Tuesday, July 07, 2009

JATUH, MAKA BANGKIT

Anak-anak TK Assalam itu berlarian ke sana kemari. Bebas. Lepas. Mereka tengah berusaha membebaskan dan melepaskan dirinya masing-masing. Tertawa dan bersorak, menangis dan gembira. Laki-laki dan perempuan.

Tanah yang lapang itu serasa sempit, tak mampu menampung gejolak anak-anak Assalam. Suara lembut nan teduh dari para guru gagal membedungnya. Saran dan nasihat nan mencerahkan dari para orang tua tidak mereka pedulikan. Mereka demikian asyik hingga seperti terlupa.

"Anak-anak memang mata dunia...."

Pak Ustadz dan istrinya memandang dari jauh. Mereka menyaksikan Nadia, putri bungsunya larut dalam kegembiraan. Bersama teman-temannnya, Nadia tengah merayakan piknik liburan akhir sekolah.

Nadia tubuhnya kecil, tidak seperti teman-teman yang lain. Meski sudah merangkak naik ke kelas yang lebih tinggi, tubuh Nadia tak berubah. Ia tetap kecil. Tubuh Nadia tidak seperti tubuh teman-temannya yang naik berat dan tingginya seiring dengan kenaikan kelas di sekolahnya.

Walau kecil, Pak Ustadz selalu bangga dengan Nadia. Nadia tipikal anak yang tidak mau kalah dengan teman-temannya. Bahkan dengan teman yang lebih besar dan lebih tinggi. Nadia juga model anak yang pantang menyerah. Ia tidak mudah patah sebelum berjuang.

Bruk!!!

Pak Ustadz terkejut. Istri Pak Ustadz menjerit. Nadia yang sedang berlomba lari dengan teman-temannya terjatuh. Tubuhnya terjerembab. Nadia meringis. Ia seperti memendam rasa sakit. Juga malu.

Sontak istri Pak Ustadz berdiri. Ia berniat menuju Nadia untuk menolongnya. Di saat kakinya melangkah, tangan Pak Ustadz mencengkeram pergelangan tangan istrinya.

"Biarkan!" perintah Pak Ustadz.

Istri Pak Ustadz berusaha melepaskan diri. Ia tak tega membiarkan Nadia kesakitan. Tapi, Pak Ustadz malah bertambah keras mencengkeram. Istri Pak Ustadz tak berkutik. Ia terbenam dalam tempat berdirinya.

"Lihat! Lihat saja!"

Nadia perlahan bangkit. Ya, bangkit berdiri. Tak berapa lama ia telah berlari kembali. Ia berusaha menyusul teman-temannya yang sudah jauh di depan. Nadia tak putus asa. Ia terus mengejar dan mengejar. Terus mengejar!

"Kau tahu, kenapa Nadia terjatuh?" tanya Pak Ustadz kepada istrinya.

"Mungkin ada benda yang menghalanginya. Atau mungkin karena dia kurang hati-hati," jawab istri Pak Ustadz.

Pak Ustadz menggeleng.

"Bukan. Bukan itu, " terang Pak Ustadz. "Nadia terjatuh karena dia hendak bangkit. Kemudian berdiri. Lalu berlari mengejar...."

Istri Pak Ustadz memandang suaminya. Ia tak mengerti maksud jawaban suaminya itu. Pak Ustadz membalas pandangan istrinya dengan senyum. Tanpa kata. Hanya senyum. * * *

No comments: