Monday, April 05, 2010

TAK ADAKAH KEHORMATAN DALAM PERNIAGAAN?

Pak Ustadz termangu. Matanya sedikit nanar. Ia takjub melihat ratusan orang antre berdesak-desakan. Peluh dan rasa lelah seperti tak dihiraukan orang-orang itu. Pendaftaran PNS. Ah, maklum mereka semua masih muda.

Keinginan hati Pak Ustadz untuk bertemu dengan temannya yang bekerja di sebuah departemen seketika diurungkan. Antre itu begitu menarik perhatiannya. Mata Pak Ustadz menengok ke kanan-kiri. Alhamdulillah, batin Pak Ustadz. Ia melihat sebuah kursi yang kosong.

"Maaf, ibu. Kursi ini kosong?" tanya Pak Ustadz kepada seorang ibu setengah tua yang duduk di samping kursi yang hendak diduduki Pak Ustadz. Ibu itu sedikit terkejut.

"Oh, kosong, Pak. Silakan... Silakan."

Pak Ustadz meletakkan tubuhnya pada kursi bersandar. Badannya diluruskan. Sejenak rasa lelah dan pegal hilang.

"Ikut mendaftar PNS, Pak?" tanya ibu itu ramah.

"Oh, nggak, bu. Nggak. Saya hendak bertemu dengan teman saya yang bekerja di sini. Kami janjian. Sudah lama kami tidak bertemu, " jawab Pak Ustadz.

Ibu itu mengangguk.

"Kalau Ibu, ada urusan apa di sini?" Pak Ustadz balik bertanya.

"Saya mengantar anak. Mau mendaftar PNS. Itu anak saya, laki-laki. Yang pakai baju biru celana hitam."

Mata Pak Ustadz mengikuti telunjuk ibu itu. Ia melihat seorang pemuda berambut ikal, berpakaian rapi, dan berkulit bersih.

"Saya ingin ia diterima. Saya berharap ia bisa menjunjung tinggi harkat dan martabat orang tua. Nama keluarga kami pasti akan terangkat jika ia diterima sebagai PNS."

Pak Ustadz manggut-manggut mendengar harapan ibu itu. Hatinya terdera rasa penasaran.

"Pasti keluarga ibu PNS..."

"Oh, tidak. Tidak ada, " potong ibu itu. "Bahkan tidak ada satupun keluarga kami yang PNS. Kami semua wiraswasta tulen. Kami memiliki beberapa pabrik yang cukup buat kami makan dan hidup."

Pak Ustadz tidak terkejut dengan jawaban ibu itu karena penampilan ibu itu memang menunjukkan kalau ia orang berada. Tapi, Pak Ustadz terkejut dengan kehendak ibu itu terhadap anaknya.

"Lalu, kenapa ibu ingin anak ibu lulus PNS?"

Ibu itu tersenyum. Agak nyinyir. Pak Ustadz jengah. Ia merasa jika pertanyaannya disalahkan.

"Karena kami ingin ia menduduki jabatan yang tinggi. Dengan jabatan itu kedudukan, juga martabat dan kehormatan akan ia dapat."

"Apakah wiraswasta yang selama ini keluarga ibu jalankan tidak mendatangkan kedudukan, kehormatan, dan martabat?"

Ibu itu kembali tersenyum.

"Kalau Bapak seorang wiraswasta pasti Bapak tidak akan bertanya seperti itu."

Pak Ustadz tergeragap. Pikirannya berputar-putar. Bingung. Baru kali ini Pak Ustadz merasakan kebingungan yang luar biasa. Bagaimana mungkin rezeki perniagaan yang begitu dianjurkan oleh Nabi untuk direngkuh, ternyata malah begitu disepelekan oleh umatnya. Apakah rezeki dan kedudukan PNS lebih berharga dibanding rezeki dan kedudukan perniagaan?

"Mari Pak, anak saya sudah selesai." * * *

No comments: