Thursday, November 25, 2010

PERJANJIAN DENGAN TUHAN

Pak Ustadz berjalan tertatih-tatih. Malam itu, saat gerimis mulai tumpah di tanah. Bukan karena sakit di kaki, juga bukan karena tak ingin lekas sampai. Pak Ustadz tertatih-tatih karena di sampingnya hadir Eyang Sukro.

Pak Ustadz menemani Eyang Sukro kembali dari rumah Pak Said. Mereka sengaja bersilaturahim ke rumah keluarga Pak Said setelah mendengar kabar bahwa Pak Said meninggal dunia di Mekah. Ya, Pak Said meninggal di tanah suci saat menunaikan ibadah haji. Hal yang sebenarnya dianggap percaya dan tidak oleh Eyang Sukro. Lho?

"Said itu sebenarnya pergi ke Mekah tidak semata-mata naik haji, Pak Ustadz. Dia hendak melakukan perjanjian dengan Tuhan di sana...."

Eyang Sukro mulai membuka rahasia. Pak Ustadz kaget. Tapi, dia percaya. Dia tahu bagaimana akrabnya Eyang Sukro dan Pak Said. Bahkan Pak Said sudah menganggap Eyang Sukro ibarat orang tuanya sendiri. Tapi, perjanjian dengan Tuhan? Apa maksudnya?

Pak Ustadz tak menanggapi. Eyang Sukro melanjutkan ceritanya.

"Pak Ustadz tahu sendirikan kondisi Said. Tubuhnya ringkih. Tidak sekuat dulu lagi. Tubuhnya setiap waktu digerogoti penyakit yang entah kapan bisa sembuhnya. Segala cara sudah ia tempuh. Tapi, penyakit yang dideritanya tak juga mau pergi."

"Lalu..." Pak Ustadz mulai tertarik.

"Maka Said meniatkan haji tahun ini untuk melakukan perjanjian dengan Tuhan...."

"Maksudnya?"

"Kata Said kepada saya. Jika Tuhan menyembuhkan sakitnya, sepulang dari haji ia berjanji akan menjadi sebaik-baiknya manusia. Segala amalan yang diperintahkan oleh Allah dan rasulnya akan ia tunaikan. Namun, sebaliknya, jika sepulang dari Haji, Tuhan tidak juga menyembuhkan sakitnya, ia berjanji akan menjadi manusia yang paling buruk dari seburuk-buruknya manusia."

Pak Ustadz terkejut dengan ucapan Eyang Sukro. Ia seperti tidak percaya.

"Benar itu Eyang?"

"Benar. Dia bilang sendiri ke saya satu hari sebelum ia berangkat."

Pak Ustadz terpekur. Benaknya berkelana. Ah, selalu saja manusia memiliki kehendak untuk berencana, tapi Tuhan selalu menentukan yang terbaik bagi umatnya. Apakah ini yang menyebabkan manusia memiliki ribuan niat saat hendak berhaji ke tanah suci hingga perlu muncul sikap "meluruskan niat"? * * *

No comments: