada setiap pagi itu. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz dan istrinya seringkali hanya duduk sambil mengobrol. Kadang diselingi candaan santai. Tak pernah ada percakapan serius di pagi hari saat libur. Namun, kali ini sepertinya lain. Semua ini gara-gara celetukan istri Pak Ustadz.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Abi, di mata anak-anak, kira-kira kita ini termasuk ayah dan ibu yang baik bukan ya?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz kaget mendengar celetukan istrinya. Amat kaget. Ia pandangi wajah istrinya. Ia takut ada yang keliru dengan ucapan istrinya. Sebab, ini tidak biasa. Benar, tidak biasa. Tapi, Pak Ustadz sepertinya tidak menemukan keanehan di wajah istrinya.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Istri Pak Ustadz tetap seperti biasa. Manis dan sedap dipandang mata. Bahkan wajah istri Pak Ustadz seolah menunjukkan keseriusan. Artinya, istri Pak Ustadz tidak sedang mengajak bercanda.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Menurut Umi, bagaimana?" Pak Ustadz balik bertanya.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Lho, Umi tanya malah Abi balik tanya. Bagaimana sih?" </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz tersenyum. Senang. Selalu saja ada kerinduan untuk menggoda istrinya. Manja. Ya, manja. Itu hal yang paling Pak Ustadz sukai dari istrinya. Kemanjaan yang alamiah. Bukan dibuat-buat dan dipaksakan.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Meski senang, di sudut hatinya Pak Ustadz tercenung. Benar! Ucapan istrinya benar! Hampir duabelas tahun ia menjalani pernikahan, tapi sekalipun ia tidak pernah menanyakan dalam hatinya perihal yang satu itu. Ayah yang baik dan ibu yang baik hanya sebuah proses. Itu keyakinan Pak Ustadz. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Saya tidak tahu Umi sebab yang tahu pasti anak-anak kita?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Lho, kok anak-anak kita?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Iya. Sebab, mereka yang merasakan kehadiran kita sebagai ayah atau ibu."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Tapi, Abi pasti punya penilaian tersendiri."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz tersudut. Hatinya memang membenarkan tebakan istrinya. Kendati demikian, Pak Ustadz sejatinya hanya mampu meraba. Ia tetap tidak tahu apakah dirinya ayah yang baik atau bukan. Kata Pak Ustadz kemudian.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Umi, kita berdua adalah pemimpin dalam rumah tangga kita. Kata Nabi, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang selalu mendoakan orang yang kita pimpin dan selalu didoakan oleh mereka. Sebaliknya, pemimpin yang buruk adalah pemimpin yg dibenci oleh orang yang kita pimpin dan dilaknat oleh mereka."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Jadi?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Ya, nanti kita tanya ke anak-anak kita. Apakah mereka selalu mendoakan kita dalam sholatnya."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Tapi, Abi selalu mendoakan anak-anak kitakan?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Insya Allah..."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz dan istrinya saling tersenyum. Dalam hati mereka tersembul janji untuk senantiasa menjadi ayah dan ibu yang baik. * * *</span><br /></span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-37021665048132621072010-08-20T09:46:00.007+07:002010-09-22T14:42:06.376+07:0021 TAHUN TERTIDUR<span style="font-size:100%;"><span style="font-family: verdana;">Hari libur. Fakih masih saja asyik dengan selimut dan bantalnya. Matanya terpejam. Rapat. Tubuhnya tak bergerak. Seolah mati. Padahal, pagi sudah hendak menanti. Ayah, ibu, dan ketiga adiknya sudah terjaga sedari tadi.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz menggeleng-gelengkan kepalanya. Selalu saja begitu. Sejak dulu. Hobi tidur anak sulungnya itu telah sedikit merepotkan Pak Ustadz. Juga mengkhawatirkan. Tidak pagi, siang, sore, atau malam, tidur seperti menjadi idaman.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Kak, bangun! Bangun!"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Suara Pak Ustadz tak membuat Fakih bergerak. Ia tetap saja diam. Seperti tidak mendengar suara dan tepukan ayahnya sendiri. Pak Ustadz sedikit geregetan. Karena, adzan subuh sudah siap-siap hendak dikumandangkan dari masjid seberang.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pyur! Pyur!! Pyur!!!</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Fakih gelagapan. Cipratan air dari tangan Pak Ustadz mengenai mukanya. Seketika Fakih terjaga. Matanya melek. Tapi, badannya masih saja tergelepar di tempat tidur. Melihat siapa yang usil Fakih mengeluh.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Ah, Abi. Ngganggu saja. Inikan masih pagi..."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Kak, ini hampir subuh. Ayo, siap-siap. Adik-adikmu sudah bangun dari tadi. Mereka sudah siap sholat berjamaah."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Ah, aku nanti saja. Sholat sendirian."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Fakih menutupkan selimutnya rapat-rapat. Pak Ustadz tak mau kalah. Ia membuka selimut Fakih yang menutupi mukanya. Tak hanya itu, Pak Ustadz juga menarik tubuh Fakih hingga ia terduduk.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Kakak, dengar!" ucap Pak Ustadz sedikit tegas. "Berapa usia Nabi saat wafat?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Fakih terkejut. Ia bingung kenapa tiba-tiba ayahnya bertanya seperti itu. Mata Fakih mulai membuka.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"63 tahun," jawab Fakih.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Selama usia itu, berapa tahun Nabi tidur?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Fakih tak paham. Pertanyaan ayahnya membingungkan dirinya. Ia menggelengkan kepalanya. Pak Ustadz manggut-manggut.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Jika usia Kakak nanti mencapai 63 tahun, maukah Kakak selama 21 tahun dari usia tersebut digunakan untuk tidur?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Ah, Abi ada-ada saja. Ya nggak mau."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Nggak mau bagaimana? Kalau setiap hari manusia tidur delapan jam, berarti saat Kakak usia 63 tahun nanti, 21 tahunnya untuk tidur. Bahkan bisa lebih karena hobi Kakak tidur," kata Pak Ustadz sambil bergegas meninggalkan Fakih.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Fakih melongo. Lebih dari 21 tahun dalam hidup untuk tidur? Tidak!!!! * * *</span><br /></span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-17485669277224842422010-08-10T14:06:00.004+07:002010-12-22T10:44:03.050+07:00BERI KEBAHAGIAAN KEPADA IBUMU!<span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz sudah lama mengenalnya. Mungkin sekitar lima atau enam tahun. Mereka memang bertetangga, meski tidak terlalu dekat jarak rumahnya. Kegiatan di masjid kerap membuat Pak Ustadz dan dirinya bertemu.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Orang-orang, juga Pak Ustadz, mengenalnya sebagai Aldi. Mulanya, Aldi datang dengan status sebagai mahasiswa. Ia tercatat sebagai mahasiswa pada salah satu perguruan tinggi negeri di kota Pak Ustadz tinggal. Setelah beberapa waktu lulus, Aldi tetap tinggal di tempat itu, bahkan hingga kini. Ia tak pernah pindah.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Ada yang aneh dari Aldi. Selama studi ia tak pernah pulang kampung ke rumah orang tuanya. Juga tidak pernah terdengar orang tua, sanak atau kerabat dari kampung, menengok Aldi. Secara kebetulan Pak Ustadz pernah menanyakan persoalan itu kepada Aldi. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Aldi, </span><span style="font-style: italic; font-family: verdana;">kok</span><span style="font-family: verdana;"> tidak pernah kedengaran pulang kampung ya?" </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Mendengar pertanyaan seperti itu Aldi hanya tersenyum. Ia seperti malu hati. Lalu jawabnya,</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Belum kepingin pulang, Pak Ustadz. Nanti kalau kepingin pasti juga saya akan pulang."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">'Tapi, orang tua masih sehatkan?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Tinggal ibu, Pak Ustadz."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz sedikit tersedak. Tinggal ibu? Ah, kenapa justru malah tidak kepingin pulang jika ibu masih sehat. Pak Ustadz mulai sedikit meraba-raba. Tapi, dalam hati Pak Ustadz tidak timbul sedikitpun rasa curiga.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Kalau tinggal ibu, kenapa Aldi malah jarang pulang?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Aldi agak jengah. Mukanya sedikit memerah. Hatinya seperti tersudut.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Saya ingin membahagiakan ibu saya, Pak Ustadz."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Membahagiakan?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Iya, Pak Ustadz. Saya sudah berjanji dalam hati bahwa saya tidak akan pulang untuk menemui ibu saya sebelum saya sukses dalam studi dan pekerjaan. Sebab, hanya itulah yang mampu membahagiakan ibu saya."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz tidak kaget dengan jawaban seperti itu. Karena jawaban seperti itu seringkali ia dengar dari mulut banyak orang. Mereka berpikir, hanya sukses dalam studi dan pekerjaan yang akan membuat orang tua bahagia. Ah, betapa rendahnya orang tua kalau hanya dipandang seperti itu.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Tak bisakah Aldi pulang satu kali dalam setahun?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Sepertinya tidak bisa, Pak Ustadz."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Tak bisakah Aldi pulang setelah enam tahun merantau?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Sepertinya belum, Pak Ustadz."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz merinding. Hatinya bergetar. Ia tak mampu membayangkan betapa rindunya hati sang ibu kepada Aldi, anaknya itu. Kata Pak Ustadz kemudian.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Aldi, pulanglah besok! Beri kebahagiaan kepada ibumu! Dengan kehadiranmu."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Aldi terdiam. Pak Ustadz pergi menghilang dari pandangan. * * *</span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-42301771136563844962010-08-06T09:34:00.001+07:002010-08-06T09:34:45.895+07:00PERKAWINAN KOTOR<span style="font-size:100%;"><span style="font-family:verdana;">Pak Ustadz tak tahu lagi harus berbuat apa. Matanya memerah. Menyala. Seperti marah. Tapi, sekejap kemudian berubah. Meredup. Lalu, seperti ada cahaya bening dalam bola matanya. Pak Ustadz menangis? Tidak! Matanya telah lelah untuk mengeluarkan air mata.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Duduk di hadapannya Pak Sodri, sepupu Pak Ustadz. Raut mukanya tak beda dengan Pak Ustadz. Hanya Pak Sodri terlihat sangat kuyu. Kusut. Kusam. Cahaya manusiawi yang diberikan Tuhan seolah luluh. Musnah. Hilang entah ke mana.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Jadi, apa yang mesti aku lakukan sekarang?" tanya Pak Sodri lirih. Amat lirih.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Pak Ustadz tak mampu menjawab. Bibirnya terkatup rapat. Ia sangat takut keliru. Pak Ustadz tahu, sekali saja ia mengeluarkan nasihatnya, maka Pak Sodri pasti akan mengikutinya. Padahal, ini bukan persoalan biasa. Ini persoalan yang sungguh maha berat. Baru sekali Pak Ustadz menghadapi masalah yang seperti ini dan ia belum menemukan jawabannya. Jika ada masalah yang seperti ini Pak Ustadz lebih suka menghindar membicarakannya.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Apa mesti aku nikahkan keduanya?" kembali bibir Pak Sodri membuka.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Mata Pak Ustadz menerawang. Mulutnya tetap tak menjawab. Hatinya menggeram. Ini semua gara-gara Nita! Akibat salah pergaulan, semua orang kini dipaksa menanggung akibatnya. Ya, menangung malu. Ya, menanggung bingung. Ya, menanggung dosa. Nita hamil sebelum ia melangsungkan pernikahannya.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Atau aku tunggu sampai Nita melahirkan baru aku nikahkah?" Pak Sodri lagi-lagi meminta persetujuan.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Pak Ustadz tetap tak bersuara. Hatinya tidak yakin Pak Sodri mampu melakukan itu. Jika itu benar dilakukan persoalannya adalah bersediakah Nita untuk tidak menikah demi bayi yang dikandungnya? Lalu, bagaimana dengan keluarga pihak laki-laki? Maukah mereka menuruti dan mengikuti kemauan Pak Sodri.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Aku benar-benar bingung. Sebagai orang tua, aku tak tahu lagi mesti berbuat apa. Aku benar-benar putus asa...."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Putus asa? Pak Ustadz tergeragap. Kaget. Allah mengutuk orang-orang yang bersikap putus asa. Tapi, ia memaklumi jika Pak Sodri dilanda putus asa. Siapa yang mau anaknya hamil di luar nikah? Siapa yang mau anaknya menikah dalam keadaan perut membesar? Siapa yang mau dilanda persoalan tanpa tahu jalan keluarnya. Maka sungguh tidak mudah.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Kau benar tidak tahu jalan keluarnya?!" </span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Pak Ustadz menatap mata Pak Sodri. Terarah. Tajam. Matanya menandakan bahwa Pak Ustadz memang tidak mampu memberikan jawabannya, walau sedikit. Pak Ustadz menyerah. Ia diterpa jalan buntu seperti yang juga dialami Pak Sodri, sepupunya itu. </span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Pak Ustadz mengutuki dirinya sendiri. Batinnya berbicara.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Pernikahan adalah sesuatu yang indah. Kenapa banyak orang yang suka merusaknya sendiri. Perkawinan adalah sesuatu yang suci. Kenapa tidak sedikit orang yang malah mengotorinya sendiri."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Pak Sodri beranjak pergi. Mata Pak Ustadz seperti berair. Ia tak rela melepas sepupunya itu pergi tanpa pegangan dari dirinya. Ah, kenapa hanya masalah hamil di luar nikah aku tak mampu berbicara tegas?, bisiknya. Pak Ustadz menutup wajahnya dengan kedua tangannya. * * *</span></span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-33261376617574785442010-08-03T10:15:00.006+07:002010-12-21T10:30:05.021+07:00MENGAMBIL "HATI" TUHAN<span style="font-size:100%;"><span style="font-family:verdana;">Pak Ustadz masih terpekur di atas sajadahnya. Sepertiga malam. Sebuah waktu yang sangat dianjurkan Allah untuk mengadu, bahkan kalau perlu hingga menitikkan air mata. Tentu, karena keterbatasan kita sebagai mahkluk, hamba. Tapi, jangankan menitikkan air mata, bahkan untuk sekadar berbisik pun Pak Ustadz gagal.