Tuesday, August 24, 2010

ANDA, AYAH DAN IBU YANG BAIK?

Minggu pagi. Matahari tersenyum cerah. Pak Ustadz dan istrinya asyik bercengkerama. Teh hangat dan pisang goreng menemani mereka berdua. Begitu biasanya. Entah kenapa. Mereka selalu dicekam kerinduan untuk bersama. Padahal, tidak ada yang istimewa pada setiap pagi itu.

Pak Ustadz dan istrinya seringkali hanya duduk sambil mengobrol. Kadang diselingi candaan santai. Tak pernah ada percakapan serius di pagi hari saat libur. Namun, kali ini sepertinya lain. Semua ini gara-gara celetukan istri Pak Ustadz.

"Abi, di mata anak-anak, kira-kira kita ini termasuk ayah dan ibu yang baik bukan ya?"

Pak Ustadz kaget mendengar celetukan istrinya. Amat kaget. Ia pandangi wajah istrinya. Ia takut ada yang keliru dengan ucapan istrinya. Sebab, ini tidak biasa. Benar, tidak biasa. Tapi, Pak Ustadz sepertinya tidak menemukan keanehan di wajah istrinya.

Istri Pak Ustadz tetap seperti biasa. Manis dan sedap dipandang mata. Bahkan wajah istri Pak Ustadz seolah menunjukkan keseriusan. Artinya, istri Pak Ustadz tidak sedang mengajak bercanda.

"Menurut Umi, bagaimana?" Pak Ustadz balik bertanya.

"Lho, Umi tanya malah Abi balik tanya. Bagaimana sih?"

Pak Ustadz tersenyum. Senang. Selalu saja ada kerinduan untuk menggoda istrinya. Manja. Ya, manja. Itu hal yang paling Pak Ustadz sukai dari istrinya. Kemanjaan yang alamiah. Bukan dibuat-buat dan dipaksakan.

Meski senang, di sudut hatinya Pak Ustadz tercenung. Benar! Ucapan istrinya benar! Hampir duabelas tahun ia menjalani pernikahan, tapi sekalipun ia tidak pernah menanyakan dalam hatinya perihal yang satu itu. Ayah yang baik dan ibu yang baik hanya sebuah proses. Itu keyakinan Pak Ustadz.

"Saya tidak tahu Umi sebab yang tahu pasti anak-anak kita?"

"Lho, kok anak-anak kita?"

"Iya. Sebab, mereka yang merasakan kehadiran kita sebagai ayah atau ibu."

"Tapi, Abi pasti punya penilaian tersendiri."

Pak Ustadz tersudut. Hatinya memang membenarkan tebakan istrinya. Kendati demikian, Pak Ustadz sejatinya hanya mampu meraba. Ia tetap tidak tahu apakah dirinya ayah yang baik atau bukan. Kata Pak Ustadz kemudian.

"Umi, kita berdua adalah pemimpin dalam rumah tangga kita. Kata Nabi, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang selalu mendoakan orang yang kita pimpin dan selalu didoakan oleh mereka. Sebaliknya, pemimpin yang buruk adalah pemimpin yg dibenci oleh orang yang kita pimpin dan dilaknat oleh mereka."

"Jadi?"

"Ya, nanti kita tanya ke anak-anak kita. Apakah mereka selalu mendoakan kita dalam sholatnya."

"Tapi, Abi selalu mendoakan anak-anak kitakan?"

"Insya Allah..."

Pak Ustadz dan istrinya saling tersenyum. Dalam hati mereka tersembul janji untuk senantiasa menjadi ayah dan ibu yang baik. * * *

Friday, August 20, 2010

21 TAHUN TERTIDUR

Hari libur. Fakih masih saja asyik dengan selimut dan bantalnya. Matanya terpejam. Rapat. Tubuhnya tak bergerak. Seolah mati. Padahal, pagi sudah hendak menanti. Ayah, ibu, dan ketiga adiknya sudah terjaga sedari tadi.

Pak Ustadz menggeleng-gelengkan kepalanya. Selalu saja begitu. Sejak dulu. Hobi tidur anak sulungnya itu telah sedikit merepotkan Pak Ustadz. Juga mengkhawatirkan. Tidak pagi, siang, sore, atau malam, tidur seperti menjadi idaman.

"Kak, bangun! Bangun!"

Suara Pak Ustadz tak membuat Fakih bergerak. Ia tetap saja diam. Seperti tidak mendengar suara dan tepukan ayahnya sendiri. Pak Ustadz sedikit geregetan. Karena, adzan subuh sudah siap-siap hendak dikumandangkan dari masjid seberang.

Pyur! Pyur!! Pyur!!!

Fakih gelagapan. Cipratan air dari tangan Pak Ustadz mengenai mukanya. Seketika Fakih terjaga. Matanya melek. Tapi, badannya masih saja tergelepar di tempat tidur. Melihat siapa yang usil Fakih mengeluh.

"Ah, Abi. Ngganggu saja. Inikan masih pagi..."

"Kak, ini hampir subuh. Ayo, siap-siap. Adik-adikmu sudah bangun dari tadi. Mereka sudah siap sholat berjamaah."

"Ah, aku nanti saja. Sholat sendirian."

Fakih menutupkan selimutnya rapat-rapat. Pak Ustadz tak mau kalah. Ia membuka selimut Fakih yang menutupi mukanya. Tak hanya itu, Pak Ustadz juga menarik tubuh Fakih hingga ia terduduk.

"Kakak, dengar!" ucap Pak Ustadz sedikit tegas. "Berapa usia Nabi saat wafat?"

Fakih terkejut. Ia bingung kenapa tiba-tiba ayahnya bertanya seperti itu. Mata Fakih mulai membuka.

"63 tahun," jawab Fakih.

"Selama usia itu, berapa tahun Nabi tidur?"

Fakih tak paham. Pertanyaan ayahnya membingungkan dirinya. Ia menggelengkan kepalanya. Pak Ustadz manggut-manggut.

"Jika usia Kakak nanti mencapai 63 tahun, maukah Kakak selama 21 tahun dari usia tersebut digunakan untuk tidur?"

"Ah, Abi ada-ada saja. Ya nggak mau."

"Nggak mau bagaimana? Kalau setiap hari manusia tidur delapan jam, berarti saat Kakak usia 63 tahun nanti, 21 tahunnya untuk tidur. Bahkan bisa lebih karena hobi Kakak tidur," kata Pak Ustadz sambil bergegas meninggalkan Fakih.

Fakih melongo. Lebih dari 21 tahun dalam hidup untuk tidur? Tidak!!!! * * *

Tuesday, August 10, 2010

BERI KEBAHAGIAAN KEPADA IBUMU!

Pak Ustadz sudah lama mengenalnya. Mungkin sekitar lima atau enam tahun. Mereka memang bertetangga, meski tidak terlalu dekat jarak rumahnya. Kegiatan di masjid kerap membuat Pak Ustadz dan dirinya bertemu.

Orang-orang, juga Pak Ustadz, mengenalnya sebagai Aldi. Mulanya, Aldi datang dengan status sebagai mahasiswa. Ia tercatat sebagai mahasiswa pada salah satu perguruan tinggi negeri di kota Pak Ustadz tinggal. Setelah beberapa waktu lulus, Aldi tetap tinggal di tempat itu, bahkan hingga kini. Ia tak pernah pindah.

Ada yang aneh dari Aldi. Selama studi ia tak pernah pulang kampung ke rumah orang tuanya. Juga tidak pernah terdengar orang tua, sanak atau kerabat dari kampung, menengok Aldi. Secara kebetulan Pak Ustadz pernah menanyakan persoalan itu kepada Aldi.

"Aldi, kok tidak pernah kedengaran pulang kampung ya?"

Mendengar pertanyaan seperti itu Aldi hanya tersenyum. Ia seperti malu hati. Lalu jawabnya,

"Belum kepingin pulang, Pak Ustadz. Nanti kalau kepingin pasti juga saya akan pulang."

'Tapi, orang tua masih sehatkan?"

"Tinggal ibu, Pak Ustadz."

Pak Ustadz sedikit tersedak. Tinggal ibu? Ah, kenapa justru malah tidak kepingin pulang jika ibu masih sehat. Pak Ustadz mulai sedikit meraba-raba. Tapi, dalam hati Pak Ustadz tidak timbul sedikitpun rasa curiga.

"Kalau tinggal ibu, kenapa Aldi malah jarang pulang?"

Aldi agak jengah. Mukanya sedikit memerah. Hatinya seperti tersudut.

"Saya ingin membahagiakan ibu saya, Pak Ustadz."

"Membahagiakan?"

"Iya, Pak Ustadz. Saya sudah berjanji dalam hati bahwa saya tidak akan pulang untuk menemui ibu saya sebelum saya sukses dalam studi dan pekerjaan. Sebab, hanya itulah yang mampu membahagiakan ibu saya."

Pak Ustadz tidak kaget dengan jawaban seperti itu. Karena jawaban seperti itu seringkali ia dengar dari mulut banyak orang. Mereka berpikir, hanya sukses dalam studi dan pekerjaan yang akan membuat orang tua bahagia. Ah, betapa rendahnya orang tua kalau hanya dipandang seperti itu.

"Tak bisakah Aldi pulang satu kali dalam setahun?"

"Sepertinya tidak bisa, Pak Ustadz."

"Tak bisakah Aldi pulang setelah enam tahun merantau?"

"Sepertinya belum, Pak Ustadz."

Pak Ustadz merinding. Hatinya bergetar. Ia tak mampu membayangkan betapa rindunya hati sang ibu kepada Aldi, anaknya itu. Kata Pak Ustadz kemudian.

"Aldi, pulanglah besok! Beri kebahagiaan kepada ibumu! Dengan kehadiranmu."

Aldi terdiam. Pak Ustadz pergi menghilang dari pandangan. * * *

Friday, August 06, 2010

PERKAWINAN KOTOR

Pak Ustadz tak tahu lagi harus berbuat apa. Matanya memerah. Menyala. Seperti marah. Tapi, sekejap kemudian berubah. Meredup. Lalu, seperti ada cahaya bening dalam bola matanya. Pak Ustadz menangis? Tidak! Matanya telah lelah untuk mengeluarkan air mata.

Duduk di hadapannya Pak Sodri, sepupu Pak Ustadz. Raut mukanya tak beda dengan Pak Ustadz. Hanya Pak Sodri terlihat sangat kuyu. Kusut. Kusam. Cahaya manusiawi yang diberikan Tuhan seolah luluh. Musnah. Hilang entah ke mana.

"Jadi, apa yang mesti aku lakukan sekarang?" tanya Pak Sodri lirih. Amat lirih.

Pak Ustadz tak mampu menjawab. Bibirnya terkatup rapat. Ia sangat takut keliru. Pak Ustadz tahu, sekali saja ia mengeluarkan nasihatnya, maka Pak Sodri pasti akan mengikutinya. Padahal, ini bukan persoalan biasa. Ini persoalan yang sungguh maha berat. Baru sekali Pak Ustadz menghadapi masalah yang seperti ini dan ia belum menemukan jawabannya. Jika ada masalah yang seperti ini Pak Ustadz lebih suka menghindar membicarakannya.

"Apa mesti aku nikahkan keduanya?" kembali bibir Pak Sodri membuka.

Mata Pak Ustadz menerawang. Mulutnya tetap tak menjawab. Hatinya menggeram. Ini semua gara-gara Nita! Akibat salah pergaulan, semua orang kini dipaksa menanggung akibatnya. Ya, menangung malu. Ya, menanggung bingung. Ya, menanggung dosa. Nita hamil sebelum ia melangsungkan pernikahannya.

"Atau aku tunggu sampai Nita melahirkan baru aku nikahkah?" Pak Sodri lagi-lagi meminta persetujuan.

Pak Ustadz tetap tak bersuara. Hatinya tidak yakin Pak Sodri mampu melakukan itu. Jika itu benar dilakukan persoalannya adalah bersediakah Nita untuk tidak menikah demi bayi yang dikandungnya? Lalu, bagaimana dengan keluarga pihak laki-laki? Maukah mereka menuruti dan mengikuti kemauan Pak Sodri.

"Aku benar-benar bingung. Sebagai orang tua, aku tak tahu lagi mesti berbuat apa. Aku benar-benar putus asa...."

Putus asa? Pak Ustadz tergeragap. Kaget. Allah mengutuk orang-orang yang bersikap putus asa. Tapi, ia memaklumi jika Pak Sodri dilanda putus asa. Siapa yang mau anaknya hamil di luar nikah? Siapa yang mau anaknya menikah dalam keadaan perut membesar? Siapa yang mau dilanda persoalan tanpa tahu jalan keluarnya. Maka sungguh tidak mudah.

"Kau benar tidak tahu jalan keluarnya?!"

Pak Ustadz menatap mata Pak Sodri. Terarah. Tajam. Matanya menandakan bahwa Pak Ustadz memang tidak mampu memberikan jawabannya, walau sedikit. Pak Ustadz menyerah. Ia diterpa jalan buntu seperti yang juga dialami Pak Sodri, sepupunya itu.

Pak Ustadz mengutuki dirinya sendiri. Batinnya berbicara.

"Pernikahan adalah sesuatu yang indah. Kenapa banyak orang yang suka merusaknya sendiri. Perkawinan adalah sesuatu yang suci. Kenapa tidak sedikit orang yang malah mengotorinya sendiri."

Pak Sodri beranjak pergi. Mata Pak Ustadz seperti berair. Ia tak rela melepas sepupunya itu pergi tanpa pegangan dari dirinya. Ah, kenapa hanya masalah hamil di luar nikah aku tak mampu berbicara tegas?, bisiknya. Pak Ustadz menutup wajahnya dengan kedua tangannya. * * *

Tuesday, August 03, 2010

MENGAMBIL "HATI" TUHAN

Pak Ustadz masih terpekur di atas sajadahnya. Sepertiga malam. Sebuah waktu yang sangat dianjurkan Allah untuk mengadu, bahkan kalau perlu hingga menitikkan air mata. Tentu, karena keterbatasan kita sebagai mahkluk, hamba. Tapi, jangankan menitikkan air mata, bahkan untuk sekadar berbisik pun Pak Ustadz gagal.

Bibir Pak Ustadz bisu, lidahnya terasa kelu. Pak Ustadz ingin berucap, tapi ia tak punya daya. Pak Ustadz ingin ingin berbicara, tapi ia tak kuasa. Pak Ustadz ingin menumpahkan air mata, tapi bulir-bulir air mata itu tak pernah meluncur dari mata air di matanya.

"Ya Allah, kenapa Engkau hilangkan air mata di saat aku memerlukannya? Bukankah Engkau senantiasa perlu bukti agar aku pantas dimasukkan ke dalam surgamu karena aku adalah seorang hamba yang saleh?"

Pak Ustadz tak menyerah. Ia ingat nasihat dan petuah para gurunya dulu jika ia ingin menangis di hadapan Allah pada sepertiga malam.

Kata gurunya, "Ingatlah akan nikmat Tuhan yang tanpa batas itu. Udara, air, tumbuhan, atau hewan. Juga kesehatan, mata sebagai indera penglihat atau telinga sebagai indera pendengar. Pada nikmat yang tanpa batas itu sesungguhnya ada air mata bila kamu merenunginya."

Guru yang lain berkata, " Cobalah engkau ingat akan keliru dan salah. Pada keliru dan salah itu tak jarang terkandung dosa. Seorang hamba yang saleh pasti akan menitikkan air mata sebagai tanda sesal saat ia berbuat dosa."

Pak Ustadz tetap tak bisa menangis. Air matanya enggan tumpah. Sepertiga malam seolah menjadi rutinitas belaka. Ia tidak menimbulkan sensasi pribadi, apalagi menumbuhkan watak dan sifat hakiki. Pak Ustadz merasakan ada yang salah pada dirinya.

Pak Ustadz selalu ingat betapa banyak ia menumpahkan air mata saat ia memimpin doa di hadapan para khalayak yang berjejal dalam majelis-majelis zikir yang dipimpinnya. Bersama ratusan jamaah ia sesenggukan meluberkan air mata. Air mata itu tak pernah kering, ia selalu ada.

Ya Allah, haruskah aku menangis karena aku sudah tidak lagi bisa menangis di hadapanMu?

Pak Ustadz sekarang tahu, sejatinya ia belum paham benar bagaimana cara mengambil hati Tuhan. Pak Ustadz juga belum mengerti benar bagaimana cara "bercinta" dengan Tuhan. Kalau itu saja belum, bagaimana mungkin dirinya hendak disebut sebagai hamba yang saleh dan alim.

Tanpa sadar, Pak Ustadz menitikkan air mata. * * *

ANAK PINTAR DAN ANAK BODOH

Pak Ustadz terperangah. Wajahnya kaget, tak percaya. Di depan mukanya ia melihat langsung anak pertamanya marah-marah. Fakih memarahi kedua temannya yang tidak mengikuti, bahkan menolak pendapatnya.

"Salah! Itu salah! Pendapat aku yang benar. Kamu keliru!"

Mirip berteriak. Wajah Fakih mengeras. Matanya seolah hendak meloncat keluar. Ia tidak menerima jika yang dikatakannya keliru. Ia justru menyalahkan pendapat kedua temannya yang berbeda dengan dirinya.

Jaka dan Ade yang duduk mengapit Fakih seperti tak enak hati. Keduanya bahkan seperti ketakutan. Mereka hanya menundukkan wajahnya. Mereka tak berani mempertahankan pendapatnya setelah melihat raut muka Fakih.

"Kalau tidak percaya kamu bisa buka kembali catatan yang dulu. Di situ pasti tertulis jelas bahwa simbiosis komensalisme adalah hubungan sesama makhluk hidup yang satu diuntungkan yang lain dirugikan."

"Bukan Fakih....." tampik Jaka dengan ucapan yang lirih.

"Itu simbiosis parasitisme..."

"Bukan! Komensalisme. Kamu berdua keliru. Salah!"

Pak Ustadz tahu mana pendapat yang benar dan pendapat mana yang salah. Namun, ia sengaja membiarkan ketiganya berdebat. Ia ingin tahu bagaimana ketiganya menyelesaikan perbedaan pendapat saat belajar bersama di rumah.

Pak Ustadz hanya memainkan matanya. Melirik, pura-pura tidak melihat. Ia seperti asyik membaca buku yang ada di pangkuannya. Padahal seluruh indera yang dimilikinya diluncurkan pada peristiwa

"Ayo, sekarang kita lihat catatan kemarin!"

Pak Ustadz tahu, kenapa kedua teman Fakih tidak yakin dengan pendapatnya sendiri. Bahkan mereka berdua terlihat takut. Pertama, mereka tidak yakin dengan pendapatnya karena Fakih memang anak yang paling pintar di kelasnya. Kedua, Fakih memiliki pribadi yang kuat dan sulit untuk mengalah. Ketiga, mereka belajar di rumah Fakih sehingga mereka terkesan tidak ingin ribut.

Sesaat kemudian.

"Kalian benar. Aku yang keliru."

Plong! Pak Ustadz tersenyum melihat Fakih mengakui kesalahannya. Secara sportif, Fakih bahkan menyalami kedua temannya. Ketiganya tersenyum. Mereka melanjutkan belajar bersama.

Pak Ustadz terpekur. Benaknya teringat kata-kata bijak tentang anak pintar dan anak bodoh. Konon, anak pintar ialah anak yang mampu mengekang jiwanya dan memikirkan bahwa segala tindakannya selalu berkaitan dengan Tuhan yang Maha Melihat. Sedangkan, anak yang bodoh adalah anak-anak yang mengikuti hawa nafsunya dan selalu berangan-angan bahwa Tuhan akan selalu bersama dirinya.

Ah, semoga kalian menjadi anak-anak yang pintar, bisik Pak Ustadz. ***