Friday, August 06, 2010

PERKAWINAN KOTOR

Pak Ustadz tak tahu lagi harus berbuat apa. Matanya memerah. Menyala. Seperti marah. Tapi, sekejap kemudian berubah. Meredup. Lalu, seperti ada cahaya bening dalam bola matanya. Pak Ustadz menangis? Tidak! Matanya telah lelah untuk mengeluarkan air mata.

Duduk di hadapannya Pak Sodri, sepupu Pak Ustadz. Raut mukanya tak beda dengan Pak Ustadz. Hanya Pak Sodri terlihat sangat kuyu. Kusut. Kusam. Cahaya manusiawi yang diberikan Tuhan seolah luluh. Musnah. Hilang entah ke mana.

"Jadi, apa yang mesti aku lakukan sekarang?" tanya Pak Sodri lirih. Amat lirih.

Pak Ustadz tak mampu menjawab. Bibirnya terkatup rapat. Ia sangat takut keliru. Pak Ustadz tahu, sekali saja ia mengeluarkan nasihatnya, maka Pak Sodri pasti akan mengikutinya. Padahal, ini bukan persoalan biasa. Ini persoalan yang sungguh maha berat. Baru sekali Pak Ustadz menghadapi masalah yang seperti ini dan ia belum menemukan jawabannya. Jika ada masalah yang seperti ini Pak Ustadz lebih suka menghindar membicarakannya.

"Apa mesti aku nikahkan keduanya?" kembali bibir Pak Sodri membuka.

Mata Pak Ustadz menerawang. Mulutnya tetap tak menjawab. Hatinya menggeram. Ini semua gara-gara Nita! Akibat salah pergaulan, semua orang kini dipaksa menanggung akibatnya. Ya, menangung malu. Ya, menanggung bingung. Ya, menanggung dosa. Nita hamil sebelum ia melangsungkan pernikahannya.

"Atau aku tunggu sampai Nita melahirkan baru aku nikahkah?" Pak Sodri lagi-lagi meminta persetujuan.

Pak Ustadz tetap tak bersuara. Hatinya tidak yakin Pak Sodri mampu melakukan itu. Jika itu benar dilakukan persoalannya adalah bersediakah Nita untuk tidak menikah demi bayi yang dikandungnya? Lalu, bagaimana dengan keluarga pihak laki-laki? Maukah mereka menuruti dan mengikuti kemauan Pak Sodri.

"Aku benar-benar bingung. Sebagai orang tua, aku tak tahu lagi mesti berbuat apa. Aku benar-benar putus asa...."

Putus asa? Pak Ustadz tergeragap. Kaget. Allah mengutuk orang-orang yang bersikap putus asa. Tapi, ia memaklumi jika Pak Sodri dilanda putus asa. Siapa yang mau anaknya hamil di luar nikah? Siapa yang mau anaknya menikah dalam keadaan perut membesar? Siapa yang mau dilanda persoalan tanpa tahu jalan keluarnya. Maka sungguh tidak mudah.

"Kau benar tidak tahu jalan keluarnya?!"

Pak Ustadz menatap mata Pak Sodri. Terarah. Tajam. Matanya menandakan bahwa Pak Ustadz memang tidak mampu memberikan jawabannya, walau sedikit. Pak Ustadz menyerah. Ia diterpa jalan buntu seperti yang juga dialami Pak Sodri, sepupunya itu.

Pak Ustadz mengutuki dirinya sendiri. Batinnya berbicara.

"Pernikahan adalah sesuatu yang indah. Kenapa banyak orang yang suka merusaknya sendiri. Perkawinan adalah sesuatu yang suci. Kenapa tidak sedikit orang yang malah mengotorinya sendiri."

Pak Sodri beranjak pergi. Mata Pak Ustadz seperti berair. Ia tak rela melepas sepupunya itu pergi tanpa pegangan dari dirinya. Ah, kenapa hanya masalah hamil di luar nikah aku tak mampu berbicara tegas?, bisiknya. Pak Ustadz menutup wajahnya dengan kedua tangannya. * * *

No comments: