Thursday, September 23, 2010

ANAK NAKAL DARI TUHAN

Resepsi pernikahan. Di malam hari. Sendirian. Di gedung. Ah, selalu saja muncul perasaan galau. Entah apa dan dari mana datangnya. Pak Ustadz tidak tahu. Hanya, ia setiap kali berusaha melawannya, meski tak sampai memusnahkannya.

Oh, ada! Seru Pak Ustadz dalam hati setelah melihat sebuah bangku kosong. Dengan membawa piring makanan Pak Ustadz menikmati sajian mewah yang tersedia. Cukup! Cukup! Pak Ustadz hanya mencukupi perutnya dengan kue puding, apel, dan salak pondok.

Suara musik hiburan bergema di atas panggung. Para tamu memamerkan ribuan wajah. Bersliweran. Ketawa, canda, ceria. Sungguh, memang hari yang berbahagia. Tapi, tiba-tiba.

Plak! Plak!

Pak Ustadz terkejut. Lemparan benda asing menerpa tubuhnya. Kue puding! Ya, kue puding. Bercak kotor tampak di baju Pak Ustadz. Pak Ustadz melemparkan pandangannya. Dua anak lelaki berusia sekitar tujuh dan lima tahun tertawa terbahak-bahak. Mereka seperti tidak merasa bersalah.

"Maaf, Pak. Maaf. Anak saya ini nakalnya memang minta ampun. Saya sampai malu dibuatnya. Tadi sudah menjatuhkan piring. Sekarang lempar-lemparan puding..."

Seorang perempuan berpakaian istimewa mendatangi Pak Ustadz. Tangannya mencengkeram kedua anak lelakinya kuat-kuat. Wajahnya menampakkan ribuan perasaan. Marah, malu, jengkel, kecewa.

"Ayo, duduk kalian! Diam di sini! Ingat, kalian tak boleh ke mana-mana! Di sini saja! Di sini!"

Perempuan berpakaian istimewa itu menatap Pak Ustadz dengan perasaan amat bersalah. Berkali-kali bibirnya berucap maaf dan maaf. Keluhnya kemudian.

"Saya sudah putus asa terhadap mereka berdua. Mereka benar-benar nakal. Aneh, ya Pak, kenapa saya bisa melahirkan anak-anak yang demikian nakal? Padahal, saya dan suami saya bukan orang-orang yang nakal."

Perempuan berpakaian istimewa itu seolah membela diri. Pak Ustadz tak menanggapi. Hanya diam. Perempuan itu terus melanjutkan ucapannya.

"Saya tidak tahu salahnya di mana. Anak-anak sudah saya berikan fasilitas pendidikan yang terbaik. Sekolah terbaik. Guru terbaik. Teman dan lingkungan yang baik. Hasilnya..."

Perempuan berpakaian istimewa itu melingkarkan dua jarinya sehingga membentuk angko nol.

"Akhirnya, saya berpikir, Tuhan memang telah memberikan saya anak-anak yang nakal."

Kali ini Pak Ustadz tersenyum. Ia seperti memahami . Namun, Pak Ustadz tak bisa menahan bibirnya untuk berucap.

"Maaf, ibu. Jangan salahkan anak-anak. Kasihan mereka. Mereka adalah anak-anak Tuhan. Karena anak-anak Tuhan, mungkin malah ibu dan suami ibu yang sejatinya bersalah. Sebab, siapa tahu ibu dan suami ibu yang justru lupa melibatkan Tuhan dalam proses pembuatannya...."

Perempuan berpakaian istimewa itu seperti tercenung mendengar perkataan Pak Ustadz. Namun, sebelum perempuan itu membuka mulutnya kembali, Pak Ustadz telah terlebih dahulu mohon pamit. ***

No comments: