Sunday, October 25, 2009

DOA YANG (TIDAK) TERKABUL

Akbar marah kepada dirinya sendiri. Ia merasa Pak Ustadz membohonginya. Segala nasihat yang diberikan Pak Ustadz telah ia laksanakan. Tapi, satupun tak ada yang sukses. Semua seolah tak membekas sama sekali.

Maka ini hari ia harus bertemu Pak Ustadz. Ia hendak menyampaikan protes. Pokoknya protes! Keras! Sekeras-kerasnya. Biar Pak Ustadz sadar bahwa nasihatnya banyak yang tidak membawa keberhasilan pada umatnya.

Di persimpangan jalan, Akbar tertegun. Dari jauh ia melihat sesosok tubuh yang amat dikenalnya. Nadira? Ya, Nadira. Gadis tercantik di kompleks perumahannya.

Dada Akbar berdesir. Mukanya memerah jambu. Ah, andai aku berhasil memilikinya, pasti senang hati ini. Mata Akbar tak berkedip, bahkan ketika Nadira sudah menegurnya.


"Mari Mas Akbar....." sapa Nadira ramah.

Akbar tergeragap. Hatinya limbung. Matanya mengerjap bagai burung hendak terbang lepas.

"Oh, ya...Mari...Mari...."

Nadira tertawa terkekeh. Akbar mengutuki dirinya sendiri. Sialan! Kurang ajar! Hei, bukankan aku hendak ke rumah Pak Ustadz buat protes?

Akbar mempercepat langkahnya. Kebetulan, Pak Ustadz sedang membakar sampah dedaunan di halaman. Ia tersenyum melihat Akbar mendatanginya.

"Pak Ustadz, saya mau protes!" kata Akbar keras.

"Oh, ya. Protes masalah apa, Akbar?" tanya Pak Ustadz tenang. Bibirnya tak lepas dari senyum.

"Saya sudah berdoa terus-menerus Pak Ustadz, tapi satupun doa yang saya inginkan tidak ada yang terkabul."

"Oh, ya?"

"Saya sudah berusaha jujur dalam berucap. Saya tak pernah bohong. Tapi, rezeki yang saya inginkan saat berdoa, macet melulu. Bisnis tak pernah lancar. Saya juga tak pernah makan makanan yang haram. Saya selalu memakan makanan yang halal. Namun, anak yang saya inginkan belum juga lahir dari rahim istri saya. Terus...."

"Terus, bagaimana Akbar?"

"Saya juga berusaha menjaga pandangan..."

Akbar tidak meneruskan ucapannya. Bayangan peristiwa pertemuan dengan Nadira masih membekas. Indah, begitu indah. Tapi, ia sadar, dirinya tidak berusaha menjaga pandangan. Bahkan mimpi untuk memiliki Nadira masih terus bersemayam, meski ia sudah beristri sekalipun. Ah, Nadira.

"Oh, ya. Pak Ustadz yang ketiga ini paling sulit. Saya belum mampu...."

Akbar tersenyum malu. Benar! Ia didera rasa malu. Pak Ustadz terkekeh. Ia memaklumi perasaaan Akbar. Perasaan seorang laki-laki yang begitu susah menjaga pandangan mata dari perempuan cantik yang bukan muhrimnya.

Akbar ngeloyor pergi. Malu. Ia membatalkan protesnya. * * *

No comments: