Tuesday, October 19, 2010

DRAMA ARISAN

Pulang arisan. Sore yang berkabut. Istri Pak Ustadz masuk rumah dengan wajah yang kusut. Tak enak dilihat. Jilbab putih yang dikenakannya menjadi terlihat suram. Bahkan kelam. Pak Ustadz tahu diri.

"Pulang-pulang kok malah kusut. Ada apa sih?"

Istri Pak Ustadz tak menjawab. Diam. Langkahnya tertuju ke dapur. Pasti minum! Pak Ustadz sudah hafal dengan kebiasaan istrinya. Setiap ada masalah yang hendak diungkapkan, tapi dirasakan mengganjal di hati, pasti istri Pak Ustadz meminum air dulu. Seteguk atau dua teguk.

"Sudah? Sekarang ceritakan!"

Istri Pak Ustadz mengambil napas. Lalu, keluarlah dari bibirnya keluhan yang dari waktu-waktu seolah itu-itu melulu. Pak Ustadz seperti sudah hafal. Karena setiap pulang arisan, istrinya selalu mengeluhkan hal yang sama. Ibu-ibu yang suka pamer!

Kali ini ia mengeluhkan sikap Ibu Andre yang baru membeli mobil baru. Diceritakan bagaimana enak dan nikmatnya mobil yang mereka miliki. Ke mana-mana jadi gampang. Tak perlu naik angkot. Topik arisan pun beralih ke soal mobil.

"Kalau setiap bulan seperti itu terus, mendingan saya tak berangkat arisan. Buat apa. Tujuannya arisan. Silaturahim dengan tetangga. Ujung-ujungnya pamer!"

Istri Pak Ustadz ngedumel. Pak Ustadz tersenyum kecut. Hatinya tidak mempermasalahkan sikap ibu-ibu di arisan. Tapi, ada rasa khawatir pada dirinya terhadap sikap istrinya. Hasud! Ya, hasud! Lama kelamaan sikap istrinya jengkel, marah akan bisa berubah menjadi hasud. Dendam!

"Bagaimana menurut, Abi?" tanya istri Pak Ustadz.

"Aku tidak peduli dengan mereka. Tapi, aku khawatir dengan sikap kamu. Sebab, tanpa terasa kamu bisa terhinggapi oleh hasud. Padahal, hasud adalah watak yang paling berbahaya jika sudah melekat dalam jiwa seseorang..."

"Ah, tidak mungkin. Tidak mungkin. Masa soal pembicaraan arisan bisa jadi hasud."

Pak Ustadz terdiam. Kali ini wajahnya berubah serius. Ia lontarkan pandangan matanya ke wajah istrinya.

"Sekarang, tolong dijawab. Apakah kamu tidak suka dengan kenikmatan yang mereka peroleh?"

"Iya. Sebab, kenikmatan itu membuat mereka lupa diri. Cerita tak ada ujung pangkalnya."

"Apakah kamu ingin kenikmatan itu hilang dari mereka?"

"Iya. Sebab, silaturahim dalam arisan akan menjadi baik jika kenikmatan itu dihilangkan."

"Apakah kamu ingin kenikmatan itu berpindah kepada dirimu?"

"Ehm... Kalau bisa, iya. Sebab, aku pasti tidak akan seperti mereka."

Pak Ustadz menutup wajahnya. Matanya memerah. Ia tahu, istrinya telah dihinggapi perasaan hasud. Dendam terhadap kenikmatan yang dimiliki orang lain. Mulut Pak Ustadz berucap lirih, memohon ampun. * * *

No comments: