Monday, January 10, 2011

MISTERI BAU TUBUH KYAI KASAN

Namanya singkat, Hasan, tapi banyak orang memanggilnya Kasan. Dia bukan kyai yang punya pesantren, namun orang menyapanya dengan sebutan kyai, panggilan khas orang berpengaruh di pesantren. Konon, panggilan kyai itu diperoleh Kasan karena sikapnya yang mirip ulama; taat beribadah, saleh, santun, lembut, jauh dari marah. Maka lengkaplah panggilan namanya sebagai Kyai Kasan.

Usia Kyai Kasan sekitar enampuluh tahun. Sudah cukup untuk pensiun dari pekerjaannya. Namun, kata pensiun sepertinya tidak dikenal oleh Kyai Kasan. Pada ujung usianya menuju batas, ia masih tetap setia dengan pekerjaannya, yakni
ngider alias keliling.

Ngider? Ya, Kyai Kasan adalah penjual pisang keliling dari kampung ke kampung. Dengan gerobak yang dimilikinya, beberapa tandan pisang yang dijual Kyai Kasan tak pernah tidak laku. Selalu habis. Bahkan kalau Kyai Kasan belum kelihatan ngider, puluhan ibu-ibu sudah antre menunggu di depan rumah masing-masing.

Ada satu hal ganjil yang dimiliki Kyai Kasan yang tidak dimiliki orang lain. Bau tubuhnya. Ya, bau tubuh Kyai Kasan terlalu harum untuk ukuran orang seperti dirinya yang sederhana dan tidak terlalu mempedulikan persoalan tubuh. Bau tubuh Kyai Kasan juga unik. Bau itu kadang seperti melati, tapi lain waktu bisa seperti mawar.

Pak Ustadz secara serius pernah bertanya kepada Kyai Kasan mengenai bau tubuh dirinya yang harum. Tapi, Kyai Kasan malah menertawakan Pak Ustadz sambil menunjukkan bajunya yang berkeringat..

"Ah, Pak Ustadz ini ada-ada saja. Mana mungkin bau tubuh saya seperti melati atau mawar. Tiap hari saja badan saya basah kuyup seperti ini."

"Aku tidak bohong, Kyai, " kata Pak Ustadz tetap dengan keyakinannya. "Bau badanmu harum seperti bunga. Wangi. Aku jadi penasaran, apa parfum yang kamu pakai hingga badanmu bau seperti itu?"

"Saya tidak memakai apa-apa, Pak Ustadz."

"Ayo, jujurlah. Bau itu wangi sekali. Dan sepertinya awet. Tidak mudah luntur. Aku ingin punya bau yang seperti itu."

Kyai Kasan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia benar-benar tidak paham dengan ucapan Pak Ustadz. Namun, ketidakpahaman inilah yang sedang merasuki benaknya. Sebab, tak hanya Pak Ustadz, tetapi juga ibu atau bapak-bapak yang lain.

"Pak Ustadz, demi Tuhan, saya tidak tahu kenapa bau tubuh saya harum seperti yang Pak Ustadz dan orang lain bicarakan. Sebab, saya mandi dua kali sehari seperti orang lain mandi. Pakai sabun yang dibeli di pasar oleh istri saya. Malah saya tak tahu apa itu parfum."

Pak Ustadz manggut-manggut. Jawaban Kyai Kasan malah membuatnya penasaran. Ia ingin tahu apa yang terjadi di balik itu semua. Pak Ustadz yakin ada "tangan" tak terlihat yang menjadikan Kyai Kasan seperti itu.

"Apa Kyai Kasan punya amalan-amalan yang mungkin dulu diberi oleh seseorang hingga membuat tubuh Kyai berbau harum?"

Kyai Kasan mengingat-ingat segalanya. Namun, benaknya tak mampu menjawab.

"Tidak, Pak Ustadz. Saya tak kenal amalan-amalan. Saya sholat seperti orang lain sholat. Saya puasa seperti orang lain puasa. Saya juga coba berbuat kebaikan seperti orang lain berbuatnya. Tidak ada yang aneh pada diri saya."

"Benar nih?"

"Demi Allah."

Pak Ustadz mengangguk-angguk. Dia percaya dengan jawaban Kyai Kasan. Tapi, dia tetap penasaran dengan bau tubuh Kyai Kasan. Dari mana sebenarnya bau harum itu muncul? Apa yang menyebabkannya?

Bahkan ketika jasad Kyai Kasan sudah terbujur kaku, bau harum itu tetap merebak. Pak Ustadz baru sedikit mengerti tentang itu sesudah istri Kyai Kasan bercerita kepadanya.

"Itulah, Pak Ustadz. Dia sebenarnya sudah saya larang pergi ke rumah Haji Sahal karena dia sendiri juga lagi sakit. Tapi, dia ngotot. Tak bisa diomongin. Sebagai istri saya sudah menyerah kalau Dia sudah bicara silaturahim. Katanya, setiap orang boleh masuk surga melalui pintu manapun, tapi aku ingin masuk melalui jalan silaturahim. Karena ini yang aku mampu..."

Silaturahim? Ah, Pak Ustadz kini sedikit tahu jawabannya. * * *

No comments: