Friday, April 23, 2010

NARAPIDANA

Pak Ustadz menyambangi rumah bercat biru. Rumah yang sederhana. Tak ada kesan mewah pada rumah itu. Tapi, tidak untuk penghuninya. Sudah seminggu lebih puluhan orang mengunjunginya. Tentu pertanda, kalau penghuninya cukup istimewa.

Namun, siapa pemiliknya? Pak Agus, pemilik rumah bercat biru itu. Orang yang sangat biasa. Sederhana dan jujur, lembut dan baik hati. Tapi, gara-gara sebuah perkara, ia mesti rela memasrahkan tubuhnya di jeruji besi. Selama 3 tahun. Kini, Pak Agus telah bebas. Ia kembali ke tengah-tengah keluarga dan masyarakat.

"Sehat, Pak Agus?" sapa Pak Ustadz sambil memeluk Pak Agus. Pak Agus membalasnya dengan senyum tulus.

"Alhamdulillah.... Berkat doa Pak Ustadz."

Mereka berdua duduk di ruang depan. Secangkir teh hangat dan suguhan pisang goreng menemani pertemuan keduanya. Pak Ustadz dan Pak Agus ngobrol ngalor-ngidul.

"Eposide ini jadi pelajaran yang sangat penting, ya Pak Agus?"

"Sangat penting, Pak Ustadz. Dulu, saya tidak terlalu paham apa yang seharusnya saya raih dalam hidup. Di penjara, saya kini jadi tahu apa yang semestinya saya cari. Hanya ada tiga. Cukup tiga saja. Dan kini saya sedang mencoba belajar meraihnya."

"Apa itu Pak Agus?"

Pak Ustadz sedikit penasaran. Mukanya memerah. Tak sabar ingin segera mendapat penjelasan dari Pak Agus.

"Pertama, ikhlas. Karena, hanya sikap ikhlas yang membuat setiap amalan yang kita lakukan menjadi nikmat, ringan, dan tidak melelahkan."

Pak Ustadz mengangguk.

"Kedua, istiqomah. Sebab, cuma istiqomah yang mampu mengantarkan kita untuk bersikap tegak dan lurus pada jalan Allah pada setiap waktu dan tempat."

Pak Ustadz manggut-manggut.

"Lalu, yang ketiga apa Pak Agus?"

Pak Agus terdiam. Ia tidak langsung menjawab pertanyaan Pak Ustadz. Matanya menerawang. Menerobos jendela rumah. Entah memikirkan apa.

"Yang ketiga, Pak Agus?" ulang Pak Ustadz.

"Saya hanya ingin mengakhiri hidup ini dengan khusnul khotimah. Mati dalam keadaan sebagus-bagusnya orang mati. Karena, hanya mati yang seperti ini yang membuat manusia menjadi mulia di mata Allah dan Rasulnya."

Pak Ustadz memandang mata Pak Agus. Ia melihat air jernih di mata Pak Agus. Bersih. Mengambang. Pak Ustadz tak ingin berkedip. Ia tahu, ia kini telah mendapat pelajaran yang sangat berharga dari Pak Agus, mantan narapidana itu. * * *

No comments: