Thursday, June 18, 2009

IBU (II)

Hari ini Pak Ustadz berduka. Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit ibu Pak Ustadz akhirnya berpulang ke hadirat Ilahi Robbi. Tidak ada yang menyangka kepergian ibu Pak Ustadz akan secepat itu.

Beberapa hari terakhir kondisinya malah terlihat semakin baik.
Kesadaran ibu Pak Ustadz sudah mulai pulih. Matanya tidak terpejam lagi. Bibirnya telah menyunggingkan senyum. Wajahnya berbinar tulus. Tapi, semua tidak menyangka bahwa itu adalah pertanda. Pertanda untuk yang terakhir kalinya.

Semua merasakan kehilangan. Untuk beberapa saat Pak Ustadz tak henti-hentinya meneteskan air mata. Bahkan Pak Ustadz seolah tidak berniat menghentikannya. Ia seperti ingin menunjukkan bahwa kehilangan seorang ibu ibarat sebuah bencana yang maha hebat.

"Ibu adalah sumur kelembutan bagi kami semua. Ia marah, tapi tidak memerah. Ia benci, namun tidak membabi. Dengan kelembutan itu ibu menyapa kami. Anak-anak, cucu-cunya...."

Bibir Pak Ustadz bergetar. Ia terbata-bata dengan hati membuncah.

"Kami selalu ingat. Pada ibulah kami semua bergayut manja. Juga pada ibulah kami memeluk memohon perlindungan. Pada ibulah kami memohon agar ia mau membuka pintu hatinya hingga bibirnya berucap doa untuk anak-anaknya."

Mata Pak Ustadz menerawang ke langit. Jelang senja itu. Tapi, hatinya tak lepas dari wanita yang telah melahirkannya itu.

"Ibu telah membuat anak-anaknya menjadi manusia. Seutuh-utuhnya manusia. Tak henti-hentinya ibu mendorong kami semua untuk berbagi. Dengan berbagi, kami tahu bahwa kami telah menjadi manusia."

Pak Ustadz mengenang dengan segenap jiwa. Tapi, tiba-tiba ia bertanya dengan penuh gugatan.

"Tahukah kalian semua, kenapa aku harus begitu bersedih untuk seorang manusia yang dipanggil ibu?"

Para peziarah saling berpandangan. Mereka tak tahu harus menjawab apa. Kata Pak Ustadz kemudian.

"Karena Allah telah menutup satu lubang amal pada diriku. Maka berbahagialah kalian semua yang masih memiliki ibu. Buat ia menangis! Buat ia menangis dengan kasih sayangmu, tapi jangan buat ia menangis dengan kedurhakaanmu."

Air mata Pak Ustadz membajir. Para peziarah menunduk haru. Tapi, dari getar tulus suaranya, para peziarah tahu, Pak Ustadz adalah mutiara yang dicetak tangan lembut seorang ibu.
* * *

No comments: