Friday, January 29, 2010

MUSIBAH PALING BESAR

Bersama para warga, Pak Ustadz sibuk membetulkan beberapa rumah yang roboh. Siang itu, setelah semalam rumah-rumah mereka dihajar angin ribut yang marah. Atap melayang. Genteng amblas. Bangunan jebol.

"Capek Pak Ustadz?" tanya Mang Sudin kepada Pak Ustadz yang terlihat menyingkir dan duduk di sebongkah batu.

Pak Ustadz tak menjawab. Bibirnya hanya membalas dengan senyuman. Pak Sudin yang usianya sudah melewati enampuluh ikut duduk. Mereka asyik memandang para warga yang seperti tak kenal lelah berusaha membetulkan sisa-sisa "bencana" semalam.

"Untung tidak terlalu gede anginnya ya Pak Ustadz...."

"Iya. Alhamdulillah... Masih bisa kita atasi sendiri musibah ini."

Pak Ustadz menyeka keringat yang mengalir deras. Napasnya sedikit ngos-ngosan. Kepayahan. Sejak semalam ia memang belum beristirahat. Musibah angin ribut itu telah menyita waktu dan perhatiannya. Juga tenaganya.

Musibah yang tidak disangka-sangka. Semua penduduk! Karena mereka sedang lelap menuju mimpi. Siapa nyana, pukul duabelas malam angin datang bak pasukan tempur. Gemuruh. Mengerikan. Untung tidak lama. Namun, waktu yang tidak lama tetap membuat para warga berteriak-teriak ketakutan.

"Ini musibah paling besar yang terjadi di kampung kita ya Pak Ustadz?" tanya Mang Sudin meminta persetujuan.

Pak Ustadz tersenyum. Mang Sudin senang. Tapi, Mang Sudin lalu kebingungan melihat Pak Ustadz menggelengkan kepalanya sambil bergumam.

"Bukan. Ini bukan musibah paling besar..."

"Lho, memang ada musibah yang paling besar dibanding ini?" tanya Mang Sudin terheran-heran. Mulutnya melongo.

"Ada."

"Musibah apa, Pak Ustadz?"

"Musibah paling besar pada diri manusia adalah hilangnya kekuatan ilmu dan amal pada dirinya. Jika keduanya hilang, orang akan menderita kerugian yang paling besar, tanpa bisa menggantinya..."

Mang Sudin terpana mendengar ucapan Pak Ustadz. Ia sedang merenungi maksudnya. Tapi, ia seolah tak kuasa. Mulutnya hendak berucap, tapi Pak Ustadz telah mendahuluinya.

"Ayo, kita kerja lagi Mang!" * * *

Wednesday, January 06, 2010

HANYA TUKANG BACA DOA

Pak Ustadz masih duduk di kursinya. Diam. Wajahnya termangu. Gundah. Ia belum beranjak pergi. Padahal pakaiannya sudah terlihat rapi. Celana dan bajunya putih bersih. Kopiah putih nyantel di kepala.

"Lho, kok Abi belum juga pergi...."

Sang istri menyapa lembut. Perempuan berparas ayu itu lalu duduk di hadapannya. Ia menatap mesra suaminya. Pak Ustadz tak tergoda. Pak Ustadz tetap menampakkan wajah gundah.

"Abi, kenapa belum pergi? Kasihan lho Pak Agus sudah menunggu. Kalau Abi nggak ada di sana nanti siapa yang akan bertugas menggantikan Abi di acara syukuran itu?"

Pak Ustadz tetap diam. Matanya memandang ke luar. Mulutnya lalu bergerak lirih, seperti melepas kegundahan hatinya.

"Umi, aku sebenarnya agak malas pergi ke acaranya Pak Agus. Soalnya dari dulu ya seperti itu. Nggak ada yang lain. Aku hanya diminta baca doa, selesai lalu pulang."

"Lho, Abi nggak kasih ceramah di situ?"

Pak Ustadz menggelengkan kepalanya. Selalu begitu bila ada acara di tempat Pak Agus. Acara ceramah keagamaan tidak diperlukan di rumah Pak Agus yang mewah. Dari Pak Ustadz, Pak Agus hanya memerlukan doa penutup. Doa yang dianggapnya paling makbul.

Pak Ustadz paham siapa Pak Agus. Ia jauh dari Islam. Sangat jarang Pak Agus ikut dalam kegiatan pengajian warga. Pak Agus juga jarang terlihat di masjid, bahkan hari Jum'at sekalipun. Pak Agus lebih suka merayakan pesta-pesta di rumahnya.

Pak Agus memang orang terpandang. Di kantornya, karirnya moncer. Prinsipnya, tunduk patuh sama atasan adalah kunci kesuksesan. Loyalitas total! Tidak ada yang lain. Kerja keras, kerja sama, atau rajin hanyalah pendukung.

"Jadi, Abi mau berangkat tidak?"

"Sepertinya tidak....," jawab Pak Ustadz sedikit gamang.

"Kenapa?"

"Abi tidak mungkin datang ke tempat orang yang hanya tunduk dan patuh kepada atasan, tapi tidak pernah tunduk dan patuh kepada atasan yang sesungguhnya, yakni Allah."

Istri Pak Ustadz terkejut. Selama hidup berdampingan sebagai suami-istri, rasanya tidak pernah Pak Ustadz mengeluarkan kata-kata keras seperti itu. Baru kali ini ia berkata seperti itu. Keras. Tegas. Sedikit menyakitkan.

Istri Pak Ustadz memandang lembut. Bibirnya menyunggingkan senyum. Katanya kemudian.

"Abi, berangkatlah. Allah sudah menunggu Abi untuk mengucapkan kata-kata pujian dari mulut Abi....."

Pak Ustadz terpana. Dadanya bergetar. * * *