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Bibir Pak Ustadz bisu, lidahnya terasa kelu. Pak Ustadz ingin berucap, tapi ia tak punya daya. Pak Ustadz ingin ingin berbicara, tapi ia tak kuasa. Pak Ustadz ingin menumpahkan air mata, tapi bulir-bulir air mata itu tak pernah meluncur dari mata air di matanya.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Ya Allah, kenapa Engkau hilangkan air mata di saat aku memerlukannya? Bukankah Engkau senantiasa perlu bukti agar aku pantas dimasukkan ke dalam surgamu karena aku adalah seorang hamba yang saleh?"</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Pak Ustadz tak menyerah. Ia ingat nasihat dan petuah para gurunya dulu jika ia ingin menangis di hadapan Allah pada sepertiga malam. </span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Kata gurunya, "Ingatlah akan nikmat Tuhan yang tanpa batas itu. Udara, air, tumbuhan, atau hewan. Juga kesehatan, mata sebagai indera penglihat atau telinga sebagai indera pendengar. Pada nikmat yang tanpa batas itu sesungguhnya ada air mata bila kamu merenunginya."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Guru yang lain berkata, " Cobalah engkau ingat akan keliru dan salah. Pada keliru dan salah itu tak jarang terkandung dosa. Seorang hamba yang saleh pasti akan menitikkan air mata sebagai tanda sesal saat ia berbuat dosa." </span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Pak Ustadz tetap tak bisa menangis. Air matanya enggan tumpah. Sepertiga malam seolah menjadi rutinitas belaka. Ia tidak menimbulkan sensasi pribadi, apalagi menumbuhkan watak dan sifat hakiki. Pak Ustadz merasakan ada yang salah pada dirinya.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Pak Ustadz selalu ingat betapa banyak ia menumpahkan air mata saat ia memimpin doa di hadapan para khalayak yang berjejal dalam majelis-majelis zikir yang dipimpinnya. Bersama ratusan jamaah ia sesenggukan meluberkan air mata. Air mata itu tak pernah kering, ia selalu ada.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Ya Allah, haruskah aku menangis karena aku sudah tidak lagi bisa menangis di hadapanMu?</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Pak Ustadz sekarang tahu, sejatinya ia belum paham benar bagaimana cara mengambil hati Tuhan. Pak Ustadz juga belum mengerti benar bagaimana cara "bercinta" dengan Tuhan. Kalau itu saja belum, bagaimana mungkin dirinya hendak disebut sebagai hamba yang saleh dan alim.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Tanpa sadar, Pak Ustadz menitikkan air mata. * * *</span><br /></span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-7621177372588608382010-08-03T10:01:00.011+07:002010-08-30T14:06:42.641+07:00ANAK PINTAR DAN ANAK BODOH<span style="font-size:100%;"><span style="font-family:verdana;">Pak Ustadz terperangah. Wajahnya kaget, tak percaya. Di depan mukanya ia melihat langsung anak pertamanya marah-marah. Fakih memarahi kedua temannya yang tidak mengikuti, bahkan menolak pendapatnya.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Salah! Itu salah! Pendapat aku yang benar. Kamu keliru!"</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Mirip berteriak. Wajah Fakih mengeras. Matanya seolah hendak meloncat keluar. Ia tidak menerima jika yang dikatakannya keliru. Ia justru menyalahkan pendapat kedua temannya yang berbeda dengan dirinya.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Jaka dan Ade yang duduk mengapit Fakih seperti tak enak hati. Keduanya bahkan seperti ketakutan. Mereka hanya menundukkan wajahnya. Mereka tak berani mempertahankan pendapatnya setelah melihat raut muka Fakih.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Kalau tidak percaya kamu bisa buka kembali catatan yang dulu. Di situ pasti tertulis jelas bahwa simbiosis komensalisme adalah hubungan sesama makhluk hidup yang satu diuntungkan yang lain dirugikan."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Bukan Fakih....." tampik Jaka dengan ucapan yang lirih.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Itu simbiosis parasitisme..."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Bukan! Komensalisme. Kamu berdua keliru. Salah!"</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Pak Ustadz tahu mana pendapat yang benar dan pendapat mana yang salah. Namun, ia sengaja membiarkan ketiganya berdebat. Ia ingin tahu bagaimana ketiganya menyelesaikan perbedaan pendapat saat belajar bersama di rumah.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Pak Ustadz hanya memainkan matanya. Melirik, pura-pura tidak melihat. Ia seperti asyik membaca buku yang ada di pangkuannya. Padahal seluruh indera yang dimilikinya diluncurkan pada peristiwa </span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Ayo, sekarang kita lihat catatan kemarin!"</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Pak Ustadz tahu, kenapa kedua teman Fakih tidak yakin dengan pendapatnya sendiri. Bahkan mereka berdua terlihat takut. </span><span style="font-style: italic;font-family:verdana;" >Pertama</span><span style="font-family:verdana;">, mereka tidak yakin dengan pendapatnya karena Fakih memang anak yang paling pintar di kelasnya. </span><span style="font-style: italic;font-family:verdana;" >Kedua</span><span style="font-family:verdana;">, Fakih memiliki pribadi yang kuat dan sulit untuk mengalah. </span><span style="font-style: italic;font-family:verdana;" >Ketiga</span><span style="font-family:verdana;">, mereka belajar di rumah Fakih sehingga mereka terkesan tidak ingin ribut.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Sesaat kemudian.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Kalian benar. Aku yang keliru."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Plong! Pak Ustadz tersenyum melihat Fakih mengakui kesalahannya. Secara sportif, Fakih bahkan menyalami kedua temannya. Ketiganya tersenyum. Mereka melanjutkan belajar bersama.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Pak Ustadz terpekur. Benaknya teringat kata-kata bijak tentang anak pintar dan anak bodoh. Konon, anak pintar ialah anak yang mampu mengekang jiwanya dan memikirkan bahwa segala tindakannya selalu berkaitan dengan Tuhan yang Maha Melihat. Sedangkan, anak yang bodoh adalah anak-anak yang mengikuti hawa nafsunya dan selalu berangan-angan bahwa Tuhan akan selalu bersama dirinya.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Ah, semoga kalian menjadi anak-anak yang pintar, bisik Pak Ustadz. ***</span><br /></span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-27458901210403956132010-07-30T14:51:00.002+07:002010-08-03T10:54:29.831+07:00MATA PESANTREN<span style=";font-family:verdana;font-size:100%;" >Istri Pak Ustadz lagi tak enak badan. Alhasil, Pak Ustadz mesti berangkat ke sekolah untuk mengambil rapor milik si sulung. Ah, pekerjaan yang membuatku malas, batin Pak Ustadz. Selalu begitu, sejak dulu. Kenapa Pak Ustadz didera rasa malas setiap pergi ke sekolah untuk mengambil rapor?<br /><br />Mata Pak Ustadz menyapa ruang kelas. Penuh! Hanya ada satu kursi yang tersisa. Itupun ada di ujung. Mata Pak Ustadz kembali beredar. Aduh, hatinya mengeluh. Tak ada lelaki yang duduk di sana. Semua perempuan, semua ibu-ibu.<br /><br />Pak Ustadz melangkah masuk. Ia memberi senyuman, pertanda kesopanan. Pak Ustadz mengambil tempat duduk yang kosong.<br /><br />"Mengambil rapor, Pak?" Basa-basi seorang ibu yang duduk paling dekat dengan Pak Ustadz.<br /><br />Pak Ustadz mengangguk. Bibirnya tersenyum.<br /><br />"Lho, kok bukan ibunya. Ke mana ibunya, Pak?" Ibu-ibu yang lain mulai terlibat dalam pembicaraan.<br /><br />"Sakit. Tidak enak badan."<br /><br />Para ibu mengerti setelah mendengar jawaban Pak Ustadz. Mereka melanjutkan pembicaraannya. Mereka meninggalkan Pak Ustadz dalam diam. Meski ditinggalkan, Pak Ustadz tetap mendengar suara-suara mereka. Ibu-ibu itu sedang berbicara tentang masa depan anak-anaknya.<br /><br />"Oh, anakku pingin jadi artis. Saya kan bingung. Soalnya bapak ibunya bukan artis," kata ibu yang berbaju merah sambil terkekeh.<br /><br />Ibu yang berbaju hijau tidak mau kalah. Ia berusaha menganggap dirinya lebih dibanding ibu yang berbaju merah.<br /><br />"Anakku artis nggak mau. Katanya, para artis banyak yang tidak pintar. Ia malah pingin jadi dokter. Padahal sudah saya bilang kalau dokter sekarang sama saja. Susah nyari kerjanya."<br /><br />Ibu yang terakhir bergabung menyela. Nadanya sinis.<br /><br />"Anakku belum punya cita-cita. Tapi, aku ingin ia jadi politisi. Gede bayarannya, kerjanya sedikit. Bisa bolos lagi. Enak-kan kerja seperti itu.... "<br /><br />Sepi. Pembicaraan ibu-ibu itu berhenti. Nyenyat. Tiba-tiba ibu yang berbaju hijau menoleh ke Pak Ustadz dan bertanya.<br /><br />"Kalau putra Bapak ingin jadi apa?"<br /><br />Pak Ustadz tergeragap. Kaget. Benar-benar kaget. Namun, hanya sesaat. Ia kemudian menjawabnya ringan.<br /><br />"Jadi ustadz, makanya habis lulus nanti akan saya masukkan ke pesantren."<br /><br />"Pesantren?" Ibu-ibu yang lain ikut terkejut. Pak Ustadz mengangguk.<br /><br />"Iya. Biar mata anak saya belajar melihat apa yang semestinya dilihat. Telinga anak saya belajar mendengar apa yang seharusnya didengar. Mulut anak saya belajar berbicara apa yang seharusnya ia bicarakan.Hati anak saya belajar bergumam apa yang seharusnya ia gumamkan.""<br /><br />Kali ini ibu-ibu yang lain ikut terkejut mendengar jawaban Pak Ustadz. Dalam benak dan hati mereka berucap lirih, orang aneh! Benar orang aneh! * * * </span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-69950355864808787402010-07-07T09:33:00.007+07:002010-07-09T16:10:05.578+07:00KREATIF PELIT<span style="font-size:100%;"><span style="font-family: verdana;">Mobil-mobil di depan berjalan lambat. Seperti keong. Tertatih-tatih. Pak Ustadz mulai hilang kesabaran. Tombol klakson di kemudi sudah hendak ditekannya. Namun, jari Pak Ustadz langsung berhenti ketika telinganya menangkap sayup-sayup suara.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Terima kasih bapak-ibu atas sumbangannya. Semoga sumbangan itu mampu membuat kami segera menyelesaikan pembangunan masjid ini. Dan semoga perjalanan bapak-ibu tidak kurang suatu apa hingga sampai di tempat tujuan. Amien."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz paham. Amat paham. Mobil-mobil di depan yang berjalan pelan terhalang oleh "serombongan" peminta sumbangan. Mereka sengaja memasang tanda berupa tong dan sedikit tulisan pada kain. Mau tidak mau mobil yang melewati jalanan itu berjalan pelan.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Saat mobil yang lewat berjalan pelan, rombongan peminta sumbangan itu segera menyodorkan keropak ke mobil-mobil itu. Bila penumpang dalam mobil menyodorkan uang, maka ucapan terima kasih dan selarik senyuman meluncur dari mereka. Namun, jika penumpang tak menyodorkan, bibir mereka terkatup rapat.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Paman, kita kasih nggak?" tanya Farid, keponakan Pak Ustadz yang kini beranjak remaja.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz terdiam sebentar. Katanya kemudian.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Kasih saja."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Berapa Paman?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Kamu bisa ambil uang yang ada di laci dashboard. Di situ sepertinya ada uang yang cukup untuk menyumbang mereka."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Farid membuka laci. Ia menemukan selembar uang sepuluh ribuan. Dilihat dan ditimang-timangnya uang itu. Lalu, dielus-elusnya. Seperti ada yang aneh pada uang itu, tapi lebih-lebih pada Farid. Ia seperti berpikir keras. Keningnya berkerut.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Paman, sayang ya kalau uang ini kita kasihkan ke mereka.., " ucapnya dengan mimik aneh.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Lho kenapa?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Jujur, aku nggak suka orang-orang seperti mereka. Kerjanya cuma mempermalukan diri mereka sendiri. Lebih lagi, mereka telah mempermalukan Islam. Paman pikir, apakah tidak ada cara lain untuk membangun masjid, selain meminta-minta sumbangan di jalanan."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz terkejut mendengar suara Farid. Ada puluhan rasa bertentangan yang bergelayut. Kecewa, sedih, jengkel, khawatir. Namun, di sudut lain, ada senyum dan rasa bangga Pak Ustadz terhadap sikap kritis Farid.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Umat Islam mestinya kreatif dan jauh dari watak meminta-minta. Apalagi ini pekerjaan mulia, menggalang dana dan dukungan untuk pendirian masjid. Bener begitukan, Paman?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz terdiam.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Bagaimana Paman?" ulang Faris.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz mendehem sejenak. Lalu katanya.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Bener. Tapi, tidak semestinya kita menyalahkan mereka. Sebab, bagaimana mereka tidak menengadahkan tangan di sepanjang jalan jika kita-kita ini tetap bersikap pelit dan bakhil terhadap sesama, bahkan terhadap orang-orang seperti mereka. Jelas agama ini susah untuk maju."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Kali ini gantian Sofwan yang terkejut. Ia seperti bingung mencerna ucapan Pak Ustadz. Namun, Pak Ustadz tak peduli. Ia tetap memandang ke depan dengan setir kemudi di tangannya. * * *</span></span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-43326046329427390982010-06-29T10:15:00.002+07:002010-06-29T10:17:18.841+07:00CITA-CITA SANG KUNCEN<span style="font-size:100%;"><span style="font-family: verdana;">Ada banyak penjaga makam atau kuncen. Tapi, tidak ada yang seunik Pak Tarno. Usianya sudah mendekati uzur. Jalannya sedikit tertatih. Tongkat tak pernah lepas dari tangannya. Namun, wajah Pak Tarno seolah polos, bersih. Wajahnya ibarat orang tak berdosa. Seperti kanak-kanak.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Tarno serasa beda dengan wajah para kuncen di makam yang lain. Kebanyakan kuncen berwajah seram atau sengaja menyeramkan diri. Juga kumuh, terlihat kotor. Entah kenapa. Mungkin karena dirinya sadar sebagai penjaga kuburan, maka sengaja menyeramkanatau mengumuhkan diri. Biar disegani sekaligus ditakuti para peziarah.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Sehat, Pak Pak Tarno?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Sebuah sapaan ramah menyentuh telinga Pak Tarno. Pak Ustadz!</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Eh, Pak Ustadz. Alhamdulillah. Berkat doa Pak Ustadz."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz dan Pak Tarno kemudian duduk di bebatuan dekat makam. Seperti biasa mereka bicara ngalor ngidul. Seperti tak ada habisnya. Kadang Pak Tarno yang bertanya, Pak Ustadz menjawab. Kadang Pak Ustadz yang bertanya, Pak Tarno yang menjawab.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Oh, jadi setua gini, Pak Tarno masih menyimpan cita-cita?" Canda Pak Ustadz yang dibarengi dengan senyum menggoda.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Tarno tersipu malu. Mulutnya sedikit membuka.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Tapi, aneh juga ya, apakah orang tua tidak boleh bercita-cita? Tentu saja boleh dan bahkan harus. Selama tubuh masih bernafas, kita mesti memiliki cita-cita. Hidup Pak Tarno!"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz tetap menggoda Pak Tarno.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Cita-cita Pak Tarno apa memang?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Tarno tak menjawab. Mulutnya tertutup rapat. Ia hanya menunduk.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Lho kok jadi diam..."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Tarno hanya memainkan tongkatnya yang mengorek-orek rumput. Bibirnya terkatup rapat. Suasana senyap. Sepi. Namun, tiba-tiba Pak Tarno bersuara lirih. Amat lirih. Pak Ustadz seolah tidak mendengarnya. Tapi, suara Pak Tarno lama kelamaan terdengar jelas. Amat jelas.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Saya hanya memiliki sedikit cita-cita. Itupun banyak yang tidak bisa saya capai. Tapi, untuk yang ini saya berusaha mencapainya. Dengan sekuat tenaga. Dengan sekukuh daya. Saya tidak tahu lagi jika cita-cita inipun tidak mampu saya wujudkan. Mungkin saya akan menjadi orang yang paling menyesal seumur hidup."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Memang sekarang ini cita-cita Pak Tarno apa?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Tarno mendongakkan wajahnya. Ia menatap Pak Ustadz tajam. Katanya,</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Mati dalam keadaan tidak merepotkan. Mati dalam keadaan tidak menyedihkan. Mati dalam keadaan tidak memalukan."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz terkejut. Dadanya bergetar mendengar suara Pak Tarno. Tubuhnya merinding. Kali ini ia mendapatkan pelajaran yang sangat dalam dari Pak Tarno, seorang kuncen, sahabatnya itu. * * *</span></span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-46869877275218110222010-04-27T10:05:00.010+07:002010-04-27T14:10:53.646+07:00MUNAFIK CINTA<span style="font-size:100%;"><span style="font-family:verdana;">Mata Pak Ustadz mengerjap-ngerjap. Mulutnya kadang tersenyum, kadang diam membisu. Sendirian. Di ruang tengah. Ia asyik mendengarkan celoteh dua perempuan yang berada di ruang tamu. Istrinya sendiri dan Wanti, sahabat istrinya.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Benar! Aku tak bisa melupakan dia. Setiap saat dia datang dalam mimpiku. Wajahnya, perawakannya, candanya. Semuanya. Aku tidak tahu kenapa Tuhan tidak pernah menyatukan aku dengannya...."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Suara Wanti terdengar sendu. Istri Pak Ustadz terkekeh.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Kamu kira aku bercanda?!"</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Wanti mengeras. Ia tidak senang suara hatinya ditertawakan orang lain, sekalipun itu sahabatnya sendiri. Ia tak mau dirinya menjadi bahan olok-olokan dari masalah yang tengah dihadapinya.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Maaf... Maaf. Aku tidak bermaksud demikian. Benar, aku sama sekali tidak ingin mentertawakanmu. Sekali lagi aku minta maaf."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Istri Pak Ustadz merasa bersalah. Senyumannya yang terasa sedikit nyinyir hanyalah karena ia memang tak kuasa menahan tawa di hatinya mendengar curahan hati Wanti, sahabatnya itu. </span></span><span style="font-style: italic;font-family:verdana;font-size:100%;" >Mosok</span><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:verdana;">, sudah menikah hampir delapan tahun dan beranak satu masih saja tak bisa melupakan kekasih yang dulu. Aneh, tapi unik. </span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Mungkin dari hatimu yang paling dalam sebenarnya kau tidak terlalu mencintai suamimu?"</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Oh, tidak! Tidak! " potong Wanti cepat. " Aku sangat mencintainya. Dia seorang suami yang penuh pengertian bagiku. Ayah yang baik bagi anakku. Pria yang tulus bagi keluargaku."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Lalu, kenapa kamu begitu susah untuk melupakan kekasihmu yang dulu itu?"</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Itulah... Kenapa aku datang ke sini. Karena aku butuh nasihatmu. Aku tersiksa dengan hal ini."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Istri Pak Ustadz terdiam. Hatinya tercenung. Ia tidak menyangka Wanti yang terlihat begitu bahagia dengan suaminya itu ternyata menyimpan derita. Derita masa lalu yang tidak mampu ia kubur. Derita tentang cinta.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Aku merasa berdosa terhadap semuanya. Aku seolah orang yang paling munafik di dunia ini. Aku telah menyimpan dua orang terkasih dalam satu hati."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Istri Pak Ustadz melihat rona merah di wajah Wanti. Sembab. Seolah menahan diri dari tangis. Istri Pak Ustadz ingin berkata banyak, tapi ia sendiri bingung apa yang mesti diungkapkannya. Sebab, ini masalah hati. Sebab, ini masalah perasaan. Sebab, ini masalah cinta.</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Hilangkan pikiran tentang kebaikannya. Munculkan keburukan-keburukannya. Moga ini dapat menghilangkan mantan kekasihmu itu dari hatimu...."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Istri Pak Ustadz terbebas dari beban. Ia merasa senang telah memberikan jalan keluar yang -menurutnya- terbaik. Namun, ucapan Wanti membuat istri Pak Ustadz terkejut. </span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">"Itu semua sudah aku lakukan. Aku gagal...."</span><br /><br /><span style="font-family:verdana;">Di ruang tengah, Pak Ustadz terpekur. Pikirannya melayang ke Surat Al Baqarah ayat 216.<br /><br />"</span><span style="font-style: italic;font-family:verdana;" >Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat berguna bagimu. Dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui</span><span style="font-family:verdana;">."<br /><br />Inikah jawaban itu sebenarnya?* * *</span><br /></span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4276892455797722680.post-50858137213305089432010-04-26T09:10:00.002+07:002010-04-26T11:54:22.401+07:00CERAI? SETAN PASTI TERTAWA!<span style="font-size:100%;"><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz mendampingi sepupunya di Kantor Pengadilan Agama (PA). Bukan mendampingi! Karena lebih tepatnya menasehati. Pak Ustadz berusaha mencegah saudara sepupunya itu mengajukan gugatan cerai terhadap istrinya.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Sejak sebelum sampai di Kantor PA Pak Ustadz sudah menganjurkan. Hentikan! Hentikan upayamu untuk menggugat cerai istrimu! Namun, mulut Pak Ustadz rasanya sudah berbusa-busa tanpa hasil. Sepupunya tetap berniat menceraikan istrinya yang telah memberinya seorang anak.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Apa sebenarnya yang membuatmu ingin menceraikan istrimu?" tanya Pak Ustadz kepada saudara sepupunya itu.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Sepupunya tak mau menjawab. Ia hanya diam. Lalu lalang orang di kantor PA seolah membuat sepupu Pak Ustadz itu malas bicara. Tapi, itu tak lama. Semenit kemudian muncul suara saudara sepupu Pak Ustadz itu.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Yah... karena memang sudah tak ada kecocokan lagi."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Oh, jadi kalau sudah nggak cocok cerai, begitu. Iya? Enak banget ya...."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Sepupu Pak Ustadz itu terdiam, tak menjawab. Matanya lurus menatap ke depan. Kosong. Omelan Pak Ustadz seperti mengenai benar sudut hatinya.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Kalau setiap ketidakcocokan dalam pernikahan lalu diselesaikan dengan perceraian, betapa bodohnya orang yang melakukan pernikahan itu."</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Sepupu Pak Ustadz bergetar. Hatinya tersentil. Perih.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Coba kamu pikir. Apakah Tuhan menciptakan manusia dalam bentuk yang sama? Tentu tidakkan. Nah, kalau kita sadar bahwa kita tidak sama, kenapa kita memaksa orang lain, bahkan yang paling dekat dengan kita sekalipun, untuk selalu sama dengan kita? Bukankah Tuhan sekalipun, sang penguasa alam, tidak pernah memaksa makhluknya untuk tunduk dan patuh kepada diri-Nya?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Sepupu Pak Ustadz kini menunduk.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Sama, seragam, cocok sejatinya malah membuat pernikahan menjadi hambar. Ia kehilangan kekuatan dan keindahannya. Pernikahan menjadi indah karena adanya perbedaan, ketidakcocokan. Bukankah taman yang indah karena di sana ada mawar, melati, matahari?</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz sengaja menumpahkan perkataannya. Ia sadar, inilah waktu terakhir yang bisa ia gunakan untuk mencegah sepupunya itu memasukkan gugatan cerai di Kantor PA.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Pak Ustadz terdiam sesaat. Tangannya menyentuh pundak saudara sepupunya itu. Katanya kemudian. </span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Kau tahu, siapa yang paling senang dengan perceraian yang hendak kamu lakukan ini?"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Saudara sepupu Pak Ustadz mendongak. Matanya menatap mata Pak Ustadz. Ia menggelengkan kepalanya.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Setan!"</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Sepupu Pak Ustadz terkejut sejenak.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">"Jika kamu ingin menjadi musuh setan, batalkan gugatan itu. Tapi, bila kamu ingin bersahabat dengan setan, teruskan gugatan perceraianmu itu." * * *</span><br /></span>pemungut "sampah hikmah"http://www.blogger.com/profile/08201986509845161308noreply@blogger.com0