Wednesday, November 25, 2009

SEPERTI MATAHARI

Ruangan Masjid Abubakar terasa panas. Pengap. Semua orang merasakannya. Mereka gerah. Keringatan. Padahal, malam itu udara sangat dingin. Angin berhembus keras, tanpa bisa dicegah oleh dinding-dinding masjid. Angin itu bahkan langsung menghantam tubuh-tubuh yang bersila.

Pukul delapan. Sekitar 15 orang hadir. Campur aduk. Ada yang tua, ada pula yang muda. Ada yang pegawai negeri, ada pula yang swasta. Ketegangan sangat terasa. Tak hanya tegang, rasa marah seperti menerkam semua orang yang hadir.

Masalahnya sepele. Malam itu mereka tengah membicarakan persoalan pergantian pengurus masjid. Suara mereka terpecah menjadi dua. Pertama, golongan muda. Kedua, golongan tua. Suara mereka sangat berbeda. Golongan tua berharap mereka dapat terpilih kembali, sebaliknya golongan tua berharap ada regenerasi. Di tangan golongan tua, program masjid dinilainya mandeg.

"Apakah akan kita lanjutkan rapat ini hingga muncul kesepakatan?" tanya Pak Ustadz yang hari itu memposisikan dirinya sebagai penasihat.

Orang-orang saling berpandangan. Mereka seperti kebingungan menangkap maksud suara Pak Ustadz.

"Kita lanjutkan saja Pak Ustadz. Kalau bisa kita voting saja!" sergah Hanif yang dipersepsikan sebagai wakil golongan muda. Namun, suara Hanif terancam oleh usulan Pak Dadang yang tiba-tiba sudah bersuara keras.

"Saya tidak setuju Pak Ustadz!" kata Pak Dadang sambil mengancungkan tangan. "Kita makhluk yang beradab. Tidak patut kita meminta voting sedangkan musyawarah saja masih terus kita usahakan. "

Perkataan "makhluk beradab" membuat Hanif panas. Ia tidak menerima dirinya dituduh sebagai tidak beradab. Katanya kemudian.

"Voting bukan menunjukkan beradab dan tidaknya seseorang. Voting justru menunjukkan cakap dan tidaknya seseorang dalam mengelola masalah. Orang yang takut dengan voting sebenarnya orang yang lemah."

Kali ini gantian Pak Dadang yang panas.

"Kamu memang tak punya sopan santun terhadap orang tua!

Hanif tak mau kalah.

"Bapak yang tidak menghargai suara orang muda!"

"Kamu....!"

"Bapak....!"

Pak Ustadz bertindak cepat. Ia tidak mau keributan terjadi di rumah Allah. Ia langsung menghentikan pertikaian itu sebelum sampai muncul keributan yang lebih besar. Musyawarah dibubarkan. Ditunda. Semua orang bergegas pulang.

Pak Ustadz menatap langit-langit masjid. Hari ini ia begitu kecewa. Ah, ternyata tidak mudah bersikap layaknya matahari saat berbicara tentang kedudukan atau jabatan. Matahari tahu kapan ia muncul, menyinari alam raya ini, untuk kemudian tenggelam. Sedangkan kita? * * *

No comments: