Tuesday, April 27, 2010

MUNAFIK CINTA

Mata Pak Ustadz mengerjap-ngerjap. Mulutnya kadang tersenyum, kadang diam membisu. Sendirian. Di ruang tengah. Ia asyik mendengarkan celoteh dua perempuan yang berada di ruang tamu. Istrinya sendiri dan Wanti, sahabat istrinya.

"Benar! Aku tak bisa melupakan dia. Setiap saat dia datang dalam mimpiku. Wajahnya, perawakannya, candanya. Semuanya. Aku tidak tahu kenapa Tuhan tidak pernah menyatukan aku dengannya...."

Suara Wanti terdengar sendu. Istri Pak Ustadz terkekeh.

"Kamu kira aku bercanda?!"

Wanti mengeras. Ia tidak senang suara hatinya ditertawakan orang lain, sekalipun itu sahabatnya sendiri. Ia tak mau dirinya menjadi bahan olok-olokan dari masalah yang tengah dihadapinya.

"Maaf... Maaf. Aku tidak bermaksud demikian. Benar, aku sama sekali tidak ingin mentertawakanmu. Sekali lagi aku minta maaf."

Istri Pak Ustadz merasa bersalah. Senyumannya yang terasa sedikit nyinyir hanyalah karena ia memang tak kuasa menahan tawa di hatinya mendengar curahan hati Wanti, sahabatnya itu.
Mosok, sudah menikah hampir delapan tahun dan beranak satu masih saja tak bisa melupakan kekasih yang dulu. Aneh, tapi unik.

"Mungkin dari hatimu yang paling dalam sebenarnya kau tidak terlalu mencintai suamimu?"

"Oh, tidak! Tidak! " potong Wanti cepat. " Aku sangat mencintainya. Dia seorang suami yang penuh pengertian bagiku. Ayah yang baik bagi anakku. Pria yang tulus bagi keluargaku."

"Lalu, kenapa kamu begitu susah untuk melupakan kekasihmu yang dulu itu?"

"Itulah... Kenapa aku datang ke sini. Karena aku butuh nasihatmu. Aku tersiksa dengan hal ini."

Istri Pak Ustadz terdiam. Hatinya tercenung. Ia tidak menyangka Wanti yang terlihat begitu bahagia dengan suaminya itu ternyata menyimpan derita. Derita masa lalu yang tidak mampu ia kubur. Derita tentang cinta.

"Aku merasa berdosa terhadap semuanya. Aku seolah orang yang paling munafik di dunia ini. Aku telah menyimpan dua orang terkasih dalam satu hati."

Istri Pak Ustadz melihat rona merah di wajah Wanti. Sembab. Seolah menahan diri dari tangis. Istri Pak Ustadz ingin berkata banyak, tapi ia sendiri bingung apa yang mesti diungkapkannya. Sebab, ini masalah hati. Sebab, ini masalah perasaan. Sebab, ini masalah cinta.

"Hilangkan pikiran tentang kebaikannya. Munculkan keburukan-keburukannya. Moga ini dapat menghilangkan mantan kekasihmu itu dari hatimu...."

Istri Pak Ustadz terbebas dari beban. Ia merasa senang telah memberikan jalan keluar yang -menurutnya- terbaik. Namun, ucapan Wanti membuat istri Pak Ustadz terkejut.

"Itu semua sudah aku lakukan. Aku gagal...."

Di ruang tengah, Pak Ustadz terpekur. Pikirannya melayang ke Surat Al Baqarah ayat 216.

"
Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat berguna bagimu. Dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui."

Inikah jawaban itu sebenarnya?* * *

No comments: