Sunday, July 12, 2009

PEMIMPIN YANG MENONJOLKAN DIRI

Hiruk pikuk politik usai sudah. Rakyat telah menentukan pilihannya. Lima tahun ke depan rakyat hanya berharap menunggu. Benar berharap! Karena rakyat memang tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh para pemimpinnya kelak.

Pak Ustadz melihat-lihat suasana jalanan. Sore itu, sehabis sholat asar. Ia sengaja menyempatkan diri. Ada keharuan yang senyap di mata Pak Ustadz. Hampir lima bulan ia telah melihat segalanya. Di televisi, di koran-koran, di majalah.

"Ah, betapa sulit dan mahalnya ternyata mencari seorang pemimpin. Berduyun-duyun rakyat berjalan menuju lapangan. Di sana mereka bebas. Bertepuk tangan, berteriak marah, bahkan berjoget sekalipun. Tapi, apa yang sebenarnya rakyat dapatkan?"

Pak Ustadz melayangkan pandangannya ke sudut-sudut jalan. Ia tetap duduk pada sepeda motor tuanya. Mata Pak Ustadz terpaku pada baliho, poster, atau spanduk yang masih menempel pada tempatnya.

"Benar, ini memang sebuah pesta. Pesta rakyat! Karena pesta, semua orang berhak merayakannya. Dan hanya ada satu perasaan yang mesti mengemuka dalam sebuah pesta, yakni perasaan bahagia. Namun, kenapa pesta itu tidak mampu menjadikan rakyat bahagia selamanya?"

Pak Ustadz terus mengarahkan pandangannya. Kali ini matanya tertuju pada potret para calon pemimpin bangsa. Mereka memasang foto dirinya, juga mematut dirinya. Banyak macamnya. Ada yang pakai kopiah, jas, batik, atau pakaian tradisional. Ada yang tersenyum, diam berwibawa, atau nyengir.

Pak Ustadz tersenyum simpul.


"Mereka memang gagah. Yang perempuan-perempuan juga cantik. Ah, pasti mereka telah melakukan banyak hal yang membuat mereka mantap mencalonkan diri sebagai pemimpin bangsa. Mereka pasti tidak semata ingin berkuasa. Tapi, betulkah hati mereka meyakini sedalam-dalamnya bahwa mereka memang pantas untuk dipilih menjadi seorang pemimpin?"


Pak Ustadz tak mengendurkan senyumnya. Mulutnya bahkan kini tersenyum agak lebar. Ia memang ingin tertawa. Tertawa sekeras-kerasnya. Sekencang-kencangnya.

"Mereka pasti orang-orang yang rendah hati. Sebab hanya orang yang rendah hati sajalah yang mampu menjadi pemimpin. Orang yang suka menonjolkan diri hanya akan merengkuh kegagalan saat didaulat menjadi pemimpin. Namun, mengapa kerendahatian kini dilupakan? Kenapa yang muncul justru usaha untuk saling menonjolkan dirinya sendiri...."

Kini Pak Ustadz benar-benar tertawa. Ia tertawa terbahak-bahak. Mulutnya tak mungkin lagi dikunci. Saat foto para calon pemimpin bangsa itu seolah memandangi dirinya dengan tajam, Pak Ustadz menggelengkan kepalanya. Ia bahkan terus menggelengkan kepalanya.

"Ah, betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, tapi mereka tidak tahu caranya...."

Sepeda motor Pak Ustadz melaju, meninggalkan asap yang mengepul dan menutupi foto-foto para calon pemimpin bangsa itu. ***

No comments: