Tuesday, June 29, 2010

CITA-CITA SANG KUNCEN

Ada banyak penjaga makam atau kuncen. Tapi, tidak ada yang seunik Pak Tarno. Usianya sudah mendekati uzur. Jalannya sedikit tertatih. Tongkat tak pernah lepas dari tangannya. Namun, wajah Pak Tarno seolah polos, bersih. Wajahnya ibarat orang tak berdosa. Seperti kanak-kanak.

Pak Tarno serasa beda dengan wajah para kuncen di makam yang lain. Kebanyakan kuncen berwajah seram atau sengaja menyeramkan diri. Juga kumuh, terlihat kotor. Entah kenapa. Mungkin karena dirinya sadar sebagai penjaga kuburan, maka sengaja menyeramkanatau mengumuhkan diri. Biar disegani sekaligus ditakuti para peziarah.

"Sehat, Pak Pak Tarno?"

Sebuah sapaan ramah menyentuh telinga Pak Tarno. Pak Ustadz!

"Eh, Pak Ustadz. Alhamdulillah. Berkat doa Pak Ustadz."

Pak Ustadz dan Pak Tarno kemudian duduk di bebatuan dekat makam. Seperti biasa mereka bicara ngalor ngidul. Seperti tak ada habisnya. Kadang Pak Tarno yang bertanya, Pak Ustadz menjawab. Kadang Pak Ustadz yang bertanya, Pak Tarno yang menjawab.

"Oh, jadi setua gini, Pak Tarno masih menyimpan cita-cita?" Canda Pak Ustadz yang dibarengi dengan senyum menggoda.

Pak Tarno tersipu malu. Mulutnya sedikit membuka.

"Tapi, aneh juga ya, apakah orang tua tidak boleh bercita-cita? Tentu saja boleh dan bahkan harus. Selama tubuh masih bernafas, kita mesti memiliki cita-cita. Hidup Pak Tarno!"

Pak Ustadz tetap menggoda Pak Tarno.

"Cita-cita Pak Tarno apa memang?"

Pak Tarno tak menjawab. Mulutnya tertutup rapat. Ia hanya menunduk.

"Lho kok jadi diam..."

Pak Tarno hanya memainkan tongkatnya yang mengorek-orek rumput. Bibirnya terkatup rapat. Suasana senyap. Sepi. Namun, tiba-tiba Pak Tarno bersuara lirih. Amat lirih. Pak Ustadz seolah tidak mendengarnya. Tapi, suara Pak Tarno lama kelamaan terdengar jelas. Amat jelas.

"Saya hanya memiliki sedikit cita-cita. Itupun banyak yang tidak bisa saya capai. Tapi, untuk yang ini saya berusaha mencapainya. Dengan sekuat tenaga. Dengan sekukuh daya. Saya tidak tahu lagi jika cita-cita inipun tidak mampu saya wujudkan. Mungkin saya akan menjadi orang yang paling menyesal seumur hidup."

"Memang sekarang ini cita-cita Pak Tarno apa?"

Pak Tarno mendongakkan wajahnya. Ia menatap Pak Ustadz tajam. Katanya,

"Mati dalam keadaan tidak merepotkan. Mati dalam keadaan tidak menyedihkan. Mati dalam keadaan tidak memalukan."

Pak Ustadz terkejut. Dadanya bergetar mendengar suara Pak Tarno. Tubuhnya merinding. Kali ini ia mendapatkan pelajaran yang sangat dalam dari Pak Tarno, seorang kuncen, sahabatnya itu. * * *