Tuesday, March 09, 2010

BUKAN PUNCAK IMAN

Mata Pak Ustadz terpana. Ribuan perasaan berkecamuk. Bahagia, senang, terharu. Di depannya berdiri seorang gadis berkerudung putih. Manis, manis sekali. Pak Ustadz terkesiap beberapa detik untuk kemudian tersadarkan.

"Umi! Ini Danti?! Benar Danti?!" seru Pak Ustadz tertahan.

Istri Pak Ustadz senyum-senyum. Ia seperti membiarkan suaminya didera keraguan. Bingung. Hayo, siapa? Tebak sendiri! bantinnya.

"Benarkan, Danti?" kembali Pak Ustadz meyakinkan dirinya sendiri.

"Kalau bukan Danti, siapa? Apa orang lain?" goda istri Pak Ustadz.

"Jadi benar, ini Danti?"

Istri Pak Ustadz kini mengangguk. Di sampingnya, gadis menjelang dewasa itu hanya tersenyum. Parasnya menampakkan sedikit malu. Namun, hatinya tidak bisa membohongi kalau dirinya sangat bahagia.

"Alhamdulillah.... Kamu sepertinya sudah berubah sekarang!" cetus Pak Ustadz tak mampu menyembunyikan rasa senangnya.

Danti tersipu-sipu mendengar ucapan Pak Ustadz. Baginya, ucapan itu tak berbeda dengan pujian. Benar, pujian. Pujian terhadap dirinya. Wajah Danti memerah. Perasaannya seolah menuju puncak.

Pak Ustadz ingat benar siapa Danti. Ia adalah salah satu keponakan istrinya. Dari beberapa perempuan keponakan istrinya, Danti terbilang "istimewa". Ia gadis yang paling susah diatur. Kemauannya keras dan tak mudah ditaklukkan. Ibu dan ayahnya, bahkan sudah angkat tangan terhadap Danti.

Pikiran Danti aneh-aneh. Meski perempuan, ia tidak suka dibatasi. Hidup Danti adalah hidupnya sendiri. Maka pulang malam sudah sangat biasa bagi Danti. Merokok tidak asing baginya. Gonta-ganti kekasih pernah dilakoninya.

Hobi Danti ngeband. Tidak dengan perempuan, tetapi dengan laki-laki. Kata Danti, ngeband dengan laki-laki lebih asyik. Keras, lugas, dan bebas. Karena hobinya itu, sekolah Danti amburadul. Ia pernah tidak naik kelas gara-gara hobinya itu.

Kini, Pak Ustadz seperti kehilangan kata-kata berdiri di hadapan Danti yang lain. Danti yang berjilbab. Danti yang berperilaku lembut. Lalu, ke mana Danti yang dulu itu?

"Paman, Danti ingin mengaji di sini. Danti ingin menambah ilmu agama yang selama ini tidak Danti miliki. Danti berharap, Paman dan Bibi mau sedikit memberi pengetahuan kepada Danti, " harap Danti sambil tertunduk.

Pak Ustadz manggut-manggut. Hatinya mengucap syukur. Allah telah menunjukkan jalan-Nya. Pak Ustadz yakin, Danti sudah berubah. Jilbab yang dikenakannya adalah bukti. Tak hanya berjilbab, Danti bahkan bersemangat untuk terus mengaji.

"Danti, jilbab yang kamu kenakan bukanlah sebuah puncak keimanan. Justru dengan mengenakan jilbab, kamu dituntut untuk menambah wawasan dan pengetahuanmu. Jadi, jangan berhenti dengan jilbab!"

Danti manggut-manggut mendengar ucapan Pak Ustadz. Ucapan itu seakan menebalkan hatinya untuk terus melangkah pada keyakinannya yang baru. * * *

No comments: