Wednesday, October 28, 2009

SI PEMBERI NAFKAH, SANG PEMBERI REZEKI

Ba'da asar Pak Ustadz mengajak istrinya menengok Bang Jali. Hampir seminggu Bang Jali tidak kelihatan batang hidungnya. Terakhir ia masih terlihat keliling kampung menjajakan dagangannya, mie ayam. Sesudah itu, semua warga kampung tak bisa lagi menikmati mie ayam Bang Jali yang luar biasa enak.

Pak Ustadz terkejut. Di rumah Bang Jali. Ia tak menyangka Bang Jali menderita sakit yang cukup parah. Stroke! Ah, stroke sekarang ternyata bisa menyerang siapa saja, termasuk Bang Jali yang hidupnya terbilang sederhana. Stroke bukan lagi penyakit spesialis orang berpunya.

Tubuh Bang Jali kaku, sama sekali tak bisa digerakkan. Tangan, kaki, mulut, leher; semua seolah mati rasa. Hanya pandangan mata Bang Jali yang terlihat hidup. Pak Ustadz prihatin. Ujian yang sungguh berat, batin Pak Ustadz, bagi Bang Jali, lebih-lebih bagi istrinya.

"Sabar...Sabar..." istri Pak Ustadz terus menyemangati istri Bang Jali yang tak henti-hentinya menangis sedih. Entah apa yang dirasakan istri Bang Jali kini. Beban berat mesti dipikulnya. Beban menyangga kehidupan Bang Jali dan tiga orang anak yang menjelang remaja.

"Saya tidak tahu lagi harus bagaimana Pak Ustadz..." tangis istri Bang Jali tak pernah surut. Seperti ada aliran air mata yang tak mungkin dibendung.

Pak Ustadz terdiam. Ia termenung sejenak. Sungguh bukan pekerjaan yang mudah untuk menyelesaikan persoalan yang menimpa keluarga Bang Jali. Pertama, sakitnya Bang Jali yang tentu harus disembuhkan. Kedua, kehidupan keluarga Bang Jali yang tidak boleh ambruk akibat sakitnya Bang Jali.

Optimis! Optimis! Pak Ustadz menyemangati dirinya sendiri. Otaknya terus berputar mencari pemecahan masalah. Ia memang sedang menengok Bang Jali yang sakit. Namun, ia tak mau yang ia lakukan hanya sekadar melihat keprihatinan dan kesusahan orang. Pak Ustadz ingin lebih dari itu.

"Beban ini sungguh teramat berat...." kembali tangis istri Bang Jali terdengar.

"Saya tahu, tapi ibu mesti kuat. Kalau ibu tidak kuat, kasihan Bang Jali. Kasihan anak-anak. Saat ini yang dibutuhkan adalah ketabahan dan kekuatan ibu. Mereka semua menanti tampilnya ibu. Ibu yang kuat, ibu yang berani."

"Tapi, saya sepertinya sudah tidak mampu lagi, Pak Ustadz...."

Dugh! Pak Ustadz kaget. Tak percaya. Ia tak percaya melihat istri Bang Jali benar-benar putus asa. Bagi istri Bang Jali, seperti tidak ada celah untuk keluar dari jalan yang buntu ini. Padahal Pak Ustadz tahu benar, siapa istri Bang Jali. Ia adalah muslimah yang tidak pernah absen dalam majelis-majelis ilmu yang diselenggarakan di masjid. Ternyata, ujian sakitnya Bang Jali telah membuatnya lemah.

"Ibu, tanggung jawab lelaki memang memberi nafkah. Tapi, tanggung jawab Allah adalah memberi rezeki kepada makhluknya. Lalu, kenapa kita mesti khawatir dan takut saat si pemberi nafkah sudah tak berdaya. Bukankah masih ada sang Pemberi Rezeki?" kata Pak Ustadz lembut.

Kali ini gantian istri Bang Jali yang terkejut. Mulutnya segera berucap memohon ampun. Wajah istri Bang Jali seolah muncul cahaya. Binar matanya tak lagi redup. Kini hidup. Amat hidup.

Pak Ustadz melangkah pulang bersama istrinya. Di benaknya sudah muncul puluhan cara yang hendak dicobanya untuk menolong keluarga Bang Jali. Pak Ustadz tersenyum. * * *

No comments: