Tuesday, November 10, 2009

IBU...IBU....IBU.....!!!

Pak Ustadz tak mampu memejamkan matanya. Sejak tadi dua orang pria yang duduk di belakangnya terus berbicara. Ngalor-ngidul. Tak karuan. Laju mulus kereta api eksekutif yang membawanya pergi ke Jakarta tak bisa membuat Pak Ustadz tertidur. Walau barang sejenak.

Uniknya, telinga Pak Ustadz tiba-tiba serasa ditarik kekuatan untuk terus mendengarkannya. Ah, pembicaraan yang menarik buat sebuah pelajaran, batin Pak Ustadz. Dalih Pak Ustadz, bukan salah saya kalau saya mendengarkannya.

"Jadi, kamu benar-benar sudah kawin lagi. Dua dong kalau gitu..."

Seorang pria bersuara kecil tertawa lirih sembari menuding ke arah pria yang duduk di sebelahnya. Pria yang duduk di sebelahnya yang -ternyata- memiliki suara besar langsung bereaksi.

"Sssst. Jangan keras-keras. Malu. Semua orang tahu nanti. Apa kata orang kalau tiba-tiba di kereta api ini ada tetanggaku. Mati aku!"

"Lho, kenapa harus malu? Bukankah kamu mesti siap menghadapi setiap konsekuensi dari pilihan hidupmu itu. Kalau malu kenapa kamu lakukan ?"

Si suara besar tak membalas. Ia hanya diam. Tapi, sejenak. Ia kemudian berkata lagi.

"Yang penting adil. Kalau kita merasa mampu berbuat adil. Ya, sudah laksanakan. Aku nggak mau munafik. Aku memang pingin beristri lagi. Dan aku merasa mampu berbuat adil. Jadi, apa yang ditunggu?"

"Adil semuanya, termasuk hati?"

"Ah, ya tidak. Adil dalam pengertian materi. Bukankah ini yang dicontohkan Rasulullah? Rasul saja selalu tak bisa melupakan Khadijah, istri pertama yang begitu dikasihinya. Tentu, maknanya adil materi."

"Itu saja alasanmu?"

"Oh, tidak."

"Apalagi?"

"Ada hadist nabi yang berbunyi. Siapa yang harus saya hormati? Ibu. Lalu, siapa? Ibu. Siapa lagi? Ibu. Jelaskan, hadist ini secara tegas menyiratkan ada lebih dari seorang istri dalam keluarga. Nabi bahkan menyebutkan hingga tiga kali...."

Si suara kecil tertawa ngakak mendengar alasan si suara besar. Si suara besar tak ketinggalan. Mereka larut dalam canda.

Di depannya, Pak Ustadz hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya mendengarkan percakapan keduanya. Kalau nafsu sudah bicara selalu saja ada akal untuk melogikakannya sebagai dalih. Ah, manusia! Manusia! * * *

No comments: