Tuesday, March 23, 2010

ROKOK? BUKAN MAKRUH ATAU HARAM!

Pak Ustadz sudah hampir mencapai taraf bosan. Ia sudah tidak mau lagi bicara. Tapi, kali ini ia datang lagi. Dengan soal yang lagi-lagi sama. Bang Tata! Rokok! Sepertinya, ucapan dan ketegasan Pak Ustadz beberapa hari yang lalu tidak menyurutkan Bang Tata untuk kembali menemuinya.

"Maaf, Pak Ustadz. Terpaksa saya datang lagi...."

Pak Ustadz hanya mesem. Bagi Pak Ustadz, datangnya Bang Tata ibarat mendapat kiriman durian busuk. Mabuk, memabukkan. Mual, memualkan. Lidah Pak Ustadz sudah kaku. Perut Pak Ustadz ingin muntah.

Namun, Bang Tata memang orang yang tidak tahu. Juga tidak mau tahu. Sikap Pak Ustadz yang ogah-ogahan tidak membuatnya keder, apalagi mundur. Ia tetap kekeueh untuk menemui Pak Ustadz. Urusan Pak Ustadz jengah dan malas adalah urusan Pak Ustadz sendiri, bukan urusannya.

"Pak Ustadz, sebagai umat muslim, saya ingin meminta ketegasan. Rokok itu sebenarnya makruh apa haram?" tanya Bang Tata.

Pak Ustadz menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sadar, percakapan dirinya dengan Bang Tata beberapa waktu lalu ternyata sama sekali tidak membekas. Bang Tata tetap bingung dan kebingungan dengan persoalan rokok.

"Memang apa pentingnya kalau rokok itu haram atau makruh..."

"Oh, sangat erat, Pak Ustadz, "potong Bang Tata. " Kalau haram, saya pasti berhenti merokok. Tapi, kalau hanya sekadar makruh, saya akan terus merokok."

Pak Ustadz tidak percaya dengan ucapan Bang Tata. Pengalaman dirinya bertemu dan berbicara dengan para pecandu rokok, label makhruh dan haram tidak terlalu bermakna bagi mereka. Apalagi jika mereka berkilah bahwa sepanjang ayat Al Qur'an tidak mengharamkan rokok, maka tidak pada tempatnya jika ada ulama atau organisasi keagamaan mengharamkan rokok.

"Ah, apa untungnya bicara rokok itu makruh atau haram? Dari dulu saya tidak pernah bersepakat. Tidak ada untungnya. Sebab jika kita berbicara tentang label makruh atau haram, yang terjadi pasti pro dan kontra. Ini tidak sehat bagi umat muslim, "terang Pak Ustadz.

"Lho...."

Kali ini Bang Tata melongo. Ia kaget mendengar pernyataan Pak Ustadz. Juga bingung.

"Makanya saya tidak pernah menyebut rokok itu makruh, apalagi haram. Sebab, dua kata itu pasti akan berujung pada dua kata yang lain. Pahala atau dosa. Saya menghindari itu semua."

Bibir Bang Tata menyungging. Ia serasa mendapat pembelaan. Ia merasa menang. Tapi, Pak Ustadz ternyata belum berhenti berbicara.

"Saya lebih senang menggunakan kata manfaat atau mudharat. Kalau dipandang dari segi apapun rokok ternyata bermanfaat, ya silakan merokok. Tapi, kalau dipandang dari segi kesehatan, sosial, ekonomi, ternyata rokok mengandung lebih banyak mudharat, ya tinggalkan saja."

Bang Tata manggut-manggut. Paham.

"Alhamdulillah.... Terima kasih, Pak Ustadz. Berarti merokok tidak berdosakan?"

Pak Ustadz tersenyum.

"Saya tidak tahu, Bang Tata. Tapi, kata Nabi, salah satu ciri orang beriman ialah ia mampu meninggalkan sesuatu pekerjaan yang tidak bermanfaat."

Bang Tata paham ke arah mana ucapan Pak Ustadz. Bang Tata menggigit bibir. Perih.* * *

No comments: