Friday, October 08, 2010

MENJEMPUT KEMATIAN DENGAN SENYUM

Ia lari tergopoh-gopoh. Kakinya seperti diseret. Napasnya tersengal-sengal. Mang Jani, pria yang sudah tidak muda lagi. Pak Ustadz memperhatikan dari jauh. Ia menunggu karena Mang Jani seolah hendak mendatanginya. Ada apa gerangan?

"Pak Ustadz! Pak Ustadz!"

Mang Jani melambai-lambaikan tangannya. Pak Ustadz mendekat.

"Ada apa, Mang?"

"Fadli! Fadli, Pak Ustadz! Fadli meninggal...."

Ucapan berduka langsung muncul dari bibir Pak Ustadz. Wajahnya menampakkan rasa terkejut yang luar biasa. Pikirannya langsung membayang kepada sesosok anak muda berkulit bersih dengan wajah yang tidak bisa dibilang jelek. Fadli, ya Fadli.

"Tadi siang aku masih omong-omong dengannya setelah ia pulang dari kantor kepolisian. Katanya, mau mengurus surat kelakuan baik sebagai syarat kerja."

"Iya, benar. Sepulang dari sana ia langsung rebahan dan tidur. Ternyata saat dibangunkan, dia sudah tidak bisa bangun untuk selamanya. Sudah ya Pak Ustadz. Saya mau mengurus pemakamannya."

Mang Jani pamit. Pak Ustadz mengangguk. Pak Ustadz berjanji hendak menyusul Mang Jani sesegera mungkin. Tapi, tiba-tiba saja benak dan hatinya seolah tak bisa lepas dari Fadli.

Ah, Fadli! Anak muda yang merindukan kematian. Setiap ketemu Pak Ustadz tak ada topik pembicaraan yang begitu diminatinya selain kematian. Kematian! Ya, kematian! Pak Ustadz sampai bingung dengan sikap Fadli.

"Apa kamu tidak lagi ingin hidup, Fadli?"

"Oh, bukan begitu, Pak Ustadz. Saya mencintai kehidupan. Tapi, tak ada yang lebih saya cintai dan sangat saya rindukan, selain kematian. Masa lalu itu sangat jauh dari kita. Tapi, kematian itu sesungguhnya sangat dekat.

"Kenapa kamu bisa berpikir begitu?"

"Setiap detik, setiap menit, kematian seolah mengintai kita. Jujur, saya tidak ingin diintai oleh kematian. Saya juga tak mau menjadikan kematian sebagai musuh dalam selimut. Saya justru ingin bersahabat dengannya sehingga andai kematian datang, ia datang dengan senyum persahabatan yang tulus."

Ah, apakah ini jawaban dari pertanyaan kenapa Fadli sangat rajin ke masjid akhir-akhir ini? Apakah ini juga jawaban mengapa Fadli begitu sangat sayang dan kasih kepada ibunya? Apakah ini jawaban kenapa Fadli tidak pernah menyakiti hati para tetangga, teman, sahabat, atau kerabat?

Di rumah Fadli, Pak Ustadz melihat Fadli tersenyum. Benar tersenyum. Senyum dalam kematian. Jelang senja itu. * * *

No comments: