Sunday, June 21, 2009

ANAK DOA

Pak Ustadz pulang dari pemakaman. Hatinya haru. Ratusan pelayat rela mengantarkan jenazah ibunya hingga ke pemakaman. Sepanjang jalan menuju pulang, tak henti-hentinya ia bersalaman dan berucap terima kasih kepada para pelayat.

Pak Ustadz merasakan letih. Derita sakit sang ibu hingga kematian menjemput telah mendera Pak Ustadz lahir batin. Hatinya memang ikhlas dan tulus. Tapi, Pak Ustadz tak mungkin mengingkari kenyataan bahwa dirinya teramat letih.

Hampir sebulan ia menjaga ibunya. Hampir sebulan Pak Ustadz lebih banyak membuka mata dibanding menutup mata. Hampir sebulan ia menyadari bahwa kasih ibu memang sepanjang hayat, sedangkan kasih anak cuma sepanjang hasta.

Pak Ustadz masuk ke rumahnya. Ia terkejut karena masih banyak pelayat yang antre menunjukkan rasa bela sungkawanya. Kebanyakan dari mereka para ibu. Ada yang sudah duduk, ada yang masih berdiri, ada pula yang malah baru datang.

"Terima kasih. Terima kasih."

Pak Ustadz menyapa para pelayat dengan senyum ramah. Ia berusaha tidak menampakkan keletihannya. Bagaimanapun juga tamu adalah orang-orang yang terhormat. Siapa lagi yang akan menghormati tamu kalau bukan si tuan rumah?

Pak Ustadz menarik kursi untuk duduk. Belum lima menit ia menyapa para pelayat, Pak Ustadz dikejutkan oleh melayangnya sebuah botol air minum ke kepalanya. Ups! Untung Pak ustadz menghindar. Lalu...

"Abi! Abi! Kakak nakal!"

Sebuah tangisan kecil ada dalam dekapan Pak Ustadz. Nadia, putri bungsu Pak Ustadz yang baru berusia lima tahun. Ia tersedu-sedan. Pak Ustadz tahu apa yang terjadi. Dari dalam rumah keluar tiga anak hampir sebaya yang saling bercanda, tertawa. Lepas. Liar. Merusak.

Fakih, Abdan, dan Zaki. Mereka adalah anak-anak pertama hingga ketiga Pak Ustadz. Mereka saling melempar botol minuman. Tubuh Zaki basah kuyup. Juga Abdan. Si sulung Fakih tergelak dalam tawa kemenangan.

Para pelayat tak mampu berucap. Mereka seolah takjub dengan pemandangan yang sangat tidak biasa itu. Entah apa yang ada dalam benak mereka.

"Fakih, Zaki, Abdan. Duduk di sini kalian, dekat Abi."

Ajaib! Hanya dalam beberapa kata perintah yang bernada lembut, dan bahkan terasa halus, ketiga anak itu beringsut duduk di dekat ayah mereka. Tak bersuara. Diam.

"Bapak-bapak. Ibu-ibu. Tolong aminkan doa saya ini...."

Maka Pak Ustadz segera menengadahkan tangannya. Lisannya berucap dengan doa-doa berbahasa Arab yang ditutup dengan kata-kata.

"Ya Allah, jadikanlah putra-putra kami layaknya Ismail putra Ibrahim dan putri kami layaknya Fathimah putri Muhammad..."

"Amin. Amin."

Para pelayat seolah tersihir dengan doa Pak Ustadz. Namun, mereka lebih terpesona dengan cara Pak Ustadz mendidik putra-putrinya. Sungguh elok!* * *

No comments: