Friday, September 17, 2010

ANAK-ANAK PENDUSTA

Pulang dari mudik. Pak Ustadz berdesak-desakan dalam kereta api bisnis. Lega, akhirnya ia dan keluarganya mendapat tempat duduk. Tapi, gelisah karena sejak tadi si bungsu Nadia tak kunjung berhenti rewelnya. Aneh-aneh saja ulahnya. Dari mulai merasa lelah hingga ke soal permintaan macam-macam khas anak kecil.

Istri pak Ustadz sudah menyerah. Ia angkat tangan. Istri Pak Ustadz sudah tak kuasa lagi menangani anak perempuan satu-satunya itu. Nadia kini sudah menjadi urusan Pak Ustadz. Namun, di tangan Pak Ustadz, Nadia tak berubah. Ia tetap menunjukkan perilaku yang menjengkelkan.

"Sebenarnya Nadia pingin apa?"

Pak Ustadz berusaha bersikap lembut. Ia percaya Nadia bukan anak yang susah untuk "ditaklukkan". Dengan kelembutan pasti segala sesuatunya berjalan sesuai rencana.

Kecele. Pak Ustadz kecele. Nadia justru menampakkan wajah tak ramah. Wajahnya tak enak dilihat. Sebentar kemudian air matanya sudah tumpah. Dari bibirnya keluar suara sesenggukan. Nadia menangis. Semakin lama tangisan itu semakin keras.

Pak Ustadz kebingungan. Ia malu melihat Nadia dan dirinya menjadi tontonan penumpang kereta. Seketika trik Pak Ustadz muncul.

"Nadia, mau eskrim? Nanti Abi belikan?"

Tangisan Nadia tak berubah. Pak Ustadz mulai kelimpungan.

"Nadia kepingin naik kuda? Nanti, pulangnya kita naik kuda. Atau naik delman? Pasti kita naik nanti."

Nadia tak berhenti menangis. Pak Ustadz bertambah bingung. Akalnya sudah mencapai ambang batas. Nadia memang terlalu sulit untuk "ditaklukkan".

"Oh, ya. Katanya Nadia kepingin yoyo. Setiba di rumah Abi janji Nadia akan Abi belikan yoyo. Sepuluh malah..."

Ajaib! Nadia terdiam. Tangisnya berhenti. Ia memandang wajah Pak Ustadz.

"Bener, Abi?"

Pak Ustadz mengangguk. Nadia tak lagi menyebalkan. Senyumnya kini mengembang. Rengekannya pudar sudah. Pak Ustadz tersenyum.

Seorang ibu berkerudung putih ikut tersenyum. Namun, senyumnya terasa aneh di mata Pak Ustadz. Apalagi saat ia bertanya lirih kepada Pak Ustadz.

"Apakah Bapak benar-benar akan memenuhi permintaan putri Bapak? Es krim, naik kuda, dan sepuluh yoyo?"

"Tidak, " jawab Pak ustadz cepat. " Itu semua hanya agar anak saya berhenti menangis. Saya berharap ia akan lupa dengan apa yang pernah saya janjikan."

Ibu berkerudung putih itu mengangguk-angguk. Ia seperti memahami. Tiba-tiba ia bergumam lirih. Sangat lirih. Tapi, hal itu sudah cukup untuk membuat telinga Pak Ustadz tersentil.

"Ternyata masih banyak orang tua yang mengajarkan dusta kepada anak-anaknya. Meski baik, tapi itu keliru. Keliru."

Pak Ustadz menundukkan pandangan. Saat ia mendongak, ibu berkerudung putih itu telah lenyap dari hadapannya.

No comments: