Monday, October 11, 2010

UTANG NERAKA

”Abi, ada Kang Giman di luar....”

Suara lembut menyentil telinga Pak Ustadz yang tengah memanjakan matanya; membaca buku. Tubuh Pak Ustadz malas bergerak. Baru setelah istri Pak Ustadz menyentil untuk kedua kalinya, Pak Ustadz beranjak.

Kang Giman. Ah, Kang Giman. Selalu saja hati Pak Ustadz tergetar jika nama itu disebut. Ada semacam perasaan tergores yang dalam. Padahal nama itu tidak pernah melukainya. Padahal nama itu terdengar kelam karena mulut orang-orang.
”Sehat, Pak Ustadz?” sapa Kang Giman dengan keramahan yang sengaja dibuat.

Pak Ustadz tersenyum. Kecut. Rasa curiga menyentak dadanya. Seperti tak mau berhenti. Pak Ustadz berusaha melawan. Namun, semakin keras dilawan, sentakan curiga itu malah semakin keras.
Dugh! Benar. Kang Giman datang untuk meminjam uang. Lumayan besar. Tentu untuk kantong Pak Ustadz yang tidak tergolong dalam, bahkan bisa dikatakan pas-pasan. Satu juta rupiah. Katanya untuk berobat.

Benak Pak Ustadz langsung berkelana. Ia tidak ingin menyakiti hati Kang Giman. Tapi, ia juga tak mau tertipu seperti orang-orang yang pernah bercerita kepadanya. Kang Giman tukang tipu! Ia penipu ulung!

”Kang Giman, saya tidak keberatan meminjami uang. Tapi, kapan Kang Giman mampu melunasi pinjaman itu?”

Kang Giman terkejut. Hatinya berbisik, lho kok seperti ini? Biasanya kalau pinjam uang tak pernah ditanya kapan mengembalikannya. Jadi, asyik-asyik saja. Pura-pura tak ingat. Bahkan kalau bisa melupakannya. Ah, Pak Ustadz aneh!

”Sebulan. Ya, sebulan. Ehm, tanggal tujuh,” jawab Kang Giman sekenanya.

”Nah, kalau sebulan dan tanggal tujuh, apa jaminannya?”

Gila! Ini sih gaya rentenir! Mosok meminjam uang ke Pak Ustadz ditanya jaminan segala. Persis bank. Edan! Kang Giman berontak. Ribet amat pinjam uang sama Pak Ustadz. Padahal cuma sejuta.
”Saya punya sertifikat rumah, Pak Ustadz....”

”Oh, ya. Kalau punya sertifikat, bawa ke sini. Nanti uang itu saya berikan.”

”Kalau uangnya dulu, gimana. Nanti saya antar sertifikatnya. Saya perlu banget.”

”Rumah Kang Giman-kan dekat. Tinggal bawa ke sini dan tunjukkan. Sertifikat itu juga tidak saya minta kok.”

Kang Giman melongo. Ia tak menyangka Pak Ustadz yang bijak dan budiman bisa sesulit itu tatkala dipinjami uang. Padahal, ia berharap Pak Ustadz tidak terlalu cerewet. Bukankah meminjamkan uang termasuk kebaikan?

Jangan keliru Kang, batin Pak Ustadz. Pinjam-meminjam uang bukan masalah ringan. Betapa banyak orang yang begitu mudahnya meminjamkan uang ke orang lain, tapi mereka justru enggan menagihnya. Malu. Pekewuh. Tak enak hati.

Akhirnya, menyebarlah fitnah. Keliru. Ini keliru. Piutang harus menagih orang yang terutang agar pintu surga terbuka bagi orang yang terutang untuk masuk ke dalamnya. Kasihan dia kalau tidak ditagih!

Di ruang tengah istri Pak Ustadz mencegat Pak Ustadz.

”Abi, katanya Abi tak punya uang. Kok mau pinjami uang ke Kang Giman?”

”Ah, mosok aku mesti menceritakan kesusahan kita kepada orang lain....”

Istri Pak Ustadz tertegun. Bingung. * * *

No comments: