Tuesday, August 03, 2010

MENGAMBIL "HATI" TUHAN

Pak Ustadz masih terpekur di atas sajadahnya. Sepertiga malam. Sebuah waktu yang sangat dianjurkan Allah untuk mengadu, bahkan kalau perlu hingga menitikkan air mata. Tentu, karena keterbatasan kita sebagai mahkluk, hamba. Tapi, jangankan menitikkan air mata, bahkan untuk sekadar berbisik pun Pak Ustadz gagal.

Bibir Pak Ustadz bisu, lidahnya terasa kelu. Pak Ustadz ingin berucap, tapi ia tak punya daya. Pak Ustadz ingin ingin berbicara, tapi ia tak kuasa. Pak Ustadz ingin menumpahkan air mata, tapi bulir-bulir air mata itu tak pernah meluncur dari mata air di matanya.

"Ya Allah, kenapa Engkau hilangkan air mata di saat aku memerlukannya? Bukankah Engkau senantiasa perlu bukti agar aku pantas dimasukkan ke dalam surgamu karena aku adalah seorang hamba yang saleh?"

Pak Ustadz tak menyerah. Ia ingat nasihat dan petuah para gurunya dulu jika ia ingin menangis di hadapan Allah pada sepertiga malam.

Kata gurunya, "Ingatlah akan nikmat Tuhan yang tanpa batas itu. Udara, air, tumbuhan, atau hewan. Juga kesehatan, mata sebagai indera penglihat atau telinga sebagai indera pendengar. Pada nikmat yang tanpa batas itu sesungguhnya ada air mata bila kamu merenunginya."

Guru yang lain berkata, " Cobalah engkau ingat akan keliru dan salah. Pada keliru dan salah itu tak jarang terkandung dosa. Seorang hamba yang saleh pasti akan menitikkan air mata sebagai tanda sesal saat ia berbuat dosa."

Pak Ustadz tetap tak bisa menangis. Air matanya enggan tumpah. Sepertiga malam seolah menjadi rutinitas belaka. Ia tidak menimbulkan sensasi pribadi, apalagi menumbuhkan watak dan sifat hakiki. Pak Ustadz merasakan ada yang salah pada dirinya.

Pak Ustadz selalu ingat betapa banyak ia menumpahkan air mata saat ia memimpin doa di hadapan para khalayak yang berjejal dalam majelis-majelis zikir yang dipimpinnya. Bersama ratusan jamaah ia sesenggukan meluberkan air mata. Air mata itu tak pernah kering, ia selalu ada.

Ya Allah, haruskah aku menangis karena aku sudah tidak lagi bisa menangis di hadapanMu?

Pak Ustadz sekarang tahu, sejatinya ia belum paham benar bagaimana cara mengambil hati Tuhan. Pak Ustadz juga belum mengerti benar bagaimana cara "bercinta" dengan Tuhan. Kalau itu saja belum, bagaimana mungkin dirinya hendak disebut sebagai hamba yang saleh dan alim.

Tanpa sadar, Pak Ustadz menitikkan air mata. * * *

No comments: