Saturday, November 14, 2009

DIK, CUKUPLAH DIA JADI PENOLONGKU

Pak Ustadz tak mampu menyembunyikan kesedihannya. Ia serasa ingin menangis. Keras-keras. Biarlah seisi dunia, dan bahkan Allah sekalipun mendengarnya. Tidak apa-apa. Yang penting beban di dada lenyap tak berbekas.

Duabelas tahun sudah ia menikah dengan istrinya, tapi segalanya masih saja tertatih-tatih. Tak ada kenyamanan, apalagi kenikmatan. Rumah megah dan mobil sangat jauh dari itu. Padahal anak sudah tiga. Baru kali ini Pak Ustadz merasa begitu bersalah. Bukan kepada siapa-siapa, melainkan kepada dirinya sendiri.

Mulanya hanya masalah sepele. Istri Pak Ustadz bercerita kalau Mak Iyem, tetangga sebelah baru membeli kulkas baru. Warnanya abu-abu, kulkas dua pintu. Kulkas itu dibeli setelah hampir tiga tahun ia tak membelinya.

"Jangankan tiga tahun, kita malah tak punya sama sekali ya, Bi. Padahal Mak Iyem hanya jualan sayur-mayur di depan rumah, tapi kulkas terbeli."

Pak Ustadz tergetar. Meski pendek ucapan istrinya begitu menohok perasaannya. Perih. Namun, Pak Ustadz tak menyahut. Ia asyik membaca deretan huruf pada sebuah buku yang baru beberapa hari dibelinya.

"Yang lucu lagi, Mas Ribut. Setiap hari ia lewat di depan rumah kita. Ayam-ayam yang hendak dibawa ke pasar nyantel di motornya. Eh, beberapa tahun kemudian, motornya lenyap. Berganti dengan mobil bak yang penuh dengan ayam-ayam. Sukses juga Mas Ribut."

Pak Ustadz tergores. Sakit. Ada luka yang mulai menganga di hatinya. Ia tahu, istrinya sedang membanding-bandingkan kehidupan dirinya dengan orang lain. Entah sadar entah tidak. Ucapan itu telah melukai suaminya sebagai kepala keluarga, sang pencari nafkah.

"Nah, yang hebat tentu Pak Kamal. Ia bareng-bareng dengan kita sewaktu pertama kali pindah ke kampung ini. Malah duluan kita. Motornya butut seperti kita. Rumah ngontrak. Eh, sekarang. Rumah sudah terbeli, dibangun megah. Motor dua, mobil gonta-ganti. Pemborong sih...."

Pak Ustadz sudah tidak tahan lagi. Hatinya tersudut. Pada sebuah tempat yang membuat dirinya tak mampu bergerak, terjepit.

"Dik, apakah kamu ingin semua itu? Kulkas, motor, rumah megah, mobil?!" tanya Pak Ustadz dengan bibir bergetar.

Istri Pak Ustadz terperanjat. Ia sangat kaget dengan ucapan suaminya. Matanya langsung menyelidik. Ia melihat ada bayang-bayang wajah dirinya di bola mata suaminya. Genangan air mata! Pak Ustadz menangis.

Istri Pak Ustadz terperanjat. Ia merasa bersalah. Ia sadar bahwa ucapan dirinya telah melukai perasaan suaminya.

"Dik, seandainya ada orang-orang yang mengajak engkau berlomba-lomba dalam kehidupan dunia, ajak dia supaya berlomba-lomba dalam kehidupan akhirat. Cukuplah Allah menjadi penolong kita," tutur Pak Ustadz dengan bibir yang masih bergetar.

Pak Ustadz masuk ke kamar. Ia ingin sendiri. * * *

No comments: