Thursday, March 18, 2010

MANTRA SAKTI 40 HARI

Telepon di rumah Pak Ustadz berdering nyaring. Sehabis subuh. Kala Pak Ustadz masih asyik menyimak huruf demi huruf yang tertera dalam lembaran kitab suci, Al Qur'an. Sedikit tersentak, Pak Ustadz menyentuh gagang telepon. Ia mengangkatnya.

Ucapan salam terulur dari bibir Pak Ustadz. Lalu, pujian syukur meluncur setelah tahu bahwa suara di seberang adalah adiknya. Firman, adik lelaki Pak Ustadz yang paling kecil, si bungsu. Anak kesayangan ibu Pak Ustadz yang sudah tiada.

"Jadi, istrimu sudah melahirkan? Kapan? Laki-laki apa perempuan? Sehatkan? Masih di rumah sakit sekarang? Anakmu bagaimana?"

Pak Ustadz membombardir Firman dengan pertanyaan-pertanyaan yang diselingi semburat kebahagiaan. Wajar karena Firman memang adik yang paling dekat dengan dirinya. Wajar karena Firman sudah menunggu kedatangan anaknya lebih dari dua tahun.

Dari seberang, Firman menjelaskan secara panjang lebar.

"Iya, Mas. Kemarin melahirkannya. Laki-laki. Alhamdulillah, ibu dan bayinya sehat. Sekarang di rumah. Dokter sudah memperbolehkan pulang. Sudah dua hari tiba di rumah."

Pak Ustadz tersenyum. Wajahnya ikut memancarkan kebahagiaan. Pesannya kemudian.

"Jangan lupa aqiqah, ya Firman. Ingat, itu sebagai wujud syukur atas kelahiran anakmu. Semoga dengan aqiqah itu doa dan kehendakmu atas anakmu untuk menjadi manusia yang soleh bisa terwujud."

"Terima kasih, Mas. Insya Allah. Tapi, mungkin tidak segera. Mertuaku meminta di hari ke-40 aqiqah baru bisa dilaksanakan."

Pak Ustadz terkejut mendengar penjelasan Firman. Batinnya berdesir.

"Lho? Kok hari ke-40? Kata siapa itu? Aqiqah itu mesti dilaksanakan hari ketujuh atau hari keempatbelas. Bukan hari ke-40. Keliru itu."

Firman tergeragap. Di telepon suaranya seperti ditelan ragu. Bingung.

"Iya, Mas. Aku sudah jelaskan ke mertua. Tapi, mereka ngotot. Harus hari ke-40. Bahkan anakku juga tak boleh keluar rumah sebelum hari ke-40 tiba. Rambut dipotongnya pas hari ke-40. Istriku tak boleh memotong kuku kalau belum melewati hari ke-40."

Pak Ustadz coba mengerti.

"Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang?"

Firman menahan napas. Pak Ustadz mendengar dengan jelas.

"Aku tak bisa menentang....." Lirih.

Pak Ustadz kini tahu posisi Firman, adiknya itu. Hatinya menyesalkan. Bukankah aku sudah mengingatkan agar kamu jangan mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Kenapa? Karena mata, telinga, dan hati; kesemuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya kelak.

Pak Ustadz tercenung. Sendirian. Pelan-pelan ia menutup teleponnya. * * *

No comments: