Tuesday, June 23, 2009

BOLEH IRI (I)

Pak Ustadz hendak pergi ke rumah Bang Salim. Lama sekali ia tidak berjumpa dengannya. Mungkin sudah lebih dari satu bulan. Sejak terdengar kabar bahwa bisnis jual beli ayam potongnya sukses besar, Bang Salim tak pernah lagi tampak di masjid.

Pak Ustadz tidak pergi sendirian. Ia mengajak Zada, anak muda yang selalu rindu kepada masjid. Dengan Zada di sampingnya Pak Ustadz merasa memiliki teman bicara di sepanjang jalan yang dilaluinya.

"Kira-kira Bang Salim seperti apa ya sekarang?" tanya Pak Ustadz membuka pembicaraan.

"Banyak orang bilang sekarang Bang Salim sudah makmur, Pak Ustadz. Usahanya sukses. Karyawannya bertambah terus," jawab Zada.

"Baguslah kalau begitu. Saya senang kalau salah satu jamaah kita berhasil. Sebab itu membuat nama jamaah masjid kita terangkat."

Pak Ustadz tersenyum. Zada manggut-manggut.

"Kau ingin seperti Bang Salim?" tanya Pak Ustadz tiba-tiba.

Zada tergeragap. Ia bingung bagaimana menjawabnya. Katanya kemudian.

"Ah, saya tidak tahu, Pak Ustadz. Tapi, siapa
sih yang tidak ingin berhasil. Semua juga ingin sukses."

"Kau iri dengan kesuksesan Bang Salim?" tanya Pak Ustadz lagi.

Kembali Zada tergeragap. Kali ini ia benar-benar tak mampu menjawabnya. Ia ingin seperti Bang Salim, tapi ia tidak tahu apakah ia dilingkupi rasa iri atau tidak. Pokoknya, kalau bisa ia ingin seperti Bang Salim. Titik!

"Kau tidak boleh iri terhadap Bang Salim. Kau hanya boleh iri terhadap dua orang...."

"Dua orang?"

"Ya. Kau hanya boleh iri terhadap orang kaya yang menginfakkan hartanya di jalan Allah. Kau juga boleh iri terhadap orang berilmu yang tidak pernah putus menyebarkan ilmunya ke tengah masyarakat. Selain kepada dua orang itu, kau tidak boleh iri."

Zada mengangguk-angguk mendengar perkataan Pak Ustadz. Tapi, di manakah dua orang yang boleh ia irikan itu? Zada ingin sekali bertemu. * * *

No comments: