Thursday, March 11, 2010

ROKOK? TANYAKAN SAJA KEPADA NURANIMU!

"Pak Ustadz, ini fatwa yang nggak bener. Fatwa ini tidak menenteramkan, tapi justru membuat umat resah. Apa sebelumnya mereka tidak berpikir saat mengeluarkan fatwa?!"

Suara Bang Tata keras menghunjam. Hari Minggu. Pagi itu, saat secara kebetulan Pak Ustadz yang sedang berolahraga bertemu Bang Tata di jalan. Pak Ustadz hanya tersenyum. Diam. Ia membiarkan Bang Tata berbicara dari sudut hatinya yang paling dalam.

"Pak Ustadz, fatwa seperti ini akan membuat para petani tembakau menjerit. Buruh di pabrik berteriak. Pengusaha memberontak. Pemerintah kehilangan dana dari cukai. Saya yakin, fatwa ini tidak akan pernah dihormati, apalagi ditaati umatnya!"

Pak Ustadz tetap menyimak suara Bang Tata. Ia bahkan membiarkan Bang Tata pasang aksi. Mengambil rokok dari kantong, menyulut dengan korek api, dan menghisapnya dalam-dalam. Asap mulai menyelimuti sekelilingnya.

"Contohnya saya, Pak Ustadz. Saya mewakili suara para perokok. Saya pasti tidak akan pernah berhenti merokok. Ada atau tidaknya fatwa itu saya tetap merokok. Saya tidak peduli dengan fatwa rokok!"

Bang Tata terus berbicara. Asap rokok dan suara kerasnya bergantian keluar dari bibirnya.

"Pak Ustadz, apa yang terjadi kalau umat sudah tidak lagi mau mendengar ulama?!"

Pak Ustadz diam tak menjawab. Ia hanya memperhatikan jemari Bang Tata yang lincah mempermainkan batangan rokok.

"Kacau! Pasti kacau! Makanya semestinya para ulama atau organisasi keagamaan berpikir dahulu sebelum mengeluarkan fatwa. Telaah dari berbagai macam segi. Jangan hanya emosi sesaat!"

Suara Bang Tata bergulir seirama air. Terus mengalir.

"Kalau sudah begini siapa yang susah. Semuanya!"

Kali ini sepi. Tiba-tiba. Suara Bang Tata menghilang. Pak Ustadz membiarkan Bang Tata bermain-main dengan rokoknya. Pak Ustadz sama sekali tak bersuara. Ia tak berusaha untuk menanggapi Bang Tata.

"Pak Ustadz, bukankah kalau rokok itu haram berarti yang merokok berdosa? Lalu, bagaimana semestinya saya bersikap?"

Lirih. Hampir tak terdengar. Ada nada kekhawatiran, lebih lagi ketakutan. Pak Ustadz hampir-hampir tak bisa menahan ketawa. Bagaimana mungkin sebongkah batu yang keras hanya sepersekian detik kemudian lalu meluruh?

Pak Ustadz sungguh mengasihani. Bang Tata, ya Bang Tata kini.

"Rokok soal kecil, Bang. Jangan tanya saya. Tanyakan saja kepada nurani Abang. Karena nurani tak mungkin bisa berbohong, apalagi menipu..."

Pak Ustadz melangkah, meneruskan lari paginya. Bang Tata termangu. * * *

No comments: