Thursday, June 25, 2009

BOLEH IRI (II)

Pak Ustadz dan Zada meninggalkan rumah Bang Salim. Mereka tidak bertemu Bang Salim. Kata istrinya, Bang Salim sudah satu minggu tidak pulang. Entah ke mana, tidak ada yang tahu. Ia hanya pergi berdua bersama sopirnya. Pesan Bang Salim, tak usah ditunggu dan dicari karena ini urusan bisnis.

Sebagai seorang perempuan, istri Bang Salim tahu ia dibohongi. Namun, sebagai seorang istri ia tidak ingin ribut. Malu sama tetangga, malu sama anak-anak, malu sama keluarga besarnya. Istri Bang Salim hanya menginginkan keluarganya tetap utuh dan harmonis. Ia tidak ingin anak-anaknya menjadi korban dari keegoan dia dan suaminya.

Tetapi, istri Bang Salim menyadari bahwa dia hanya seorang istri biasa. Ia dapat marah dan sedih, kecewa dan menangis. Maka di hadapan Pak Ustadz dan Zada, istri Bang Salim menumpahkan segalanya. Kata istri Bang Salim, seorang perempuan yang lebih muda dari dirinya telah mengoyak-oyak keharmonisan keluarganya yang telah dibangun hampir 20 tahun.

"Bang Salim mungkin sedang lupa ya Pak Ustadz?" gumam Zada.

"Saya tidak tahu apa Bang Salim sedang lupa atau malah sengaja lupa..." timpal Pak Ustadz.

Pak Ustadz dan Zada terus berjalan meninggalkan kediaman Bang Salim yang agak mewah untuk ukuran desanya. Dalam benak mereka terbayang kegigihan seorang Bang Salim dalam berusaha. Tanpa kenal lelah setiap pagi sebelum bedug subuh berbunyi rumah Bang Salim sudah penuh dengan aktivitas.

Para penjual ayam potong di pasar berebut di rumah Bang Salim demi mendapatkan ayam potong yang hendak dijualnya ke pasar. Padahal, pada awalnya, Bang Salim mesti meyakinkan para penjual ayam potong di pasar agar mau mengambil ayam potong darinya. Kini mereka malah berbodong-bondong ke rumahnya tanpa Bang Salim perlu meyakinkannya lagi.

Bang Salim sudah sukses. Tapi, kesuksesan itu telah membuatnya lupa. Ia lupa masjid yang dulu sering dikunjunginya untuk sekadar sholat berjamaah. Ia lupa untuk kembali duduk dalam majelis taklim yang kerap mendatangkan kedamaian dalam hatinya. Ia lupa terhadap anak dan istrinya yang kerap menjadi tumpah kasih dan sayang demi hilangnya rasa lelah.

"Ah, saya jadi tak ingin seperti Bang Salim, Pak Ustadz. Takut lupa..." kata Zada getir.

Pak Ustadz tersenyum. Katanya kemudian.

"Kau boleh merengkuh dunia. Kau boleh mengambil segala isinya agar kau bisa disebut kaya, bahkan kaya raya. Tapi, setelah kau rengkuh, jangan kau letakkan dunia itu dalam hatimu. Sekali kau taruh dunia di hatimu, maka dua penyakit akan langsung mendatangimu. Tanpa bisa dicegah."

"Dua penyakit?"

"Ya. Cinta dunia dan takut mati!"

Zada merinding mendengar perkataan Pak Ustadz. Ia kini sadar apa yang sebenarnya ia inginkan dalam hidup.* * *

No comments: