Thursday, July 09, 2009

Mazhab Cinta

Pak Ustadz sedang memberikan materi kajian tentang rukun ibadah. Kata Pak Ustadz, rukun ibadah itu ada tiga, yakni takut (al khouf), berharap (roja'), dan cinta (mahabbah). Namun, di sela-sela memberikan materi kajian itu, Pak Ustadz beberapa kali diganggu oleh ucapan seorang pemuda yang hadir.

Pak Ustadz mulai jengah. Pertanyaan yang dilakukan seorang pemuda berpakaian lusuh dalam majelis taklim yang dipimpinnya benar-benar telah menyita seluruh perhatiannya. Mulanya Pak Ustadz berusaha sabar. Tapi, setelah berkali-kali pemuda itu memotong percakapannya, Pak Ustadz menjadi jengkel.

"Sebenarnya apa yang saudara inginkan dari saya?" kata Pak Ustadz sedikit keras.

Pak Ustadz tidak tahu siapa pemuda itu. Dari beberapa jamaah yang dikenalnya tidak ada yang seperti dia. Penampilannya ganjil. Ia berambut gondrong ketika yang lain berambut pendek. Ia memakai topi saat jamaah lain memakai kopiah. Ia berkaos ketika yang lain bergamis. Ia bercelana
jeans saat yang lain bersarung.

"Saya ingin menolak secara keras pernyataan Ustadz. Menurut saya hanya
mahabbah atau cinta yang patut kita jadikan sebagai rukun ibadah. Dengan cinta semua akan selesai. Bahkan cintalah yang akan membuat perang menjadi damai, bercerai menjadi satu. Cinta dan cinta. Tidak ada yang lain," kata pemuda itu.

Pak Ustadz berusaha mendengarkan ucapan pemuda itu. Ia terus berusaha memendam kemarahan hatinya. Hati boleh panas, tapi kepala harus dingin. Maka Pak Ustadz membiarkan pemuda itu berbicara panjang lebar.

"Cinta adalah perekat utama keabadian. Tidak sempurna iman seseorang bila ia beribadah kepada Allah tanpa dilandasi cinta. Kalau kita sudah cinta kepada Allah, maka itulah hakikat ibadah yang sesungguhnya."

"Kalau demikian apakah orang yang beribadah kepada Allah karena takut akan azab Allah, ia keliru?" sergah Pak Ustadz.

"Bukan keliru Pak Ustadz, tapi salah. Salah besar!" tegas pemuda itu. "Ia berarti tidak mengenal hakikat ibadah yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin ia menjadi hamba Allah, tapi ia justru takut kepada Allah. Allah bukan untuk ditakuti. Allah untuk dicintai."

Pak Ustadz mencoba memahami ucapan pemuda itu. Namun, kembali lagi Pak Ustadz menyela ucapan pemuda itu sebelum ia melanjutkannya.

"Apakah orang yang beribadah kepada Allah karena ia mengharap keridhoan Allah juga salah?"

"Itu juga salah, Pak Ustadz. Tidak boleh kita beribadah karena kita mengharap keridhoaan dan pahala Allah. Itu akan membuat ibadah kita tidak ikhlas. Hati mesti suci dalam beribadah."

Pak Ustadz manggut-manggut. Ia kini paham pikiran dan alur benak pemuda itu. Melihat pemuda itu Pak Ustadz jadi ingat kepada tokoh perempuan sufi, Rabiah al Adawiyah. Karena dari dialah sepertinya pemikiran pemuda itu bermula. Cinta, ya mazhab cinta!

"Kalau demikian apa yang Anda harapkan dari ibadah yang Anda lakukan?" tanya Pak Ustadz lagi.

Pemuda itu tergeragap. Ia tak menyangka Pak Ustadz akan bertanya seperti itu. Sesaat ia terdiam. Tak mau dirinya tersudut, pemuda itu menjawab dengan sedikit congkak.

"Oh, saya tidak mengharap apa-apa dari Allah. Saya cinta kepada Allah. Karena cinta, maka keinginan saya hanya satu, yaitu bertemu dengan pujaan saya itu. Tidak ada yang lain."

"Kalau demikian, saya pikir Anda keliru," cetus Pak Ustadz.

"Kok keliru?"

" Ya, keliru. Kalau Anda mencintai seorang wanita bukankah Anda menginginkan wanita itu memberikan apa yang Anda inginkan setelah Anda memberikan segalanya untuk dia?"

"Tapi, ini Allah, bukan wanita..."

"Apalagi Allah, zat yang Maha Kaya dan Maha Pemurah, tempat kita meminta dan memohon. Jelas tidak salah kalau kita berharap dari kemurahan Dia setelah kita ikhlas mencintai-Nya. Dan ingat, Allah memberikan kemurahan itu sebab Dia memang sudah berjanji kepada kita semua."

Pak Ustadz sudah tak terbendung. Ia berusaha terus menjelaskan kepada pemuda itu tentang rukun ibadah. Bahkan akhirnya ia juga berusaha menjelaskan hakikat cinta agar pemuda itu tak keliru dalam memahami cinta. * * *

No comments: