Monday, December 28, 2009

MANAJEMEN KELUARGA

Rumah yang sederhana. Rumah yang terpencil. Pada sebuah kampung di pinggiran desa. Selalu saja Pak Ustadz merasa mendapatkan banyak ilmu ketika datang dan bersilaturahim ke rumah kediamannya. Mbah Rahmat, lelaki yang renta, tapi terlihat masih sehat.

Mbah Rahmat bukan siapa-siapa. Ia hanya orang biasa. Pekerjaan sehari-harinya bertani. Namun, jangan ditanya kesibukannya. Setiap hari ia seperti tak kenal lelah menerima tamu yang hilir mudik datang ke rumahnya. Pagi, siang, sore, malam.

Mbah Rahmat bukan petani sembarangan. Keluasan ilmunya melampaui masalah padi, musim panen, atau hama wereng. Tak bisa disangkal, semua yang ada pada diri Mbah Rahmat memang menunjukkan bahwa dia pribadi yang mumpuni. Wajahnya tenang. Bicaranya tertata.

"Sehatkan, Mbah.... "

"Ya, beginilah Pak Ustadz. Sehatnya orang tua. Selalu saja ada masalah yang membuat badan ini mesti beristirahat. Tidak dipaksa."

Pada sebuah bangku di bawah rindangnya pohon sawo, Pak Ustadz dan Mbah Rahmat saling bersapa. Akrab. Tak ada jarak.

"Jadi anak-anak pulang, Mbah?"

"Ha..ha... Saya tidak tahu pasti. Tapi, biarlah mereka menentukan sendiri. Mau pulang, monggo. Tidak pulang ya tidak apa-apa. Mereka sudah punya kewajiban sendiri-sendiri. Tugas saya sudah selesai."

"Mbah Rahmat nggak kangen?"

"Kangen? Oh, itu pasti. Karena mereka anak-anak yang hebat."

Pak Ustadz tersenyum mendengar ucapan terakhir Mbah Rahmat. Sebab ucapan itu adalah ucapan yang justru sering disuguhkan Pak Ustadz kepada Mbah Rahmat. Anak-anak Mbah Rahmat adalah anak-anak yang hebat! Sebab bagaimana tidak hebat bila delapan anak Mbah Rahmat semua jadi "orang penting". Ada yang jadi pejabat, wiraswasta, politisi, dan lain-lain.

"Apa Mbah dulu tidak repot mengurus anak begitu banyak. Saya dan istri saja kerepotan mengurus tiga anak."

"Ha...ha....ha...."

Lagi-lagi Mbah Rahmat tertawa. Entah apa yang ditertawakan. Bagi Pak Ustadz, tertawa Mbah Rahmat seolah menyindir kemampuan dirinya dalam mengurus keluarga.

"Rahasianya apa Mbah kok bisa ngurus anak banyak tanpa kerepotan?"

"Ah, bohong kalau ngurus anak tidak repot. Berapapun anak yang kita punyai kerepotan pasti akan datang. Cuma yang penting bagaimana mengurusnya..."

"Memang bagaimana cara Mbah dulu mengurusnya?" potong Pak Ustadz.

Mbah Rahmat terdiam. Tapi, tangannya menyentuh Pak Ustadz supaya mendekat. Di telinga Pak Ustadz Mbah Rahmat berbisik. Lirih. Tak terdengar. Pak Ustadz tertawa terbahak-bahak. Apa yang dibisikkan Mbah Rahmat?

Kata Mbah Rahmat, ia mengurus anak dengan manajemen keluarga ala Mbah Rahmat. Karena delapan anak, maka anak pertama bertanggung jawab menjaga anak kelima, anak kedua menjaga anak keenam, ketiga menjaga yang ketujuh, anak yang keempat menjaga yang kedelapan. * * *

No comments: